Bab 6. Adakah Wanita Seperti Vio?

1101 Kata
"Vio, "panggil Jarek lagi. "Bapak, lebih baik bapak pulang," ucap Vio yang kembali menundukkan kepalanya. Ibu Jarek berjalan mendekat ke arah Vio, namun Vio berjalan mundur. Ibu Jarek berhenti berjalan, Vio pun ikut berhenti. Satu langkah ibu Jarek mendekat, maka satu langkah Vio berjalan mundur. "Kenapa kamu menghindari saya?" tanya Amel. "Tidak apa-apa bu," jawab Vio yang masih menundukkan kepalanya. "Saya hanya ingin memberikan obat ini pada kamu," ucap Amel seraya mengulurkan tangannya yang memegang plastik berisikan obat. Vio mengangkat kepalanya kemudian ia berjalan mendekat dan mengambil obatnya, "terima kasih, bu," ucap Vio. "Kita pulang Jarek," ucap Amel seraya menatap putranya. "Mama duluan saja," ucap Jarek seraya menatap Vio yang kini menatapnya. "Jarek!" panggil Amel dengan penuh penekanan, tatapan matanya terlihat marah. "Jarek bawa mobil sendiri. Jadi, mama duluan saja," ucap Jarek tanpa mempedulikan tatapan mata sang mama yang terlihat marah itu. "Kamu harus segera pulang jika kamu tidak mau Mama akan menceritkan ini pada Papa mu," ucap Amel memperingati. "Iya," jawab Jarek singkat. Mama Jarek keluar kamar dan pulang tanpa ia berkata apapun pada Vio. Kini Jarek dan Vio hanya tinggal berdua. "Pak, kenapa bapak tidak pulang?" tanya Vio takut-takut seraya mencoba menjauh dari Jarek. "Kamu yakin kamu tidak mau saya bertanggung jawab?" tanya Jarek menatap serius Vio. Vio mengalihkan pandangannya, tidak berani menatap Jarek. Ia takut, rasanya masih terbayang bagaimana Jarek memperk*sanya semalam. "Bapak akan segera bertunagan. Jadi, untuk apa bapak bertanggung jawab dengan saya? Saya hanya sekertaris bapak. Saya tidak pantas bersanding dengan bapak. Selain itu agama saya dan bapak berbeda, jadi tidak mungkin saya menikah dengan bapak," jawab Vio tanpa menatap ke arah Jarek. "Jika agama kita sama apa kamu akan minta pertanggung jawaban saya?" tanya Jarek seraya menatap Vio yang tidak mau menatapnya. "Tidak, pak," jawab Vio cepat. "Kenapa?" tanya Jarek heran. "Status sosial kita berbeda. Saya tidak ingin di anggap memanfaatkan tubuh saya untuk bisa menikah dengan bapak," jawab Vio. "Bukankah itu keinginanmu selama ini? Sedari kamu bekerja kamu selalu memakai pakaian ketat dan juga makeup yang tebal. Sakit mata saya melihat makeupmu, walau seiring berjalananya waktu makeupmu bagus tapi tetap saja, bukankah sedari awal kamu memang niat menggoda saya? Lantas kenapa kamu berkata seperti ini? Apa kamu ingin membuat saya memikirkan kamu?" tanya Jareka marah. "Maaf pak, kalau penampilan saya membuat bapak tidak nyaman. Saya minta maaf atas apa yang pernah saya lakukan. Namun, saat itu dan sekarang berbeda. Saya memang buruk karena berpikir untuk menggoda anda, tetapi tidak sampai kejadian tadi pagi terjadi. Tapi karena kajadian tadi pagi, saya sudah tidak pantas untuk bersanding dengan bapak. Saya sama seperti wanita jal** di luar sana, demi mendapatkan apa yang di inginkannya harus rela menjajakan tubuhnya. Saya bukan mereka, saya ingin pasangan saya menerima saya tanpa harus melakukan hubungan ranjang sebelum menikah. Mungkin bapak akan berkata saya munafik, di jaman sekarang dan pergaulan saya yang ke club malam tidak mungkin jika tidak melakukan se*, hanya saja sekalipun saya ke club malam tidak ada di dalam benak saya untuk melakukan se* sebelum menikah. Maaf pak, saya hanya bisa meminta maaf atas perbuatan saya sebelumnya," ucap Vio yang hanya menundukkan kepalanya tanpa menatap Jarek. Jarek diam menatap Vio, ada wanita seperti Vio di dunia ini? Wanita yang malah meminta maaf padahal dirinya yang sudah melecehkan Vio. "Bagaimana jika kamu hamil?" tanya Jarek membuat Vio mengangkat kepalanya dan menatap Jarek. "Itu berbeda jika saya hamil. Saya akan minta pertanggung jawaban atas kahamilan saya," ucap Vio. "Jika saya menolak?"tanya Jarek yang raut wajahnya terlihat datar. "Saya akan memaksa bapak," jawab Vio. "Bagimana caranya?" "Dengan melakukan tes DNA," jawab Vio yang masih menatap Jarek. "Jika saya maunya kamu gugurkan kandungan dan saya akan memberikan berapa pun uang yang kamu mau bagaimana?" tanya Jarek seraya berjalan mendekat ke arah Vio. "Apa yang saya lakukan adalah perbuatan dosa. Walau pun dalam kasus ini saya sama sekali tidak memberikan tubuh saya kepada bapak. Tapi tetap saja saya berdosa. Saya tidak ingin menambah dosa saya dengan menggugurkan bayi yang tidak bersalah. Dia ada bukan ke inginannya. Dia ada atas kehendak Allah. Allah yang menciptakan manusia, walau pun mungkin saya akan mengutuk, atau apapun karena saya hamil di luar nikah. Tapi saya tidak bisa menggugurkannya. Bagaimana pun dia berhak untuk hidup, dan saya pun beruntung. Setidaknya saya bisa hamil dan melahirkan, walaupun dengan cara yang salah. Karena di luar sana banyak orang yang menginginkan bisa hamil dan memiliki anak, tapi mereka belum di beri kesempatan," jawab Vio panjang lebar. Jarek terdiam mencerna semua ucapan Vio yang jawabannya adalah dirinya tidak akan menggugurkan kandungannya. Ia pun kembali bertanya, "bagaimana dengan perbedaan agama?" "Bapak bisa merubah agama bapak dan pernikahan ini tidak akan lama, hanya sampai saya melahirkan. Setelah itu kita bercerai dan bapak bisa kembali ke agama bapak," jawab Vio yang terdengar begitu mudahnya tapi ia sama sekali tidak menatap ke arah Jarek, membuat Jarek kesal. "Setelah kita bercerai bagaimana dengan hak asuh anak?" tanya Jarek yang menahan diri untuk tidak meninggikan suaranya. "Saya harap hak asuh anak sama saya. Dia masih kecil dan membutuhkan ASI. s**u formula memang bisa, tapi s**u formula tidak baik untuk bayi. Bapak atau keluarga bapak masih bisa menemuinya karena bagaimana pun dia anak bapak. Setelah dia dewasa atau besar, dia berhak untuk memilih tinggal dengan bapak atau saya. Jika dia memilih tinggal bersama bapak, saya rela. Asalkan bapak dan keluarga bapak mengizinkan saya untuk bertemu dengannya, kapan pun saya mau," jawab Jarek. "Kamu yakin, kamu akan rela berpisah dengan anakmu? Bukankah seorang ibu itu sangat menyayangi anaknya. Dia rela melakukan apapun untuk anaknya, asalkan anaknya bisa bersamanya?" tanya Jarek seraya memicingkan matanya. "Tentu, tentu seorang ibu akan melakukan apapun untuk anaknya. Jika anaknya bahagia tinggal bersama ayahnya kenapa tidak? Walau dia tidak bisa selalu bersama anaknya, tapi setidaknya dia masih bisa menemui anaknya. Itu sudah cukup untuk seorang ibu," jawab Vio. Jarek menganggukkan kepalanya, "tapi simpan mimpimu itu karena orang tuaku tidak akan setuju dengan pemikiranmu itu. Mereka mungkin akan memberimu uang, tetapi tidak akan mengakui anakmu adalah cucu mereka," ucap Jarek dengan nada suara dinginnya. Vio menatap Jarek dengan tatapan entah apa. "Apa yang kamu harapkan Vio, keluarga kaya raya dan bosmu anak laki-laki satu-satunya, mana mungkin orang tuanya ingin memiliki cucu dari wanita rendah sepertimu?" tanya Vio dalam hati. Jarek mendekat, Vio mundur hingga tubuhnya sudah terhimpit ke lemari pakaiannya sehingga ia tidak bisa mundur lagi. Vio meluruhkan tubuhnya ke lantai, memeluk kakinya yang tertekuk dengan sangat erat. "Pak, jangan," mohonnya dengan suara bergetar takut. Satu tangan Jarek terangkat untuk mengusap puncak kepala Vio. "Istirahatlah dan besok kamu boleh tidak masuk bekerja," ucap Jarek dan setelah itu ia berdiri dari jongkoknya sebelum ia pergi meninggalkan area appartement Vio.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN