Check-In, Imigrasi, dak Jantung yang Tidak Profesional.

1023 Kata
Langit pagi di Bandara Soekarno-Hatta mendung tipis, seolah ikut menggambarkan perasaan Nayla yang campur aduk: senang, gugup, dan sedikit mual karena sarapan tergesa. Adrian berdiri tidak jauh dari pintu keberangkatan internasional, mengenakan coat hitam panjang dan membawa koper cabin berwarna abu-abu. Maskulin dan rapi seperti biasa, tapi pagi itu ia terlihat sedikit lebih santai. Tanpa dasi. Rambut agak berantakan. Dan—yang membuat Nayla gelagapan—senyum tipis yang muncul saat mata mereka bertemu. "Tepat waktu," kata Adrian begitu Nayla sampai di depannya, sedikit terengah dengan koper pink-nya yang terlalu besar. "Saya nyaris salah terminal, Pak. Untung satpamnya baik," jawab Nayla sambil menyeka keringat. Adrian menahan tawa. “Kopermu … gede banget. Kita cuma tiga malam.” “Ini koper warisan keluarga, Pak,” balas Nayla sambil nyengir. Adrian tidak tahu bagaimana semalaman Nayla tidak bisa tidur dan bolak balik membongkar isi kopernya, memilih pakaian yang cocok dan pantas di pakai di sana, dia terlalu bersemangat mengetahui akan pergi ke Negara impiannya bersama dosen favorit se kampus. *** "Nama lengkapnya?" "Nayla Anindya, Bu." Petugas konter check-in di bandara Soekarno-Hatta mengetik cepat di layar komputernya. Di sebelah Nayla, Adrian berdiri tenang dengan jaket hitam dan ransel hitam minimalis. Ekspresinya nyaris tak berubah sejak mereka bertemu setengah jam lalu—tenang, efisien, dan ... dingin seperti biasanya. Beda dengan Nayla. Sejak masuk bandara, jantungnya tidak sinkron dengan langkah kakinya. Dia sempat salah jalur masuk, hampir menabrak tiang, dan sekarang tangannya berkeringat hebat walau AC bandara menyala kencang. "Ini tiket dan paspornya, silakan," kata petugas. "Boarding dari gate 4C, dua jam lagi." Mereka menerima boarding pass dan berjalan pelan ke arah gate. "Kamu kelihatan gugup," ujar Adrian tanpa menoleh. Nayla menelan ludah. "Enggak juga ... cuma ... baru pertama kali ke luar negeri." Adrian menoleh setengah, lalu mengangguk. "Tenang aja. Di Jepang semua terjadwal. Kamu akan suka." Nayla ingin bilang, Saya sudah suka dari sekarang, dan itu bukan karena Jepang, tapi dia tahan. Dia hanya tersenyum canggung dan menggenggam boarding pass erat-erat seperti jimat. Di Imigrasi ... "Silakan buka maskernya, Mbak," kata petugas imigrasi. Nayla melepas masker dan langsung tersenyum. Tapi senyumnya kaku karena jantungnya deg-degan. Ketika petugas mengecek paspor dan men-stamp dengan suara khas itu, Nayla nyaris bersorak dalam hati. Satu rintangan selesai! Lalu dia melirik ke konter sebelah. Adrian sedang mengobrol singkat dalam bahasa Jepang dengan petugas. Entah mengapa, melihat Adrian bicara Jepang membuat Nayla merasa ... aneh. Sedikit kagum, sedikit canggung. Multibahasa. Sopan. Cerdas. Dingin. Cowok anime banget nggak sih? Mereka berjalan ke gate dengan koper masing-masing. Adrian tidak terlalu banyak bicara, tapi dia sesekali menoleh memastikan Nayla tidak tertinggal. Setiap kali begitu, Nayla akan tersenyum terlalu lebar dan mengangguk seperti boneka. Dalam pesawat... Mereka duduk bersebelahan di kursi 28A dan 28B. Adrian di sisi jendela, Nayla di tengah. Di sisi lorong, ada ibu-ibu Jepang yang tampak tertidur sejak boarding. "Ini ... enam jam ya, Pak?" tanya Nayla sambil memasang seatbelt. "Tujuh jam. Tapi ada jetlag nanti, jadi waktu kita akan maju dua jam." Nayla mengangguk, lalu mencoba menyalakan layar hiburan. Tapi tombolnya macet. Adrian, tanpa bicara, membetulkan tombolnya dengan satu jentikan jari. "Coba sekarang." "Makasih, Pak." Hening lagi. Kecuali suara pramugari Jepang dan bunyi mesin pesawat. Setelah pesawat lepas landas, Nayla mencoba tidur tapi gagal. Dia terlalu sadar akan jarak bahunya dengan bahu Adrian. Terlalu sadar akan aroma parfumnya yang samar tapi stabil. Terlalu sadar akan fakta bahwa mereka akan satu kamar hotel—eh, dua kamar sih ... Tapi tetap saja satu atap! Selama penerbangan 7 jam itu, Nayla duduk di sebelah Adrian di kelas bisnis. Dia mengutuk dirinya sendiri karena tak bisa tertidur. Sebaliknya, otaknya sibuk berputar. Apalagi setelah Adrian meminjam headset-nya karena headset maskapai bermasalah. Di layar, Nayla sedang menonton film romantis Jepang. Di adegan itu, tokohnya mencium pipi lawan mainnya. Nayla buru-buru mengganti channel. Adrian tertawa pelan. “Aman?” Nayla mengangguk cepat. “Y-ya. Aman, Pak.” “Kalau kamu nonton horor, aku mau pinjam sebelah headset. Tapi kalau film cinta-cintaan .…” “Eh, nggak kok. Ini … dokumenter sushi.” Adrian memiringkan kepala, memandangi layar Nayla. “Lucu juga kalau dokumenter sushi ada background musik romantis.” Nayla ingin menghilang saat itu juga. *** Mendarat di Narita, Jepang Udara dingin menusuk meski mereka sudah memakai jaket. "Wow ...." adalah satu-satunya kata yang keluar dari mulut Nayla begitu mereka keluar dari bandara. Udara dingin menerpa wajahnya. Bangunan rapi. Mobil tertib. Semua terasa seperti dunia paralel. "Kita naik kereta ke hotel. Dari sini satu jam," kata Adrian sambil menyerahkan kartu kereta. Nayla menerima kartu itu dengan dua tangan, reflek kebiasaan nonton drama Jepang. "Arigatou gozaimasu," katanya pelan. Adrian menatapnya sejenak. "Sopan sekali." "Nonton anime dari kecil, Pak." "Ketahuan dari gaya kamu pakai kartu tadi." Mereka tertawa kecil. Dan untuk pertama kalinya sejak mereka berangkat, Nayla merasa ... rileks. Sedikit. *** Hotel di Tokyo... Hotel tempat mereka menginap termasuk mewah, dan Nayla masih tak percaya semua ini dibiayai kampus. Hotel itu berada di distrik Shibuya, tidak jauh dari lokasi seminar. Dua kamar, satu lantai. Adrian menunggu di lobi sementara Nayla check-in. “Ini kamarnya, Pak,” Nayla menyerahkan kartu akses kepada Adrian setelah menerima dua kartu dari resepsionis. Adrian mengangguk, lalu melihat nama kamar Nayla. “Lantai yang sama ya. Kalau ada apa-apa, tinggal ketuk. Tapi jangan tengah malam kecuali kebakaran,” katanya. Nayla tersenyum canggung. “Siap, Pak.” Lalu mereka naik lift bareng. "Besok seminar jam sepuluh. Jam delapan kita sarapan di bawah," kata Adrian. "Siap." "Kamu istirahat. Tapi kalau sempat, coba lihat materi yang saya kirim di email." Nayla mengangguk. Lalu lift terbuka. Mereka berjalan ke arah kamar masing-masing. Sebelum masuk, Nayla menoleh. "Pak Adrian." Adrian menoleh dari pintu kamarnya. "Makasih udah ngajak saya. Serius." Adrian hanya mengangguk. Tapi kali ini ... dia tersenyum. Dan itu senyum dengan lesung pipit kecil di pipi kanannya. Setelah itu, Nayla masuk ke kamarnya dan langsung menjatuhkan diri ke kasur. “Gila … ini beneran. Gue di Jepang. Bareng dosen favorit kampus. Dan gue … gak boleh jatuh cinta.” Tapi suara tawa Adrian selama penerbangan tadi terngiang-ngiang di telinganya. Dan hatinya mulai tidak patuh pada logika. Nayla jatuh terduduk di lantai sambil menutup muka dengan bantal. "GUE MATI."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN