Bab 9. Serendah Itukah Dirinya?

1197 Kata
Setelah siap mereka pun keluar, saat di lobi beberapa pasang mata melihat ke arah mereka. Bahkan secara terang-terangan mereka mencibir Vio. Jarek menarik tangan Vio, Vio langsung menatap Jarek. "Pak tolong lepaskan tangan saya," cicit Vio yang masih bisa di dengar Jarek. Jantung Vio sudah berdegup cepat, tubuhnya juga sudah panas dingin. Jarek tidak perduli, dia terus menarik tangan Vio. Sampai di depan mobil yang sudah di siapkan di depan lobi perusahaan, Jarek langsung manarik Vio duduk di depan kursi sebelah pengemudi. Jareka pun masuk kedalam mobil di bagian pengemudinya. "Pak, sebenernya bapak dan saya mau kemana? Saya ingat, sore ini tidak ada pertemuan dengan klient," tanya Vio takut-takut ketika mereka sudah berada di dalam mobil. "Tadi saya sudah mengatakannya. Apa masih belum jelas?" tanya Jarek dengan nada suara dinginnya. "Tapi kenapa saya harus memakai baju seperti ini? Dan klient mana yang akan kita temui? Saya belum menyiapkan bahan-bahan untuk bertemu klient perusahaan, pak," ucap Vio. "Bajumu saya robek, apa kamu ingin memakai baju yang sudah saya robek?" tanya Jarek sesekali melihat kearah Vio yang menunduk dan meremas gaunnya itu. Mobil sudah Jarek lajukan meninggalkan area kantornya, jadi, pandangannya kini lebih terfokus ke jalanan sore yang macet ini. "Sudah, kamu angan banyak bertanya lagi. Sangat mengganggu konsentrasi saya menyetir. Apa kamu ingin kita kecelakaan?" tanya Jarek tanpa menatap Vio. "Maaf, pak," hanya itu yang bisa Vio lontarkan. "Mulai sekarang panggil saya Jarek jika kita tidak sedang di kantor dan hanya berduaan seperti ini," ucap Jarek yang fokus menyetir. "Maaf pak, kenapa?" tanya Vio seraya menatap Jarek, hanya sebentar karena dirinya kembali hanya menundukkan kepalanya. "Turuti saja apa perintah saya!" tegas Jarek. "Saya tidak ingin ada penolakan, saya tidak suka dengan penolakan!" tegas Jarek yan kembali berucap dan mengehentikan mobilnya karena sedang berada di lampu merah. "Bapak bos saya, saya tidak bisa memanggil nama bapak saja," ucap Vio yang masih menundukkan kepalanya dan genggaman tangan di bagian bawah dressnya semakin menguat karena ia bisa merasakan Jarek yang tubuhnya mendekat ke arahnya. "Pak, tolong jangan," mohon Vio yang suaranya mulai bergetar. Tubuhnya pun ia gerakkan untuk mendekat ke pintu mobil. "Panggil saya Jarek!" perintah Jarek yang masih mendekat ke arah Vio. "Pak, tolong jangan," mohon Vio yang wajahnya sudah ia sembunyikan ke jendela. Tangannya sudah bergerak ingin membuka pintu, tetapi pintu itu terkunci. Jarek tersenyum, wajah Jarek sangat dekat dengan telinga Vio. Tubuh Vio hanya bisa bergetar takut karena ia bisa merasakan hembusan napas Jarek di telinganya. "Panggil saya Jarek, Vi. Atau kamu mau mencobanya di mobil?" bisik Jarek tepat di telinga Vio membuat Vio semakin ketakutan dan mencoba merapatkan tubuhnya ke pintu mobil. Jarek hanya tersenyum kemudian mengusuk kepala Vio sebelum ia menjauhkan tubuhnya dan kembali duduk dengan benar. Jarek kembali melajukan mobilnya ketika lampu lalu lintas sudah berubah hijau. Jalanan sangat macet, pukul 6 sore mereka sampai di tempat. "Bukankah ini apartemen?" tanya Vio dalam hati. Pintu mobil sebelah Vio terbuka, membuat Vio membuyarkan lamunannya. "Ayo turun," ajak Jarek seraya mengulurkan tangannya. "Kita dimana, pak? Bukankah kita akan bertemu klient?" tanya Vio seraya menatap Jarek dengan tatapan bingungnya. "Sudah ayo turun," ajak Jarek yang masih mengulurkan tangannya tanpa menjawab pertanyaan Vio. "Tapi, pak," ucap Vio yang ragu untuk ikut dengan Jarek, apalagi ini di sebuah appartement yang ia yakini ini appartement milik Jarek. "Vio!" tegas Jarek yang menatap marah Vio. "Saya sudah katakan untuk tidak membantah bukan? Dan jangan banyak bertanya!" marah Jarek. Mendengar suara Jarek yang marah, membuat Vio akhirnya menuruti pekataan Jarek. Vio keluar dari mobil tanpa memegang tangan Jarek. Jarek pun membiarkan saja apa yang Vio inginkan. Ia berjalan terlebih dahulu, di ikuti dengan Vio yang berjalan di belakangnya. "Masuk!" perintah Jarek saat lift terbuka. Kebetulan, hanya mereka berdua saja yang akan masuk ke lift. Vio masih diam, ketakutannya masih ada. Di dalam lift nantinya hanya akan ada mereke berdua. "Masuk, Vio!" ucap Jarek dengan suara rendah tetapi penuh penekanan. Vio melangkah ragu, Jarek yang kesal langsung menarik tangan Vio hingga Vio masuk ke dalam lift dan menabark tubuh Jarek. Vio segera menjauh dari Jarek, "Maaf, pak," ucap Vio setelah itu ia berdiri menjauh dari Jarek. Jarek hanya diam sampai akhirnya lift pun terbuka, ia keluar diikuti Vio. Jarek membuka pintu apartement dan ia seperti mempersilakan Vio masuk karena ia masih memegang handle pintu dengan posisi pintu terbuka. Vio terdiam di depan pintu, menatap ragu untuk masuk ke dalam appartement. "Masuk!" perintah Jarek karena Vio hanya diam saja. "Saya tunggu di luar saja, pak," ucap Vio seraya menatap Jarek. Hanya sebentar saja, dan ia mengalihkan pandangannya. "Harus berapa kali saya katakan, jangan banyak membantah ucapan saya!" tegas Jarek. Vio pun akhirnya masuk dari pada kabur dari sana. Jika kabur, mungkin dirinya akan kembali di perkos* oleh bosnya. Ini area bosnya, pasti tidak mudah kabur dari sana. Sampai di dalam, Jarek meminta Vio untuk duduk di sofa ruang tamu sedangkan Jarek pergi ke kamar. Vio hanya duduk di sofa tanpa berniat sedikit pun pergi kemana-mana. Tiga puluh menit berlalu, Jarek ke luar dengan pakaian rapinya. Entah dia sengaja atau tidak Jarek memakai jas dan celana dasar berwarna Navy yang senada dengan dress yang di kenakan Vio, membuat Vio menjadi salah tingkah sendiri hanya karena merasa pakaian yang dirinya dan bosnya kenakan adalah pakaian couple. Bahkan rasa takutnya kini sudah menguar entah kemana ketika melihat penampilan bosnya. "Kita berangkat," ucap Jarek dan ia berjalan terlebih dahulu. "Baik, pak," jawab Vio dan berjalan mengikuti Jarek. Jarek kembali melajukan mobilnya, jalanan yang memang cukup padat membuat mereka cukup lama berada di jalanan hanya untuk ke sebuah hotel yang jaraknya tidak begitu jauh dengan appartement Jarek. Satu jam mereka berada di dalam mobil tanpa ada pembicaraan sama sekali. Vio terus meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja. Dirinya yang tadi sempat melupkan ketakutannya, tetapi kembali merasakan takut. Mobil sudah berhenti di area lobi hotel, Jarek keluar dari mobilnya dan berjalan ke pintu samping untuk menghampiri Vio yang masih berada di dalam mobil. "Ayo keluar," ajak Jarek yang sudah berdiri di samping pintu sebelah Vio yang sudah ia bukakan pintunya. Vio masih terdiam dan menatap ke arah hotel yang ada di depannya. "Kenapa?"tanya Jarek karena Vio hanya diam seraya menatap ke arah hotel. "Kita mau bertemu siapa di hotel ini, pak? Saya tidak membawa berkas apapun," tanya Vio seraya menatap Jarek. "Kamu tidak perlu pikirkan berkas apapun, cukup sekarang kamu turun dan ikut dengan saya masuk," jawab Jarek yang tangannya masih terulur ke depan Vio. Pikiran Vio berkecamuk, apakah dia akan di jadikan pemua* nafsu klient yang akan mereka temui? Jika memang ingin bertemu klient, seharunya ia tahu dan seharusnya juga Jarek memintanya untuk membawa berkas? Namun, kenapa Jarek tidak meminta berkas apapun padanya. Sungguh, apakah sehina dan serendah itu dirinya hingga harus di jadikan pemua* nafsu klient Jarek? Vio kembali mendongak untuk menatap Jarek, pria dingin, selalu meminta kesempurnaan dalam pekerjaan. Pria yang selalu memberikan pekerjaan dalam waktu singkat dirinya harus selesaikan, apakah bos seperti itu tidak bisa membedakan pekerjaan atau merendahkan seorang wanita? Memang dirinya yang pertama kali membuat dirinya rendah di mata bosnya karena berusaha menggoda bosnya, tapi apakah harus sampai seperti ini? Terlalu banyak hal yang di pikirkan hingga dia hanya diam saja menatap bos di depannya. Jarek yang geram pun langsung menarik tangan Vio untuk mengikutinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN