Bab 5. Maaf, Bukan Saya Sengaja

1122 Kata
Defa pun ke luar dari unit appartement Vio dengan di antarkan Jarek karen harus menggunakan kartu akses. Mama Jarek menelphone supirnya utuk membelikan obat yang sudah di resepkan Defa dengan memfoto resep tersebut dan di kirim via pesan. Mama Jarek duduk di sofa seraya menunggu putranya itu yang sedang mengantarkan Defa. Pintu appartement terbuka, mama Jarek masih diam di tempatnya tanpa menoleh ke arah sang putra. "Katakan semua pada mama, Kenapa kamu memperkosanya. Apa dia memberi obat perangsang sama kamu supaya kamu memeperkosanya?" tanya mama Jarek seraya menatap Jarek yang sudah berdiri di sampingnya. Jarek mendudukkan dirinya di samping sang mama. Tatapan mata mama Jarek terlihat marah pada putranya itu. Penjelasan Defa barusan membuatnya berpikir jika memang anaknya memperkosa wanita di dalam sana. "Ma, kalo dia menjebak Jarek dengan obat perangsang namanya bukan memeperkosa," ucap Jarek sedikit kesal dengan pemikiran Mamanya. Mana ada orang memperkosa dengan menjebaknya meminum obat perangsang? "Terus apa yang terjadi? Kenapa kamu sampai memperkosanya? Mama tahu kamu suka jajan di luar, tapi karena mereka memang para jala**. Lantas sekarang kenapa kamu memperkosa wanita itu?" tanya Mama Jarek yang nada suaranya sudah meninggi. Tatapannya begitu marah pada sang putra. "Jarek penasaran dengan dia karena sebulan terakhir ini dia berubah. Dari cara berpenampilan sampai cara dia bersikap. Jarek benar-benar penasaran, akhirnya Jarek yang mabuk dan rasa penasaran Jarek, Jarek datang menemuinya. Saat dia membuka pintu entah kenapa Jarek melihatnya sangat cantik dan Jarek langsung masuk dan mendorongnya. Jarek menciumya dan...dan mama tau kelanjutannya," jawab Jarek. "Dia menerima saja atau menolak mu?" tanya mama Jarek seraya memicingkan matanya menatap sang putra. Ia mencari kebenaran dari apa yang Jarek ucapkan. Bagaimana bisa, hal sepele seperti ini membuat putranya memperkosa seorang wanita. "Tentu saja dia terus menolak Jarek. Dia menggigit lidah Jarek, dan Jarek menamparnya setelah itu Jarek menariknya ke kamar dan mengikat tangannya. Dan tadi pagi Jarek melakukan lagi dengan keadaan sadar sepenuhnya. Setelah itu, Jarek melepaskan ikatannya, dia pergi ke kamar mandi dan saat Jarek bangun ternyata dia masih di kamar mandi. Bibirnya biru ma, Jarek takut, Jarek takut dia kenapa-napa ma," ucap Jarek yang nada suaranya kembali bergetar takut. Mama Jarek mengehela napasnya melihat putranya itu ketakutan, ia pun menarik tubuh sang putra untuk ia peluk, "dia tidak akan kenapa-napa," ucap mama Jarek seraya mengusap-usap punggung sang putra untuk menenangkan putranya. "Ibu!" teriak Vio dari dalam kamar membuat Mama Jarek dan Jarek langsung melihat ke arah pintu kamar Vio. Mama Jarek saling berpandangan sebelum Jarek berlari ke kamar Vio untuk mengecek keadaan Vio. Saat Jarek membuka pintu, Vio sudah terduduk di lantai dan dia berusaha bangun. Jarek mendekati Vio, Vio mendongakkan kepalanya, saat ia melihat kaki seseorang di depannya. Wajah Vio berubah ketakutan, Vio langsung mundur hingga punggungnya menabrak meja yang ada di samping tempat tidurnya. Vio menekuk lututnya dan menyembunyikan wajahnya diatas lututnya yang tertekuk. "Pak, tolong... tolong jangan lakukan lagi. Saya tidak mau hamil dan tidak mau semakin berdosa. Saya mohon pak," mohon Vio dengan suara yang serak. Ia pun memeluk kakinya erat untuk menyembunyikan wajahnya. Ia takut, takut sekali jika Jarek melakukannya lagi. Jarek berjongkok dan memegang pundak Vio. "Pak saya mohon, jangan pak," mohonnya dengan suara yang bergetar ketakutan. "Vio, tenanglah," ucap Jarek dengan nada suara lembutnya. "Tolong pak, jangan," mohon Vio yang masih berucap dengan suaranya yang serak juga ketakutan. Jarek menarik Vio ke dalam pelukannya, ia tidak tega melihat Vio seperti ini. Baru kali ini ia melihat wanita seperti ini. Wanita yang sudah biasa ia tiduri tidak pernah seperti ini. Bahkan sewaktu kuliahpun, ketika untuk pertama kalinya ia merasakan se*, kekasihnya tidak seperti ini. Ini hal yang baru untuk Jarek, sehingga membuatnya tidak tega melihatnya. Di balik sikap bosy, tegas dan perfectionis dalam bekerja, ia sebenarnya memiliki hati yang lemah. Namun, sikapnya yang ini, tidak mudah untuk ia tunjukan ke orang lain selain ke keluarganya. "Tolong pak, jangan lakukan lagi. Saya tidak mau hamil pak, tolong pak, jangan..." mohon Vio yang masih terus terisak dan posisinya masih sama, ia yang memeluk kakinya yang tertekuk. Suara bel mengalihkan pandangan Mama Jarek yang kini sedang menatap Jarek dan wanitanya, dia segera berjalan untuk mebukakan pintu. Ternyata supirnya yang tadi dia suruh untuk membeli obat. Mama Jarek kembali masuk ke dalam setelah mengambil obatnya. "Jarek!" panggil Mamanya karena melihat Vio yang sudah lebih tenang, dan mereka sedang duduk di tepi tempat tidur dengan jarak yang sedikit jauh. Vio dan Jarek langsung menoleh kearah Mama Jarek. Seketika Vio menundukkan kembali kepalanya. "Ibu Amel, maaf bu, ini tidak seperti yang ibu fikirkan. Saya dan Pak Jarek tidak melakukan apapun. Pak Jarek ke sini karena ingin mengambil dokumen. Iya kan, Pak?" tanyan Vio pada Jarek diakahir kalimatnya. Ia pun melirik ke arah Jarek, kemudian Vio menundukkan kembali kepalanya. Vio kemudian berdiri dan mengambil sebuah dokumen di atas meja riasnya. Ibu Jarek hanya diam, ia hanya memperhatikan cara berjalan Vio dan ia baru sadar jika wanita itu adalah sekertaris putranya. Penampilan Vio sungguh jauh dari penampilan yang biasa ia lihat ketika sedang ke kantor sang putra. Belum lagi, wajah Vio yang bibirnya tadi membiru pun membuatnya memang tidak mengenali wajah Vio. "Ini pak dokumennya," ucap Vio seraya menyodorkan dokumen kepada Jarek, tapi Vio hanya menundukkan kepalanya tanpa menatap Jarek. "Bapak mau langsung pulang atau mau saya buatkan minum dulu. Ibu Amel juga?" tanya Vio seraya menatap Amel-mama Jarek itu takut-takut. "Lebih baik kamu istirahat Vio," ucap Jarek yang raut wajahnya sama sekali tidak suka dengan tindakan Vio. "Saya tidak apa-apa pak. Lagi pula ada tamu masa saya mau istirahat?" tanya Vio yang masih menundukkann kepalanya. Vio kemudian berjalan keluar, namun langkahnya terhenti, karena Jarek memegang pergelangan tangannya. "Kamu istirahat, Mama ku sudah tahu," ucap Jarek membuat Vio langsung melihat ke arah Jarek dengan tatapan terkejutnya. Kemudian dia membalikkan badannya dan melihat Amel. "Ibu, maaf. Bukan maksud saya untuk tidur dengan Pak Jarek. Tapi pak Jarek sedang mabuk. Saya tidak bisa melepaskan diri dari pak Jarek. Saya minta maaf dengan apa yang terjadi, saya janji saya tidak akan meminta tanggung jawab pada pak Jarek, karena pak Jarek mabuk," ucap Vio yang kini berlutut dengan kepala menunduk. Walau ia di awal pernah mencoba merayu Jarek, tapi jika kejadiannya seperti ini. Rasanya ia tidak pantas berharap menjadi menantu keluarga kaya seperti bosnya ini. Ia hanya seperti wanita muraha* yang dengan sengaja membuat bosnya tidur dengannya, kemudian mengandung anak bosnya dan meminta pertanggung jawaban pada bosnya itu. Sungguh, tidak ada dalam benaknya sampai sejauh itu ia membuat bosnya bisa menjadi suaminya. Walau memang ia salah dengan menggoda bosnya menggunakan pakaian ketat dan makeup tebal, tapi ia tidak berpikir untuk hamil di luar nikah hanya untuk menikah dengan bosnya itu. "Vio, "panggil Jarek. "Lebih baik ibu dan Pak Jarek pulang saja. Disini bukan lingkungan kalian. Tidak seharusnya kalian disini.," ucap Vio yang mengabaikan panggilan dari Jarek.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN