bc

MIRAMAX

book_age18+
40
IKUTI
1K
BACA
sporty
student
sweet
mxb
nymph
highschool
first love
school
prostitute
shy
like
intro-logo
Uraian

Mira, gadis jangkung yang hobi bermain volly. Terlibat kisah cinta dengan seseorang siswa bernama Doni, siswa yang paling genius di sekolahnya. Namun tinggi badan Doni hanya 159cm, sedangkan Mira setinggi 189cm. Apakah selisih 30cm diantara mereka berakhir bahagia, atau menjadi sebuah lelucon belaka?

chap-preview
Pratinjau gratis
01
"Ayo Mira, semangat latihannya!" "Mira, lebih kenceng larinya!" "Mira, kamu pasti bisa!" Teriak-teriakan itu sudah sering kudengar ketika aku latihan pagi. Sebagai salah satu pemain bola voli di SMK—klub mewajibkan anggotanya untuk datang jam 6 pagi dan latihan sebelum jam pelajaran berlangsung. Alhasil, kami sering jadi tontonan di pagi hari. Terutama para siswa yang entah apa yang mereka lihat dariku. Mereka selalu berbaris melihatku dari balkoni gedung sekolah dari lantai satu sampai tiga. Namaku Mira, Miramax. Aku seorang siswi yang duduk di kelas 2 SMK. Aku tergabung dengan tim bola voli SMK sebagai spiker. Asal kamu tahu, tinggiku 189cm. Sebuah pencapaian yang sangat tinggi untuk wanita di Indonesia. Memang dari kecil aku sudaj terlihat lebih tinggi dari teman-temanku. Sewaktu sekolah dasar, tinggiku sudah 160cm, sama seperti tinggi wali kelasku dulu. Semakin lama, tubuhku semakin tinggi dan kini tubuhku sudah mencapai 189cm. Bahkan siswa tertinggi di sekolah hanya setinggi telingaku. Setelah joging keliling lapangan. Kini saatnya latihan drilling. Aku seorang spiker dan aku sekalu berhasil dalam melompat untuk memukul bola di depan net. Saat itulah, aku merasa bangga karena para siswa selalu bertepuk tangan ketika aku berhasil. Latihan selesei ketika waktu sudah menunjukan pukul 7 pagi. Ngomong-ngomong, sekolah termasuk sekolah yang sangat mengedepankan mata pelajaran olahraga. Banyak atlit-atlit besar negeri ini dulu bersekolah disini. Tempatnya cukup terpencil, namun karena terpencil itulah—banyak fasilitas olahraga yang bisa dibangun disini. Diantaranya ada kolam renang indoor, bahkan ada juga lapangan sepakbola. Setiap klub diberikan bangunan untuk mereka melakukan pertemuan, atau menyimpan perlengkapan. "Kamu akan menjadi atlit Voli tingkat dunia Mir!?" Ungkap Agnes sembari menggandeng tanganku yang cukup kekar. "Ah, masak sih. Aku cuma tinggi aja, jadi lebih mudah memukul di udara." Jawabku sembari duduk di ruang klub Voli wanita. Ruangannya cukup luas dengan air conditioner di dalamnya. Ditepian terdapat loker-loker yang digunakan untuk menyimpan perlengkalan olahraga kami. Sebelum bel tanda masuk kelas berbunyi, biasanya kita membersihkan badan dulu disini. Disisi lain terdapat kamar mandi terbuka dengan 20 shower yang bisa digunakan kapan saja. Memang, SMK Armada terkenal dengan prestasi olahraganya ditingkat propinsi maupun nasional. Aku saja masuk kesini karena beasiswa dari kemahiranku bermain bola voli. Aku melepas kausku yang sudah dibasahi oleh keringat. Rasanya sungguh segar ketika udara dingin dari air conditioner menerpa kulitku yang seputih salju. Lalu,,, "Aaaahhhh!" Aku menjerit karena seseorang menangkap buah dadaku dari arah belakang. "Emang kenyal tetekmu Mira!" Puji Rosa yang selalu mengerjaiku ketika sedang ganti pakaian. Aku agak risih dengan Rosa, ia seorang perempuan tetapi gayanya yang tomboi membuatku terkadang salah tingkah. Rambutnya dipotong pendek seperti anak laki-laki. Namun ia seorang libero yang bisa diandalkan di barisan belakang. Ia juga baik karena selalu membela kami ketika ada siswa laki-laki yang mencari gara-gara dengan tim voli wanita SMK Armada. "Eh, kamu ini!" Aku melempar Rosa dengan baju bekas keringatku dan mengenai wajahnya. Rosa lebih parah lagi, ia bertelanjang dada seakan dirinya adalah laki-laki dan mengenakan celana kolor pendek. Itulah kami risih, ia seorang laki-laki atau perempuan. "Eh, kamu tau nggak, Mir!?" Bisik Rosa yang melompat duduk di bangku sebelahku. "Apaan!?" Jawabku ketus. "Aku mau cerita, tapi kamu jangan marah." Kata Rosa membuatku penasaran. "Iya Oca, apaan?" Ujarku sembari berdiri dan membuka celanaku di depan loker. Terlihatlah kaki mulusku yang panjang dan jenjang. Lalu kutarik handuk mandi dan bersiap untuk membersihkan badanku. "Kemarinkan aku ndak ikut latihan pagi." Rosa mulai bercerita. Aku hanya mendengar sekilas, lalu lanjutnya, "cowok yang lihat itu, sebenarnya lihat kamu Mira?" Aku berpikir karena aku jangkung dan mudah dilihat dibanding para pemain lain. "Hmn, mungkin karena mereka nggak pernah lihat cewek setinggi 189cm." "Bukan itu, mereka lihat tetek kamu yang mantul-mantul ketika berlari dan melakukan spike. Aku yakin mereka pasti ngaceng sambil lihat kamu!" Tegas Rosa yang blak-blakan di depanku. "Apa! Sialan kamu!" Ucapku sembari menjambak rambut Rosa, namun karena rambutnya pendek dan gerakan lincah Rosa berhasil menghindar. "Eh, benar kok! Aku dengan sendiri kasak-kusuk diantara mereka. Hahahaha,,, emang benar Mira, tetekmu semakin lama semakin besar saja." Tambah Rosa sembari berlari. Akupun dengan geram mengejarnya. Namun. "Diam semuanya!!!" Ucap seseorang yang baru saja memasuki ruangan. Matanya tajam dengan rambut terikat dibelakang. Ia adalah Meliana, ketua klub bola voli wanita sekaligus kapten di tim kami. Ia seorang Tosser yang mengendalikan permainan. Selain itu, sifatnya yang tegas membuat kita semua tunduk padanya. Mbak Meli duduk di kelas tiga. Tiga bulan lagi ia harus berhenti dari klub karena sudah harus mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional dan Ujian Masuk Universitas. "Setelah libur tengah semester, tim kita akan mengikuti turnamen ke Surabaya. Semuanya harus bersiap untuk itu." Ucap Mbak Meli yang garang. "Di libur semester nanti, kalian harus tetap latihan. Ini jadwal latihan yang sudah kususun." Mbak Meli menyodorkan lembaran kertas itu ke Fanny yang berada didekatnya. Kamipun hanya mengangguk dan memastikan semua perintah kapten harus terpenuhi. Aku tak begitu memperhatikan kertas porsi latihan itu. Yang jelas, aku kini terpikirkan oleh perkataan Rosa tadi. Memang dasar si Rosa yang selalu menggodaku. Namun aku sendiri berpikir bahwa tubuhku sudah mulai menunjukan tanda kedewasaan, bahkan lebih cepat dewasa ketimbang gadis-gadis lain disekolahku. Aku melepas bajuku dan memasuki bilik mandi. Sebelumnya aku memakai jaring rambut agar rambutku tak basah. Aku memperhatikan tubuhku, buah dadaku mulai menggantung kencang dengan kedua puting susu berwarna pink. Bulu-bulu halusku tercukur rapi dibawah sana. Aku bergidik ngeri ketika mengetahui para siswa laki-laki tengah bernafsu ketika melihatku jogging di pagi hari. Ternyata memang benar, sportbra yang kubeli ternyata masih terlalu kecil sehingga tak mampu menahan buah dadaku. Setiap kali aku bergoyang, buah dadaku ikut memantul seperti bola basket. Oh, tidak apa yang harus kulakukan. Aku ingin bentuk kelamin pria ketika pelajaran biologi, mereka akan mengeras tegang dan wanita bisa hamil jika terkena cairan yang keluar dari dalam sana. Bel sekolah berbunyi ketika aku sudah hampir sampai di kelas. Beberapa kali aku harus memperhatikan penampilanku agar tidak terlihat seksi dihadapan para siswa laki-laki, walaupun aku sendiri baru sadar bahwa mata mereka semua tertuju pada tubuhku. Aku segera memasuki kelas dan duduk di bangku paling belakang. Disinilah, kisahku berawal. Kisah dimana aku harus menyembunyikan kisah cintaku. Di kelas ini, aku tak tahu siapa dirinya. Namun dirumah, aku selalu merindukannya. Aku yang selalu menonjol karena tubuhku yang tinggi, harus sedikit menyembunyikan kisah cintaku dari semuanya. "Mir, heh,,, Mira!" aku mendengar suara Linda yang duduk di bangku sebelah. Sepertinya ia memanggilku. "Mira!!!" Suara teriakan itu sudah terlalu kencang dan membuatku terbangun. Astaga, aku tertidur lagi di kelas. Apalagi ini kelas bu Fenti yang terkenal galak. Memang, aku tak begitu mahir dalam pelajaran di kelas—karena kamu tahu sendiri bahwa aku harus bangun pukul lima pagi dan mulai berlatih. Hal itu membuatku lelah dan mengantuk ketika pelajaran berlangsung. Apalagi tubuhku yang tinggi membuatku harus duduk di bangku paling belakang. Sehingga dalam beberapa kesempatan aku dapat terlelap dengan sendirinya. "Kami tertidur lagi Mira!?" Cakap Bu Fenti geram. Lalu Bu Fenti kembali meneruskan pelajaran, "jadi Doni satu kelompok dengan Mira!" Aku tak mengerti apa yang dikatakan bu Fenti soal kelompok, lalu Bu Fenti berkata ke Doni. "Doni, kamu harus bantu Mira mengerjakan tugas makalah Essay liburan tengah semester ini." "Ta—tapi bu." Doni, siswa laki-laki yang selalu berkata bahwa dirinya genius dan selalu meminta duduk di depan sepertinya tak senang jika sekelompok denganku. "Nggak ada tapi-tapian." Ucap Bu Fenti, lalu bu Fenti berkata pada semuanya. "Baik semuanya, kelompoknya sudah jelas, satu kelompok terdiri dari dua orang dan harus dikumpulkan dua minggu lagi setelah kalian masuk sekolah!" "Baik bu," semuanya menjawab kecuali diriku yang tak tahu apa-apa karena aku tak sengaja terlelap ketika pelajaran berlangsung. Krrriiiiinnngggg,,, jam istirahat kedua telah tiba dan semua siswa berdiri untuk memberi hormat kepada bu Fenti karena sudah memberikan pelajaran untuk hari ini. Suasana yang tenang berubah gaduh karena waktu istirahat sudah tiba. Hari ini adalah hari terakhir sebelum libur tengah semester. "Lin, tadi bu Fenti kasih tugas apa?" Tanyaku pada Linda. "Kita disuruh buat Essay kelompok. Satu kelompok terdiri dua orang dan kamu sama Doni sekelompok." Ujar Linda menjelaskan. Aku menatap Doni yang belum beranjak dari tempat duduknya. Doni adalah siswa paling pintar di kelas. Ia selalu ranking satu dan tidak pernah ranking dua. "Sepertinya kamu beruntung, bisa sekelompok sama Doni. Serahkan saja tugas itu kepadanya. Kamu tinggal latihan aja untuk turnamen di Surabaya nanti!" Suara Linda menjelaskan kepadaku. "Hmn, syukurlah. Mungkin Bu Fenti mengerti akan hal itu." Aku lega bahwa aku tak perlu memikirkan tugas tengah semester. Aku berdiri dan bersiap untuk ke kantin karena perutku sudah sangat lapar. Namun sebelumnya aku harus menyapa teman sekelompokku dulu, Doni. Langkahku tegas ketika menuju barisan depan. Namun kulihat Doni sudah berdiri di hadapanku dengan wajah sinis ala siswa paling genius di sekolah. "Eh, hei." Aku menyapa, sebenarnya aku tak pernah berbicara dengan Doni karena Doni sendiri juga orang yang pendiam. "Besok, jam 9. Kita harus kerjakan Essay itu. Essay Bu Fenti terdiri dari 9000 kata dan harus kita kerjakan berdua, mengerti?" Aku harus melihat kebawah karena tinggi badan Doni hanya setinggi tetekku. Secara harfiah ia sekarang berbicara dengan buah dadaku saja. Mungkin jika aku pakai baju Pikachu, kedua buah dadaku adalah mata pikachu itu. "Mnnn,,, tapi jam sembilan, bentar aku harus,,," aku ingat jadwal latihan mandiri yang diberikan oleh kapten. Dan besok aku harus latihan sampai jam 9 lewat. "Nggak ada tapi-tapian. Itu perintah bu Fenti. Kamu tahu Bu Fenti adalah guru bahasa Indonesia yang menghapus kata Tapi di kamusnya." Tegas Doni yang terkenal kejam. "Ya, terus kerjainnya dimana!?" Aku masih kebingungan dengan kata-kata Doni. "Aku minta nomor ponselmu? Aku akan beritahu malam nanti besok kita ketemuan dimana!?" Ungkap Doni. Setelah bertukar nomor ponsel. Aku berlalu dan segera di kantin. Di kantin tim Voliku sudah duduk dengan kudapan di hadapannya. Aku telat sehingga aku harus mengantri—dan sekarang antrian panjang. Lagipula selera makanku sudah menghilang karena kesal dengan Doni yang tak mau mengerti kegiatanku. "Eh, kamu ndak makan Mir?" Ucap Rosa si tomboi yang baru saja menyeleseikan mie ayamnya. "Nggak laper!" Jawabku ketus. "Eh, tumben!" Tanggap Agnes. "Gimana ya?" Aku ingin bercerita namun setelah kutimbang masalah sekecil itu tak harus kuceritakan. Apalagi ada Rosa yang selalu menghajar siapa saja yang membuat sahabatnya kesusahan. "Males antreannya panjang, aku makan dirumah aja." Aku berdiam sesaat memikirkan Doni. Ia cukup pendek, sebenarnya tak begitu pendek. Hanya saja aku yang terlampau tinggi. Essaynya tentang apa aku juga tak tahu, tetapi aku sendiri juga tak perlu memikirkannya. Percuma juga aku harus berpikir bagaimana membuat Essay-nya nanti, sudah pasti Doni tak setuju dengan ide-ideku. "Eh, beneran nih, kita berangkat ke Surabaya. Katanya ada 30 siswa sini yang juga diajak sebagai suporter disana." Kata Agnes bercerita. "Wah seru donk!" Tanggapku. "Jadi nggak berasa main di tandang." "Hmn, menurutku itu malah norak. Tanpa suporter saja kita sudah pasti juara." Rosa dengan sombongnya mengatakan hal itu. "Eh, jangan sombong dulu." Timpal Agnes. "Tapi aku yakin juga kalau kita juara, kan kita punya Spiker hebat kayak Mira ini!" "Hmn, itu hanya salah satunya," Rosa berlagak seperti seorang pelatih yang berpikir dengan strategi. "Selain Spiker tim kita punya Libero yang susah di tembus seperti diriku." "Dan Libero dimasukan ketika tim itu sedang bertahan." Sejak kapan mbak Meli ada dibelakang kami bertiga. Ia lalu menepuk pundak Rosa, "jika kamu yakin kita menang. Kita tak butuh seorang Libero. Teruskan latihan kalian besok hari. Kami selalu terdiam ketika kapten berkata-kata. Perkataannya selalu benar dan masuk di akal. Aku ingin tertawa melihat reaksi Rosa yang kesal. Namun aku tak tega melakukannya. Alhasil aku hanya mendengar Rosa menumpahkan segala kekesalannya terhadap ketua tim Voli yang selalu merendahkan Rosa. Mungkin karena Rosa seorang Libero, padahal ia cukup pandai bertahan. "Eh, libur seminggu kamu dapat tugas apa!?" Agnes seketika mengalihkan pembicaraan agar Rosa tak kesal. "Mnnn, aku buat Essay kelompok!" Jawabku lesu. "Baguslah kelompok, aku sendirian." Rosa menimpali. "Iya, aku juga tugas mandiri sendiri. Mana banyak lagi." Agnes mengeluh. "Enak kalian sendirian. Ini aku tugasnya dikerjaain bareng bocil!" Ujarku tak semangat. "Bocil, emang siapa?" Tanya Agnes. "Itu, siswa terpintar dan jenius sejagad raya, siapa lagi kalau bukan Doni." Ujarku slengean. "Apaaaaa!?" Agnes dan Rosa terkejut bersamaan. Namanya Doni. Cowok paling pintar di sekolahku. Wajahnya cukup lumayan asalkan dia tidak ketus dengan alis mengkerut, terkesan serius dan menyebalkan. Kulitnya sawo matang dengan model rambut belah tengah yang selalu tersisir rapi seperti orang kantoran. Ia selalu juara kelas karena hobinya belajar dan membaca. Ia tak tahu menahu soal olahraga, bahkan saat pelajaran olahraga—ia hanya melakukan gerakan sekenanya saja. Wajar saja tinggi badannya hanya 159cm, dibawah rata-rata siswa yang bersekolah di SMK Armada. Di sekolah, ia tak mengikuti kegiatan apapun. Bahkan pramuka aja dia tak ikut kemah dengan modus pura-pura sakit. "Kita ketemu di Taman Pertiwi, tepat jam 9 pagi. Tempat yang strategis karena tak jauh dari rumahmu dan rumahku." Bunyi pesan dari Doni yang bersamaan dengan alarm pagiku. "Iya," jawabku membalas. Sungguh keterlaluan, liburku semakin terganggu dengan tugas dari sekolah dan jadwal latihan dari kapten. Sekarang aku harus menanggung semua itu karena Bu Fenti memasangkanku dengan Doni, cowok pendek yang mengira dirinya jenius. Belum lagi Rosa dan Agnes mengatakan bahwa Doni adalah adik kandung dari Mbak Meli—ketua klub sekaligus kapten tim voli kami. Entah mau ditaruh mana wajahku ketika aku harus berpasangan dengan adiknya yang super ketus dan tak mau diajak kompromi seperti ini—sama seperti kakaknya. Pagi itu, aku membasuh mukaku dan mulai berkemas. Sial! Umpatku. Setelah joging pagi aku harus melakukan gerakan sit-up seratus kali, back-up seratus kali dan karena aku seorang Spiker kapten menyuruhku Pull-Up lima puluh kali untuk menguatkan otot lenganku. Aku jadi punya ide, karena kita bertemu di Taman Pertiwi, disana ada tiang untuk melakukan Pull-Up. Kemungkinan akan kulakukan semua itu disana. Aku hanya perlu berjoging dari rumah ke Taman Pertiwi. Lalu menyeleseikan beberapa putaran sesuai dengan jadwal latihan. Pagi sudah menunjukan pukul 7:30. Sudah terlalu siang untuk berolahraga menurut versiku. Alhasil, aku harus cepat mempersiapkan semuanya. "Tumben siang amat." Ujar ibuku yang menyiapkan bekal untukku. Aku biasa memakan roti bakar dengan telur mata sapi ditengahnya. Lalu segelas jus jeruk untuk melancarkan pencernaanku. "Iyakan, harusnya hari ini libur." Jawabku sembari memasukan semua bekal itu ke tas ranselku. "Eh, bu. Hari ini aku langsung kerja kelompok. Mungkin aku pulang sebelum makan siang." "Oh, ya. Hati-hati di jalan." Ucap ibuku yang masih sibuk dengan cucian bajunya. Aku berlari ringan menuju taman pertiwi. Fisikku sangat bugar karena semalam aku tidur cepat dan paginya aku bangun terlampau siang. Sehingga mudah bagiku untuk menyeleseikan semua latihanku. Ditengah lariku, beberapa pemotor menolehku terutama para pria. Aku jadi teringat perkataan Rosa kemarin. Sejenak aku berhenti dan memperhatikan badanku. Aku hanya memakai kaus tanpa lengan berwarna putih dan celana training ketat sebatas dengkul. Ternyata ini yang membuat setiap mata pria memandangku. Buah dadaku yang cukup besar dan basah oleh keringat walau kausku terbuat dari bahan katun menyerap keringat. Belum lagi, bongkahan pantatku yang sudah menyerupai wanita dewasa. Aku baru sadar atau selama ini tak ada yang menyadarkanku. Ah, sudahlah. Aku lanjut berlari ke arah Taman Pertiwi yang masih terlalu jauh dari tempatku berdiri. Tak lama kemudian aku sampai disebuah taman yang cukup sepi karena ini masih hari kamis. Taman yang dipenuhi pepohonan dan rerumputan. Terdapat juga trotoar untuk joging serta taman bermain untuk anak kecil. Aku melangkah ke tengah taman di tempat mainan anak kecil, lalu mengambil smartphoneku dan waktuku masih cukup untuk menyelesei joging ringanku. Tiba-tiba, "Kamu sudah disini!" Terdengar suara Doni yang bersembunyi di balik perosotan. Tubuhnya yang kecil dan tersembunyi membuatku tak melihat bahwa ia sudah datang duluan. "Lho, kamu sudah disini. Katanya jam 9 tepat. Ini masih setengah sembilan." Kataku kaget karena Doni yang tiba duluan. "Aku selalu datang satu jam lebih cepat ketika aku sudah berjanji." Ucap Doni dengan bangga. "Oh," ekspresiku terlalu datar. "Mnnn,,, kamu bisa teruskan latihanmu sampai jam 9 sesuai yang dijadwalkan." Ucap Doni yang mempersilahkanku meneruskan latihan. "Oh, ya. Kalau begitu bantu aku." Aku senang karena Doni cukup pengertian, pagi yang menyebalkan ini aku bisa mendapat sedikit keringanan. "Eh, bantu apaan!!!" Ujar Doni kebingungan. Aku menarik kertas dari tas dan membaca jadwal latihan dari kapten. Aku harus Back-up 100 kali, Sit-up 100 kali dan Pull Up 50 kali. Mungkin Doni bisa menahan kakiku ketika agar tidak terangkat ketika Sit-up. "Bantu aku Sit-up." Aku membuka tasku dan mengeluarkan karpet karet tipis yang biasa kugunakan untuk senam lantai. Setelah kuhamparkan, aku berbaring disana. Kulihat Doni kebingungan, ia tak paham soal olahraga. Ia hanya berdiri terdiam melihat tubuhku yang jangkung berbaring di tanah beralaskan karpet yang kubawa dari rumah. "Sini!" Panggilku. "Eh, kamu mau ngapain? Jangan disini. Ini tempat umum!" Ia celingukan dengan pipi memerah. "Iya, sini. Tahan kedua kakiku, aku mau Sit-up. Emangnya kita mau ngapain?" Tegasku sembari membaringkan tubuhku kembali. Doni ragu ketika kedua kakinya melangkah ke lututku. Gerakannya canggung karena seumur hidupnya ia tak pernah berdekatan dengan cewek. "Duduk di tepat di lututku." Ucapku sembari meluruskan kakiku. "A—apaa!?" Doni semakin kebingungan. "Iya, duduk saja. Tahan lututku agar tidak tertekuk." Barulah Doni mulai duduk dengan pantat kurusnya di lututku. "Hitung sampai lima puluh kali." "Eh, sa—satu." Ucapan Doni yang cukup canggung karena tubuhku mulai baruyun naik. Tiba-tiba Doni terjungkal ke depan menimpa tubuhku. Ujung hidungnya menyentuh buah dadaku, mungkin juga wajahnya jika ia tak sigap menahan tubuhnya. "Hahahahaha,,, tahan yang bener." aku terkekeh karena tubuhnya terlalu ringan untukku. "Ah, kamu ini!" Ia kembali bangkit dan sedikit geram. "Duduk aja, tahan dengan berat badanmu." Perintahku. "Hmn," gumamnya mengangguk. "Oke, siap!!!" Aku memberi aba-aba. "Sa—satu, dua, tiga,,," Doni mulai menghitung. Tubuhku berayun naik dan turun. Kedua tanganku tertekuk di tengkuk. Nafasku mendesau mengikuti setiap gerakanku. Aku sedikit terganggu dengan aroma tubuh Doni yang terselimuti aroma lemon bercampur dengan fragance daun mint yang cukup menyegarkan. Aromanya sangat kusuka karena aku suka berolah raga. Entah, bagaimana aku bisa bersemangat seperti ini. Dan entah kenapa Doni menurut saja untuk membantuku mengikuti gerakan Sit-up seperti ini. Gerakanku cukup cepat dan terkadang aku harus mengerem gerakanku ketika diatas, aku takut buah dadaku menyentuh tubuh Doni. Walau ia bukan tipeku, aku juga masih ada kecanggungan akan hal itu. Eh, sebenarnya aku tak begitu tahu soal tipe-tipe cowok karena selama ini para cowok enggan untuk mendekatiku karena tubuhku super tinggi. Setelah kupikir, hanya Doni inilah yang pertama kali dekat denganku. Hehehe,,, aku jadi malu sendiri. "Lima puluh." Ucapan Doni menyeleseikan Sit-Up tahap pertama. Aku mendengus di pembaringanku untuk menghilangkan rasa lelah. "Sudah." Ucap Doni. "Lima puluh lagi," ucapku. "Awas minggir dulu." Doni mengalihkan pantatnya dan aku menekuk lututku. Di posisi ini, Doni menahan ujung kakiku agar tidak terangkat. "Sini tahan ujung kakiku!" "Hah, gimana!?" Doni bingung dangan posisi ini. Agnes kuat menahan kakiku dengan tangannya. Kulihat tangan Doni yang kecil mustahil menahan tekanan itu. "Hadap kebelakang, duduk diatas Sepatuku. Lalu bersandar." Doni mulai bersandar dan aku mulai melakukan gerakan Sit-up. Doni terlalu pendek, sehingga beberapa kali buah dadaku menyentuh belakang kepalanya. Aku harus lebih berhati-hati untuk mengerem gerakan ayunan kedepan. Alhasil, pinggangku sakit karena menahan gerakan itu. Namun dibeberapa kesempatan aku kelepasan dan menyentuh kepala Doni dengan buah dadaku. Walau Doni tak bereaksi banyak, dan mungkin dia tak tahu apa itu guna buah dada wanita selain untuk menghasilkan kelenjar susu untuk menyusui anak kelak. Aku juga tak pernah berpikir bagaimana sebagian besar pria menyukai bentuk buah dada seperti ini. Namun yang menjadi kerisauanku adalah aroma tubuh Doni dengan parfumnya yang membuatku betah berlama-lama. "Lima puluh!" "Haaahh,,,haaahhh,,,haaaahhh,,," desahku ngos-ngosan karena aku baru saja menyeleseikan latihan Sit-Up. Aku berdiri sejenak mengebaskan keringat dan meraih sebotol air. Aku hanya minum seteguk dengan beberapa tetes terumpah di bajuku. Doni masih terdiam memandangku, entah apa yang dipikirkannya, aku tak tahu. "Seratus kali lagi, yaitu Back-up." Pintaku. "Haaahh,,," Ia sedikit terkejut karena mungkin baru pertama kali ia melihatku tidur tengkurap di alas karpet. "Sini, duduk diatas pantatku." Perintahku sembari menunjuk bagian menonjol yang sudah membulat itu. "Eh, apa!?" Doni terkejut. Aku merasakan tekanan di pantatku dan aku mulai melakukan gerakan back-up. Doni mulai menghitung perlahan tapi pasti. Namun lama-kelamaan aku merasakan sesuatu yang aneh dengan Doni. Suaranya sedikit bergetar ketika ia membantuku menghitung. Tak hanya itu, pinggul Doni juga bergerak-gerak seakan menahan sesuatu. Mungkin dia sedang menahan kencing atau bagaimana? "Lima Puluh," Doni menghentikan hitungannya. "Huah,,, lima puluh lagi!" Ucapku menyemangati diriku. Posisiku masih terbaring tengkurap dengan tubuh Doni masih menahan pantatku. Kurasakan posisi Doni sudah berbeda, kini tubuhnya jadi condong kedepan. Aku juga merasakan sesuatu seperti tonjolan di bongkahan pantatku. Aku yakin, ia pasti sedang menahan kencing. Aku tak berani berkata-kata kecuali, "ayok lanjut lagi!" Aku kembali mengayunkan tubuhku dengan posisi Back-up. Doni tetap menghitung di suara getaran suaranya. Oh, kasihan sekali Doni karena harus menahan kencing. Apdahal tak ada toilet disekitar sini. Paling dekat adalah minimarket di ujung jalan. Suara Doni semakin bergetar tak karuan. Mungkin ia sudah tak tahan. Alhasil aku mempercepat gerakanku. Sebenarnya itu tak boleh, tetapi aku hanya tak ingin Doni semakin menderita karena menahan tubuhku. "Hmpfftttt, Limahh ahhhpuluh!" Ucap Doni menghentikan posisi latihan kami. "Huah,,, selesei juga. Tinggal Pull-Up ditiang itu." Doni langsung berdiri dari tubuhku. Nafasku ngos-ngosan karena aku barusaja menyeleseikan senam lantai yang dijadwalkan. Aku berbalik dan terduduk dengan kedua tangan menumpu tubuhku di belakang. Belum sempat aku beristirahat, Doni mulai berbicara. Posisinya melihat kearah taman dan membelakangiku. "Mira, aku sudah memikirkan topik untuk Makalah Essay kita. Yaitu tentang Olahraga. Mudah bukan membuatnya." "Mnnnn,,, ide bagus juga. Aku banyak paham soal itu." Ucapku sembari menyemangati diriku. Walau Doni terlihat judes, ia cukup cerdas dalam menyelesaikan soal. Ia lalu menoleh kearahku. Wajahnya memerah padam seperti orang yang baru melihat hantu. Mungkin Doni kecapekan menahan tubuhku ataukah ia sedang menahan air kencingnya yang mau keluar. Aku jadi khawatir dengan keadaannya. "Baiklah, besok pagi, jam 8. Kita ketemu disini lagi. Jangan lupa bawa perlengkapan olah raga yang lebih banyak karena kita akan ambil beberapa adegan peragaan. Aku akan pinjam kamera ayahku besok pagi. Byeee!" Belum sempat aku menjawab, ia sudah berlari. Kaki-kaki pendeknya dengan cepat meninggalkanku sendiri disini. "Aduh, kasihannya. Dia pasti sudah tak tahan lagi ingin ke kamar mandi." Gumamku sendiri. Pagi itu, aku terpaksa bangun lebih pagi. Wajahku kebas ketika aku harus mencuci mukaku. Udara dingin disertai dengan desiran angin membuatku enggan untuk keluar. Namun aku sudah berjanji dengan Doni. Kemarin, Doni memintaku untuk bertemu di Taman Pertiwi lagi. Aku masih memendam perasaan aneh setelah kupikirkan semalaman. Masak iya, Doni meninggalkanku di Taman begitu saja. Apakah dia seperti itu? Padahal seharusnya ketika ada ide, ia harus cepat mengerjakannya saat itu juga. Nah ini, malah aku ditinggal pulang. Apakah ia menahan pipisnya karena malu denganku dan buru-buru pulang? Tubuhku bergidik ngeri ketika aku baru saja keluar rumah. Kukira ini masih terlalu pagi karena saturasi cahaya mentari yang rendah, atau awan mendung meliputi kota ini. Apalagi ucapan Rosa terngiang di kepalaku. Aku yakin mereka pasti ngaceng sambil lihat kamu!" Aku yakin mereka pasti ngaceng sambil lihat kamu!" Aku yakin mereka pasti ngaceng sambil lihat kamu!" "Tidak mungkin Doni melakukan itu padaku. Ia bukan tipe cowok seperti itu." Umpatku sembari menepuk pipiku sendiri. Cowok sepuluh betul seperti itu, tak mungkin melakukan hal itu kepadaku. Ia pergi setelah membantuku Back-Up. Aku berbicara dan mengumpat sendiri sembari joging ke Taman Pertiwi. "Ngaceng, mana mungkin Doni bisa,,," Tiba-tiba aku berhenti dan memikirkan sesuatu. "Eh, tunggu dulu!" Disaat jalanan sedang sepi dan tak ada yang melihat. Aku meraba pantatku. "Kemarin aku merasakan tonjolan di sini." "Aaarrrgghhhh!!!" Akhirnya aku gila sendiri memikirkan hal yang tak penting. Masak iya, Doni ngaceng diatas pantatku. Aku yang masih awam dan tak mengerti mencoba untuk mencari, akhirnya aku ada ide untuk bertanya dengan Rosa malam nanti. Perjalanan cukup dekat terasa jauh karena banyak hal yang kupikirkan. Apalagi, gemuruh sudah mulai terdengar ketika aku sudah memasuki area Taman Pertiwi. Aku tak melihat siapapun. Alhasil aku langsung menggelar karpetku. "Oh tidak!" Keluhku karena aku tidak bisa melakukan Sit-Up dan Back-Up sendirian. Aku tak punya penahan untuk badanku. Biasanya aku lakukan itu dirumah dengan alas kasur sebagai penahan. Alhasil, aku melompat berpegang pada tiang dan melakukan Pull-Up. "Sembilan delapan, sembilan sembilan, seratus,,," gumamku menghitung. Cekreeekk,,,cekreekkk,,, samar-samar aku mendengar suara kamera dari sekitar. Oh, yang benar saja. Doni diam-diam memotret diriku yang sedang olahraga. "Heh, apa yang kau lakukan!" Tegasku geram karena dia mengambil fotoku diam-diam. "Hmn, sebagai bahan acuan." Ucapnya sembari memeriksa kameranya. "Kamu tak boleh,,," ucapanku terhenti karena Doni menyela. "Ketika kamu melakukan Pull-Up seperti tadi, otot bagian Bisep akan tertarik dan mengendur. Untuk itulah, latihan ini cocok untuk menguatkan lenganmu. Apalagi kamu biasa memukul bola di udara sambil melompat,,, mmmnnnn,,, apa namanya itu,,, Smash." Ujar Doni. "Spike," kataku membenarkan. "Oh, iya Spike. Latihan sangat cocok untukmu. Mungkin kamu bisa Scoot Jump agar lompatanmu lebih lincah dari sebelumnya. Aku menonton beberapa video pertandingan bola voli semalam." Tiba-tiba Doni mendekatiku. Tubuhnya terlihat lebih pendek ketika ia mendekat. Bahkan jika ia tepat berada di dekatku, pandangannya tertutup oleh buah dadaku. Doni menunduk dan menunjuk ke arah tumitku. Aku terpaksa menunduk agar perkataannya lebih jelas. "Kamu bisa gunakan tipuan Pivot. Jadi berpura-pura melompat, sehingga tim lawan yang melompat untuk memblokade, baru kamu melompat dan pukul bola dibelakang barisan blokade. Sudah pasti itu bola itu akan masuk." Tiba-tiba Doni berdiri. Posisiku yang menunduk membuat kepala Doni menyentuh buah dadaku. "Auhhhh,,," jeritku. Aku tahu ia tak sengaja, tetapi kenapa aku menjerit seperti itu. Disamping itu, memang benar. Doni memang cowok jenius yang dapat memecahkan masalah yang bahkan dia sendiri tak begitu ahli di dalammya. Kemampuannya menganalisa sungguh kompleks dan pengambilan keputusannya sangatlah tepat. Aku jadi teringat Linda yang berkata bahwa aku beruntung berpasangan dengan Doni di tugas Essai ini. "Eh, maaf." Doni hanya cuek dan berjalan ke sebuah bangku dan meja di taman itu. "Jadi foto-foto ini akan kita lampirkan di Essay nanti. Jadi judulnya Kiat Latihan Seperti Atlit Profesional! Bagus nggak?" Aku masih tertegun dengan kejadian tadi dan angan-angan tentang Linda. "Eh, maaf. Apa?" "Jadi kau ndak dengar apa yang kukatakan tadi." Doni sedikit geram. "Dengar, tapi akukan bukan Profesional." Ucapku sembari mendekatinya. Doni tiba-tiba bersemangat dan berdiri diatas bangku. Sekarang dia lebih tinggi 10cm dariku. Lalu entah kenapa? Ia memegang kedua lenganku. Matanya tajam mengatakan kepadaku, "kamu akan menjadi atlit voli profesional bahkan Internasional." Baru pertama kali aku melihat Doni bersemangat seperti ini. Anganku melayang ketika di dalam kelas. Ia tak pernah menoleh kemana-mana, bahkan melihat sekitar saja ia hanya melirik. Namun kini ia bukanlah Doni yang judes dan menyebalkan. Malahan Doni yang berbeda. "Baik, sekarang aku harus bagaimana!?" Ucapku bertanya sembari tersenyum melihat semangat dari Doni. Segala jenis pikiran kotorku menghilang begitu saja. Mungkin tadi pagi aku terlalu haluuu dan berpikir yang tidak-tidak. "Karena ini di Taman, ini sesi pengambilan Foto. Kamu bisa peragakan bagaimana senam-senam yang biasa kamu lakukan. Baru nanti aku akan foto!" Ucap Doni sembari menyetel kembali kamera DSLR. Aku melangkah kembali ke Taman dan kebingungan mau berpose apa? Wajahku canggung dan bingung, lalu aku kembali bertanya ke Doni. "Mnnnn,,, gimana ya pose-nya?" "Itulah kenapa aku foto diam-diam. Karena ketika diam-diam, semua terjadi secara alami begitu saja. Kamu mau lihat foto kamu tadi!" Ucapnya sembari menyodorkan kamera kepadaku. "Mau,,, mau,,," aku berlari kearah Doni. Jarak kamu terlalu dekat sehingga aroma parfum itu tercium kembali. Aroma lemon dengan paduan daun mint yang menyegarkan. Aromanya seperti minuman sprite yang diminum dengan Es Batu yang segar. Aroma yang membuatku sedikit betah berlama-lama disini. Lalu aku melihat wajahku dan tubuhku yang penuh ekspresi. Sungguh natural diriku bak bintang iklan. Ekspresi bahkan tetesan keringatku cukup memberikan ekspresi wajah yang sesuai dengan keadaan. "Jadi, kamu pura-pura Sit-Up atau Back-Up aja nanti aku foto diam-diam." Ucapnya. Aku tertegun mendengar suara itu. Aku ingat kejadian kemarin. Terbesit ide untuk mengetahui sebuah kebenaran yang beberapa jam ini mengganggu pikiranku. "Mnnnn,,, Sit-Up atau Back-Up harus ada penahannya. Kamukan ambil Foto, jadi tidak ada penahannya." "Ya kan, pura-pura saja, atau pose saja. Aku foto, sudah, selesei gitu." Jelas Doni. "Mnnnn,,," aku sedikit berpikir, mungkin dengan mengorbankan sedikit tubuhku, aku bisa tahu semuanya. "Tapi nanti bantuin aku kayak kemarin ya." Doni kelihatan enggan, namun aku yakin ia tak bisa menolakku. "Mnnnn,,, iya deh." Akhirnya perangkapku berhasil. Aku akan perhatikan ngaceng atau tidaknya Doni pagi ini. Tetapi entah kenapa pikiranku semakin liar, hanya karena untuk membuktikan hal yang tidak penting seperti ini. "Bagaimana kalau Scoot Jump dulu! Kan lebih enak ngambil gambarnya!" Ucapku. Kulihat jakun Doni bergerak naik dan turun. Pertanda bahwa dia akan melahapku. Ketima ScootJump, sudah pasti buah dadaku akan terlempar kesana kemari mengikuti gerakan tubuhku. "Iya deh," ujarnya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
191.9K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
285.1K
bc

DENTA

read
17.2K
bc

Head Over Heels

read
16.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
208.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook