Bab 11. Menurutlah

1131 Kata
Vio terus meronta dan memohon, tetapi para bodyguard yang membawanya tidak peduli dengan permohonannya. Jarek memesan kamar president suite untuk mereka. Entah apa yang akan di lakukan Jarek kali ini. Vio benar-benar tidak bisa lepas dari Jarek. Vio di paksa masuk kedalam kamar dan dengan cepat pintu kembali terkunci. Vio mencoba menggerakkan handle pintu, namun nihil, pintu tidak bisa terbuka. "Buka pintunya," teriak Vio seraya menggedor dan juga menggerakkan handle pintu secara kasar. Tidak ada sahutan sama sekali dari luar membuat Vio kini terduduk di lantai. Air mata sudah membasahi pipinya, ia menangis lagi. Entah, berapa banyak air mata lagi yang harus ia tumpahkan. Ia tidak tahu, kenapa dirinya tidak di ijinkan pergi oleh Jarek. Padahal di ballroom sana, Jarek pasti sedang mengobrol dan tersenyum dengan tunangannya. Lantas, untuk apa dia harus di kurung di kamar hotel ini? Vio memukul pintunya dan meminta tolong agar di bukakan pintunya, tetapi tidak ada respon sama sekali dari luar kamarnya. Suaranya sudah serak, sehingga tidak jelas apa yang ia katakan. Tiba-tiba ia merasa mual, ia pun bergegas ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya. Vio pun memuntahkan isi perutnya kedalam closet. Rasanya tergorokannya panas setelah memuntahkan isi perutnya. Asam lambungnya naik, dan sepertinya dirinya yang tidak makan siang dan sekarang sudah malam, membuat asam lambungnya naik. Rasa asam di mulutnya dan perutnya yang terus ingin memuntahkan isi perutnya, menandakan jika asam lambunganya sedang naik. Vio keluar dari kamar mandi dengan perasaan lebih lega setelah memuntahkan semuanya. Namun, rasa ingin muntah itu masih ada. Vio kemudian duduk di sofa yang ada di sana. Mengambil handphonenya untuk mengirimkan pesan pada Jarek. "Pak, tolong ijinkan saya pulang. Saya tidak sanggup di sini. Tubuh saya lemas karena mag saya kambuh." itu isi pesan Vio untuk Jarek. Vio kini menunggu balasan dari Jarek, tapi sampai bermenit-menit Jarek tidak membalas apapun, padahal Jarek sudah membaca pesannya. Vio kembali ke kamar mandi karena tidak tahan ingin kembali memuntahkan isi perutnya yang sudsh kosong. Menangis, itu yang Vio lakukan sekarang setelah hanya cairan saja yang Vio muntahkan. Rasa di tenggorokannya tidak nyaman sama sekali. Vio bahkan tidak menyadari pintu kamarnya sudah terbuka dan bodyguard masuk ke dalam untuk mengantarkan makanan juga obat untuk Vio. Makanan dan obat itu dari Jarek yang memerintahkan bodyguard untuk membawakan obat lambung dan juga makanan. Vio dengan tubuhnya yang sudah sangat lemas tidak bertenaga sama sekali itu pun kembali ke sofa yang tadi ia duduki. Vio sedikit terkejut ketika melihat ada obat dan makanan di meja depan sofa yang ia duduki. Ia menghela napasnya, ini berarti ia tidak di ijinkan pergi dari sini sama sekali oleh bosnya. Karena ia yakin, obat dan makanan ini dari bosnya yang memerintah bodyguard tadi mengantarkan makanan dan obat untuknya. Jika dia di ijinkan pergi, tidak mungkin akan ada obat dan makanan di sini. Vio pun meminum obatnya terlebih dahulu, kemudian ia merebahkan tubuhnya di sofa tersebut. Ia kemudian mengangkat dressnya ke atas agar ia bisa menyentuh perutnya yang mual dan juga sakit. Vio menekan-nekan perutnya dengan telapak tangannya. Hal seperti ini sering dia lakukan jika mag kambuh atau jika perutnya sedang bermasalah. Sedikit banyak hal itu bisa meredahkan rasa sakit di perutnya. Vio tidak mendengar pintu terbuka karena dia mulai tertidur, tidak lama ada seseorang yang duduk di dekat kakinya. Mambuat Vio membuka matanya. Betapa terkejutnya dia saat melihat orang yang duduk di dekat kakinya. "Pak Jarek!" ucapnya terkejut dan langsung mendudukkan tubuhnya. Ia pun menarik kakinya menjauh dari Jarek. "Apa masih sakit?" tanya Jareka seraya menggeser duduknya supaya lebih dekat dari Vio. "Sudah lebih berkuranng, pak," jawab Vio singkat seraya menggeser duduknya hingga ia sampai di ujung sofa dan tidak bisa kemana-mana lagi. Jarek semakin memperpendek jaraknya, "kenapa, belum makan?" tanya Jarek yang kini sudah menghimpir tubuh Vio. Kepalanya ia bawa mendekat ke wajah Vio, tetapi Vio menjauhkan kepalanya agar menjauh dari wajah Jarek. "Tadi saya minum obat dahulu, pak. Malah ketiduran," jawab Vio. "Pak, bisakah saya pulang? Acaranya sudah selesaikan? Dan di sini juga bukan tempat saya, saya hanya karyawan saja, tidak seharusnya saya di sini," ucap Vio masih dengan posisi tubuh terhimpit Jarek dan kepalanya berusaha ia jauhkan dari Jarek. "Makanlah dahulu, biar saya suapi," ucap Jarek dan menegapkan tubuhnya. "Tidak perlu pak, saya bisa makan sendiri," ucap Vio yang masih belum mengubah posisinya, ia tidak mau jika tiba-tiba saja Jarek menerjangnya. "Sudah, biar saya yang suapi kamu!" tegas Jarek yang tidak mau di bantah. Jarek mengambil piring nasi Vio, "sudah berapa kali saya katakan untuk menuruti apa yang saya katakan. Saya tidak suka di bantah," ucap Jarek yang kini sudah menatap Vio dengan piring nasi yang sudah ia pegang. Vio tidak berkata apapun, Jarek akan menyuapi Vio tetapi pergelangan tangan Jarek ia tahan. "Jangan pakai dagingnya pak, saya tidak suka daging di bumbu seperti ini," ucap Vio. "Kalau begitu, biar saya suruh bodyguard untuk mengambilkan makanan lain untukmu," ucap Jarek dan akan meletakkan nasinya ke meja. "Tidak perlu pak, itu ada sayuran, saya makan dengan sayurannya saja," ucap Vio. "Hanya sayuran? Kamu yakin?" tanya Jarek yang dahinya mengernyit. "Iya, pak tidak apa-apa," jawab Vio. Jarek pun kini menyuapi Vio dan Vio pun menerimanya. Ia mengunyah dengan cepat, "pelan-pelan, saya tidak akan mengambil makananmu," ucap Jarek. Vio menatap Jarek dengan tatapan entah apa, dalam hati dirinya hanya menggerutu karena memang ia ingin segera pergi dari sini itu sebabnya ia ingin segera menyelesaikan makannya. Akhirnya Vio selesai makan dan satu piring nasi itu habis di makan olehnya. "Bukankah dia sedang sakit? apalagi sakit mag. Tapi nasi satu piring ia habiskan?" tanya Jarek dalam hati, tidak percaya Vio dapat menghabiskan satu piring nasi yang hanya makan dengan sayuran saja. Belum lagi, makanan di piring itu cukup banyak untuk orang yang sedang sakit mag, biasanya tidak bisa makan banyak. Jarek meletakkan piring kosong yang hanya tersisa daging itu ke atas meja. Ia sama sekali tidak bertaya, apakah Vio mual setelah makan sebanyak itu, menurut Jarek. "Saya boleh pulang sekarang, pak?" tanya Vio setelah Jarek meletakkan piring kosong ke meja yang ada di depannya. "Kamu baru selesai makan. Tunggulah beberapa menit lagi, nanti saya akan antarkan kamu pulang," jawab Jarek seraya menatap Vio. "Benar, pulang, ya pak," ucap Vio. "Apa kamu ingin menginap di sini?" tanya Jarek. "Tidak, saya ingin pulang," jawab Vio cepat. Jarek menganggukkan kepalanya mengerti, "jadi, tunggulan beberapa menit lagi jika kamu ingin pulang," ucap Jarek kemudian ia pun mengambil handphonenya. Mereka berdua saling diam, tidak ada pembicaraan sama sekali. Vio mengernyitkan dahinya, ia kemudian melihat ac kamar yang sudah hidup. Tubuhnya terasa panas, ia memilih segera berdiri dari tampat duduknya. "Pak, sudah ya, saya ijin pulang sekarang," ucap Vio. "Tunggu sebentar lagi," ucap Jarek seraya medongakkan kepalanya dan ia pun kembali berkutat dengan handphonenya. "Tidak bisa pak, saya harus segera pulang," tolak Vio. "Nanti atau saya tidak ijinkan kamu keluar dari sini!" tegas Jarek seraya menatap Vio marah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN