Festival Kampus.

1174 Kata
“Saya harus ke ruang UKM. Ada rapat mendadak.” Adrian mengangguk, tapi matanya tetap mengikuti langkah Nayla yang buru-buru mengambil tas. “Jaket saya … yang kemarin,” katanya Ketika Nayla di ambang pintu. “Oh.” Nayla menepuk dahinya. “Masih saya cuci. Maksudnya, saya belum balikin. Nanti saya .…” “Simpan aja dulu. Kamu cocok pakai itu.” Nayla menatapnya, bingung. “Cocok gimana?” Adrian tersenyum miring, lalu kembali duduk dan menatap laptop. “Kayaknya kamu … mulai nyaman.” Nayla tak menjawab. Ia melangkah keluar, tapi sebelum pintu menutup, pipinya terasa memanas. Bukan karena malu—lebih karena bingung. Apakah dia memang mulai nyaman … atau mulai salah arah? *** Nayla duduk di kursi belakang, matanya tidak benar-benar terfokus pada papan tulis yang penuh catatan acara. Beberapa teman UKM-nya sedang sibuk mendiskusikan jadwal dan pembagian tugas untuk festival kampus yang akan berlangsung Sabtu nanti. Namun pikirannya tetap melayang, tak bisa lepas dari pertemuan singkatnya dengan Adrian tadi. Mereka saling menatap—adakah itu artinya sesuatu? Apakah perasaan itu hanya ada dalam dirinya saja? Ataukah Adrian benar-benar berkata begitu karena hanya kebiasaan berbicara dengan nada datar yang selalu ia gunakan? Nayla menghela napas pelan, mencoba untuk mengembalikan fokusnya. “Eh, Nayla, kamu dengar gak sih?” suara Rika, ketua UKM, memecah lamunannya. Teman-temannya menatapnya dengan ekspresi bingung. “Kamu ngelamun lagi? Bisa tolong fokus gak?” Nayla tersentak. “Oh, iya … maaf. Aku—maksudnya, aku dengar kok,” jawabnya, sedikit canggung. Ia mencoba tersenyum, tapi senyumnya terasa paksa. “Kita bahas apa lagi?” Rika menatapnya dengan tatapan skeptis, seolah bisa membaca kegelisahan Nayla. Namun, dia memilih untuk melanjutkan rapat. “Jadi, kita butuh volunteer untuk stand pameran. Siapa yang bisa bantu?” Nayla mengangguk pelan, berusaha mengikuti pembicaraan, tapi pikirannya kembali terombang-ambing. Gambar wajah Adrian kembali muncul di pikirannya. Senyum miring yang sempat ia lihat tadi, matanya yang penuh arti—atau apakah itu hanya persepsinya saja? Ia melirik layar laptopnya yang mati. Tak ada yang bisa ia fokuskan di sana. Di rapat ini, Nayla hanya bisa mendengarkan tanpa benar-benar mendalami. “Lah, Nayla? Kenapa mukamu kayak gitu? Mikirin siapa sih?” Tanya Rika lagi dengan sedikit tawa, membuat beberapa orang yang ada di meja rapat ikut tertawa. Nayla tersentak, wajahnya langsung memanas. “Gak ada kok, cuma capek aja,” jawabnya cepat. “Aku bantuin aja deh untuk stand, nanti aku hubungi orang-orang.” Mereka semua mengangguk dan mulai melanjutkan rapat, tapi Nayla merasa kosong. Meskipun tubuhnya berada di ruang rapat ini, pikirannya masih terperangkap di dalam ruangan yang penuh dengan senyuman Adrian dan kata-kata yang penuh misteri. Adrian bilang dia “cocok pakai itu”, dan Nayla tidak bisa menahan diri untuk bertanya dalam hati—apakah itu berarti dia mulai merasa nyaman? Atau hanya kebetulan? Apakah dia benar-benar ingin tahu jawabannya? Namun, Nayla sadar, rapat ini bukan tempat yang tepat untuk mempertanyakan itu. Ia harus fokus. Tidak bisa seperti ini terus—pikirannya tak boleh terpecah seperti ini. Tapi bagaimana jika yang mengganggu pikirannya adalah orang yang tidak bisa ia berhenti pikirkan? Rapat berlanjut, sementara Nayla tetap terperangkap dalam kebingungannya sendiri. *** Hari Sabtu pagi itu kampus Ryuzaki berubah total. Biasanya lapangan depan fakultas sepi dan hanya dihiasi pepohonan rindang, kini penuh dengan bendera warna-warni yang berkibar tertiup angin ringan, stan-stan berjejer rapi dengan berbagai tema: dari makanan khas nusantara, komunitas seni, hingga permainan interaktif yang menarik perhatian para mahasiswa. Musik ceria mengalun dari panggung kecil yang dipasang di tengah, membuat suasana menjadi hidup dan penuh semangat. Nayla, yang pagi itu mengenakan kaos komunitas publikasi dan celana jeans, sibuk membagikan brosur program latihan dan pertunjukan yang akan mereka adakan. Wajahnya serius tapi matanya tetap bercahaya penuh semangat. “Tolong bantu sebarkan ya! Kita butuh penonton buat pertunjukan minggu depan,” katanya sambil tersenyum kepada teman-temannya. Tiba-tiba, di tengah keramaian, sebuah suara familiar memanggil. “Hey, Nayla! Kamu di sini?” Dia menoleh dan melihat Adrian muncul dari arah stan makanan. Tampilan kasualnya membuatnya terlihat beda dari biasanya yang selalu rapi dan formal. Kali ini Adrian memakai kemeja lengan pendek berwarna biru muda, dipadukan dengan celana chino krem. Rambutnya sedikit acak-acakan karena angin pagi yang cukup kencang. “Pak Adrian!” Nayla tersenyum cerah dan melambaikan tangan. “Ngapain di sini? Kan biasanya dosen serius di ruang kuliah?” Adrian tertawa pelan. “Hari ini aku jadi juri lomba debat antar jurusan. Harus keliling lihat beberapa stan juga, jadi aku ikut meramaikan suasana.” Nayla mengangguk. “Kalau aku, jadi panitia publikasi. Jadi aku muter-muter nyebarin brosur sama info pertunjukan.” “Kamu benar-benar sibuk ya,” kata Adrian sambil berjalan mendekat dan menatap wajah Nayla dengan senyum hangat. “Yah, namanya juga mahasiswa aktif,” jawab Nayla sambil menyengir. Mereka pun mulai berjalan beriringan menyusuri lapangan. Suasana yang semarak membuat langkah mereka terasa ringan, tapi di balik canda tawa itu, ada getaran yang sulit dijelaskan oleh Nayla sendiri. “Eh, tapi kamu harus hati-hati, ya. Jangan sampai ketahuan sama teman-teman kalau aku sering nongkrong sama dosen favorit,” celetuk Nayla sambil menahan tawa. Adrian mengangkat alis. “Jadi aku favorit, ya? Aku nggak keberatan kok.” Nayla tertawa kecil, “Iya, siapa juga yang nggak kepincut sama dosen keren dan lucu?” Adrian pura-pura tersinggung. “Hah! Keren dan lucu? Wah, kamu ini … memuji aku atau malah ngejek?” “Nggak lah, serius. Aku suka cara kamu ngajarin. Kadang serius, kadang absurd, tapi selalu bikin kita ngerti.” Mereka berhenti di stan permainan yang menawarkan berbagai jenis permainan tradisional dan modern. Adrian menatap satu permainan tebak kata yang sedang ramai. “Ayo kita coba main tebak-tebakan cepat! Kalau kamu menang, aku traktir kopi di kantin. Kalau aku menang, kamu ikut latihan pentas minggu depan,” Adrian menawarkan dengan senyum nakal. Nayla menatapnya serius. “Deal.” Permainan itu berlangsung cepat dan penuh tawa. Beberapa mahasiswa lain ikut menonton, tertawa melihat ekspresi mereka yang saling menggoda. Nayla hampir kalah, tapi beruntung dia berhasil menang dengan sedikit keberuntungan. Adrian menyerah dengan gaya dramatis. “Baiklah, kamu menang. Aku traktir kopi. Nayla tersenyum manis, “Makasih.” *** Setelah beberapa putaran di sekitar kampus, mereka mulai disorot beberapa teman Nayla yang iseng. Salah satu temannya langsung melambai-lambai lebay begitu melihat Nayla berjalan berdua dengan Adrian. “Cieee... Nayla, lagi studi banding ke hati dosen, ya?” serunya sambil pura-pura ngelap air mata haru. Nayla mendesah panjang, tapi senyum geli susah dibendung. “Aku butuh beasiswa, bukan bahan bully!” balasnya sambil nyengir. Adrian malah mengangguk santai. “Tenang, saya bisa rekomendasikan. Beasiswa khusus—untuk yang berhasil bikin dosennya deg-degan tiap hari.” Nayla melirik tajam. “Dosen mana, ya, yang deg-degan tiap hari?” Adrian memalingkan wajahnya, pura-pura sibuk menyapa rekan dosennya yang kebetulan lewat. Teman-teman mereka ribut sendiri, pada heboh dan teriak, “Lah ini beneran ya, bukan fanfiction kampus?!” Mereka berdua cuma tertawa. Di antara godaan iseng, senyum-senyum nyebelin, dan tatapan curi-curi pandang, ada sesuatu yang belum diucap, tapi udah terasa. Sesuatu yang ... bikin deg-degan lebih dari ujian skripsi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN