Klub Rahasia.

1060 Kata
Menjelang sore, mereka duduk di bangku taman yang teduh, sambil menikmati es kelapa muda yang mereka beli dari stan minuman. “Seru banget ya festivalnya,” kata Nayla sambil menyesap minuman. “Seru banget, tapi lebih seru karena ada kamu,” jawab Adrian pelan, menatap wajah Nayla dengan tatapan hangat. Nayla sedikit terkejut dan menatap balik. Ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. “Kalau aku bilang, aku pengin waktu ini nggak pernah berakhir, kamu percaya?” Adrian menambahkan dengan suara lembut. Nayla mengangguk pelan, hatinya berdebar. “Mungkin aku juga,” jawabnya jujur. Mereka duduk diam bersama, membiarkan suasana festival, angin sore, dan tawa yang masih terdengar dari kejauhan, mengisi momen itu. *** Senin pagi, ruang kelas psikologi komunikasi dipenuhi suara berisik mahasiswa yang baru datang. Beberapa sudah sibuk ngobrol, ada yang masih nyari tempat duduk, dan ada juga yang terlihat santai sambil scroll ponsel. Nayla masuk agak terlambat, membawa setumpuk buku dan notes. Dia segera duduk di bangku tengah, berharap tidak terlalu mencolok. Namun, sebelum dia sempat membuka buku, suara Adrian yang khas terdengar di seluruh ruangan. “Selamat pagi semua! Semoga akhir pekan kalian menyenangkan,” Adrian tersenyum sambil meletakkan tasnya dan menyiapkan materi di depan kelas. Nayla melempar senyum kecil, tapi hatinya sedikit deg-degan. Dia tahu hari ini ada sesuatu yang berbeda. Setelah salam pembuka dan beberapa pengumuman ringan, Adrian mulai mengajar topik baru tentang dinamika komunikasi interpersonal. Materinya menarik, tapi ada sesuatu yang membuat suasana kelas jadi sedikit tegang. Tiba-tiba, seorang mahasiswa bernama Raka berdiri dan memotong pembicaraan Adrian. “Pak Adrian, saya dengar ada rumor bahwa Anda dekat dengan beberapa mahasiswi di kampus. Itu benar, Pak?” tanyanya dengan nada setengah bercanda, setengah serius. Suasana seketika hening, semua mata tertuju pada Adrian dan Nayla. Jantung Nayla berdegup kencang. Adrian mengangkat alis, lalu tersenyum santai. “Hmm, Raka, saya dosen, bukan selebriti. Tapi kalau ‘dekat’ yang kamu maksud adalah sering ngobrol soal materi kuliah, ya, itu sudah pasti.” Tawa kecil terdengar di seluruh kelas, termasuk dari Nayla yang berusaha tetap tenang. Namun, Raka belum puas. “Tapi saya juga dengar, ada beberapa yang bilang, ada chemistry khusus antara Pak Adrian dan salah satu mahasiswi bernama Nayla.” Mata kelas tertuju ke Nayla. Wajahnya memerah, ingin sekali menghilang dari tempat itu. Adrian tersenyum hangat, “Kalau chemistry-nya soal belajar, itu sudah pasti. Tapi chemistry lain? Hmmm, kita lihat nanti saja ya.” Suasana menjadi cair kembali, tapi Nayla tahu komentar itu seperti benih kecil yang mulai tumbuh menjadi gosip. Setelah kelas usai, Nayla bergegas keluar, ingin menjauh dari perhatian. Namun, di lorong dia bertemu dengan sahabatnya, Rani, yang langsung menarik lengannya. “Nay, kamu denger gak sih? Gosip tentang kamu dan Pak Adrian mulai nyebar!” Nayla menggeleng panik. “Gimana bisa? Aku kan cuma ngikuti kuliah biasa.” Rani tertawa kecil. “Ya, kamu tahu lah kampus. Sedikit aja hal kecil bisa jadi besar.” “Bismillah, jangan ketahuan,” bisik Rani, sahabat sekampus Nayla, sambil menarik tangannya ke lorong belakang perpustakaan. “Lagi-lagi?” Nayla menatap langit-langit, pasrah. Sungguh, dari semua kegiatan ekskul tidak resmi di kampus ini, Klub Pengagum Prof Adrian adalah yang paling absurd—dan yang paling aktif. “Gimana sih, Nay, masa kamu nggak penasaran? Hari ini katanya pengurus mau bagiin foto candid Prof Adrian waktu pakai kemeja putih linen itu lho! Yang tembus cahaya kalau kena matahari!” bisik Rani antusias, matanya berkilat seperti menemukan diskon besar di e-commerce. “Bukan nggak penasaran,” gumam Nayla pelan. “Lebih ke ... malu.” “Malu kenapa? Kita cuma mengagumi dengan cara yang ... sedikit dramatis,” kata Rani sambil membuka pintu ruangan kosong yang entah sejak kapan berubah jadi markas fanatik Prof Adrian. Nayla masuk sambil memandangi dinding yang penuh hiasan: kolase foto Adrian mengajar, tulisan tangan para anggota berisi puisi kagum, bahkan ada gantungan kertas yang bertuliskan “Kandidat Suami Masa Depan: Profesor Adrian Reinaldi.” Mereka menyebut Adrian dengan inisial P.A.W.. Sebagian bilang itu singkatan dari Perfect And Wonderful, sebagian lagi dengan bercanda menyebutnya Papa Adrian Wow. Nayla nyaris tertawa kalau tidak ingat satu hal penting: dirinya satu-satunya orang di ruangan itu yang sudah pernah melihat Prof Adrian ... tertidur di sofa ruangannya dengan satu kaus kaki bolong. Ya. Nayla adalah asisten riset pribadi sang dosen. Tapi posisi itu ia dapat karena kemampuan akademik, bukan karena ikut kompetisi absurd ala fangirl. Sialnya, Rani dan para anggota klub tidak tahu itu. Bagi mereka, Nayla cuma mahasiswi pendiam yang tidak terlalu ikut arus. Dan Nayla memang tidak ingin mereka tahu. Karena kalau tahu ... bisa-bisa dia diseret ke altar pemujaan Prof Adrian tiap minggu. “Kita mulai rapat!” seru Bella, ketua klub yang penampilannya seperti idol Korea gagal audisi. Wajah serius, padahal yang dibahas ... selebaran digital. “Hari ini kita akan voting untuk foto terbaik Prof Adrian minggu ini,” katanya sambil membagikan lembar bergambar cetakan foto candid. Adrian sedang berjalan di koridor, matanya menunduk ke iPad-nya, mengenakan baju batik biru langit. “Oke, ini keren,” gumam salah satu anggota. “Yang ini waktu dia garuk kepala! KAYAK AKTOR DRAMA KOREA!” “STOP! Aku belum siap jatuh cinta lagi!” Nayla nyaris tersedak minumannya. *** Sementara itu, di gedung fakultas sebelah, Prof Adrian menatap layar laptopnya. Puisi. Kenapa juga ia nekat ikut forum akademik sastra minggu depan? Semua ini karena ide sok-sokan dosen humaniora yang ingin "interdisipliner dengan sentuhan estetika." Dan karena Adrian adalah satu-satunya dosen yang masih bujang dan dianggap "puitis karena diam," maka semua mata otomatis mengarah padanya. Ia mengetik pelan: “Bening pagi di antara barisan kata, Kulihat satu wajah tak berkata ....” Ia berhenti. Mendesah. Di luar jendela, hujan rintik. Tapi bukan itu yang membuat pikirannya kacau. Wajah Nayla tiba-tiba muncul di benaknya. Wajah serius itu, dengan alis sedikit mengernyit kalau membaca jurnal. Cara ia diam, tapi paham segalanya. Dan sesekali, senyum kecil yang muncul waktu Adrian mengucap lelucon kering. Bodohnya, senyum Nayla belakangan terasa lebih mengganggu dari kopi jam 11 malam. Dan yang lebih gila lagi ... Kenapa tadi malam ia mimpi Nayla duduk di sampingnya, membacakan puisi ini? *** Kembali ke markas fangirl ... “Ada pengumuman penting!” Bella berdiri dengan khidmat. “Minggu depan forum akademik akan mengadakan lomba puisi antar dosen. Dan ... kabarnya, Prof Adrian akan membacakan puisinya sendiri!” Suara riuh gemuruh langsung pecah. Ada yang teriak, ada yang pingsan pura-pura.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN