Semua Orang Tahu.

1121 Kata
“Bayangkan suaranya! Nada rendah tapi mendalam!” “Aku siap rekam dan bikin ringtone!” Nayla menahan napas. Ia tahu soal forum itu. Bahkan ia tahu Adrian sudah mulai menulis puisi. Dan ia juga tahu bahwa minggu lalu, saat mereka lembur riset berdua di lab, Adrian sempat bilang, “Aku lagi coba nulis puisi. Tapi ... susah ya, nulis yang personal.” Waktu itu Nayla menjawab santai, “Nggak usah terlalu dipikirin. Tulis aja dari hal yang dekat. Biasanya yang paling dekat ... yang paling jujur.” Dan sekarang ... kenapa jantungnya mulai berdetak tak karuan? *** Hari forum akademik tiba. Aula kampus penuh. Suasana formal, tapi tetap ada desisan-desisan “itu diaaa!” saat Adrian masuk ke podium dengan setelan abu-abu. Nayla duduk di barisan tengah. Rani di sebelahnya sudah siap dengan kamera HP. “Kalau dia baca puisi cinta, aku yakin itu tentangku,” bisik Rani sambil mengatur filter beautify. Nayla hanya menatap ke depan. Tangannya dingin. Perasaan tak karuan. Adrian berdiri tegap. Lembar puisinya di tangan. Aula hening. Lalu suara itu terdengar—dalam, tenang, tapi ada nada gugup yang nyaris tak kentara. “Di antara ribuan kata ilmiah, Ada satu nama yang tak pernah ilmiah. Karena ia tak bisa dijelaskan logika, Tapi selalu muncul di antara jeda-jeda. Nayla.” Aula terdiam. Suara seseorang menjatuhkan botol minum. Rani terdiam dengan ekspresi beku. Beberapa mahasiswi membuka mulut lebar-lebar. Nayla ... membeku. Adrian mengangkat kepalanya. Matanya menatap ke arah kursi tengah. Tepat ke arah Nayla duduk. “Nayla. Namamu mungkin sederhana. Tapi diam-diam, kau menyita paling banyak ruang Di kepala yang katanya penuh logika.” Hening. Dan dalam keheningan itu, semua orang mulai menoleh. Ke satu arah. Ke arah Nayla. Yang saat ini ... ingin segera menghilang ditelan bumi. *** Pagi ini di kampus terasa lebih cerah. Meski minggu lalu penuh dengan gosip dan drama kecil, Nayla merasa ada sesuatu yang berubah di hatinya. Nayla memutar-mutar pulpen di jarinya, mencoba fokus membaca artikel jurnal bertema Attachment Style dan Respons Psikologis Pasca Relasi Toxic, tapi pikirannya justru melayang pada kejadian minggu lalu. Puisi itu. Nama itu. Namanya. Disebut di depan ratusan orang. Oleh Prof Adrian. Dan kini, mereka duduk hanya berdua di ruang yang sunyi. Satu-satunya suara hanyalah denting keyboard dan desah napas yang entah kenapa terdengar lebih berat dari biasanya. Hari ini, wajah Adrian lebih santai dan senyum yang hangat. Nayla menatap layar laptopnya sambil sesekali melirik ke arah Adrian yang duduk di sisi seberang meja panjang. Kemeja hitamnya tergulung hingga siku, rambutnya sedikit berantakan, seperti biasa. Tapi kali ini ... ada satu hal berbeda. Dia tidak bisa menatap mata Nayla lebih dari tiga detik. Dan itu aneh. Biasanya, Adrian selalu tenang. Bahkan terlalu tenang. Tapi sejak puisinya dibacakan, Nayla merasakan sesuatu yang seperti ... ketegangan halus di udara. Seolah-olah, puisi itu membuka sesuatu yang seharusnya tetap terkunci. Adrian mendadak bersuara. “Teori John Bowlby soal attachment style masih relevan. Tapi ... aku rasa dia terlalu fokus ke masa kanak-kanak. Padahal luka emosional yang kita bahas sekarang ... banyak juga yang terbentuk di usia dewasa,” katanya, suaranya berat. “Hmm.” Nayla mengangguk. “Terutama dari hubungan yang manipulatif atau abusive. Dampaknya ke gaya keterikatan seseorang ... bisa bertahan lama.” Adrian menoleh. “Kamu bicara seolah—” “—seolah pernah mengalaminya?” Nayla menyelesaikan kalimat itu sambil tersenyum tipis. “Memang pernah.” Adrian terdiam. Bukan karena kaget. Tapi karena nada suara Nayla. Bukan getir. Bukan menyalahkan. Tapi seperti ... seseorang yang sudah berdamai dengan masa lalu. Nayla bersandar sedikit, membuka laptopnya ke tab catatan pribadi yang ia tulis untuk bahan riset, tapi sebenarnya terasa seperti buku harian. “Aku pernah menjalin hubungan hampir dua tahun. Awalnya sehat, penuh kompromi. Tapi lama-lama ... berubah. Dia jadi mengontrol siapa aku temui, bahkan apa yang kupakai. Aku kira itu cinta. Padahal, itu bentuk penguasaan.” Adrian mendengarkan. Tak menyela. Jari-jarinya diam di atas keyboard. “Yang paling parah,” lanjut Nayla, suaranya sedikit menurun, “aku mulai merasa diriku ... kecil. Seperti bukan aku sendiri. Aku selalu minta maaf. Selalu merasa salah. Sampai akhirnya, aku jadi takut bicara, takut berbeda pendapat. Trauma itu ... lama sekali hilangnya.” Adrian menatapnya. Untuk pertama kalinya, Nayla melihat sorot mata yang tak sekadar simpatik. Tapi ... mengerti. “Kamu berhasil keluar dari situ,” ucap Adrian pelan. Nayla mengangguk. “Lama. Tapi iya. Mungkin karena akhirnya sadar ... cinta bukan tentang membuat kita takut bicara.” Suasana hening. Tapi bukan hening yang canggung. Seperti ruang kosong yang memang perlu agar kata-kata yang diucapkan barusan bisa menetap. Adrian akhirnya bicara, suaranya pelan. “Aku juga pernah ... merasa seperti bukan diriku sendiri. Tapi beda konteks.” Ia berhenti sejenak, seperti menimbang apakah perlu dilanjutkan. Tapi mungkin karena kejujuran Nayla tadi ... temboknya mulai retak. “Waktu SMA aku ditinggal ibu. Ayah menikah lagi tiga bulan setelahnya. Semuanya mendadak. Cepat. Dingin. Aku ... kehilangan arah. Aku pikir, dengan menjadi pintar, punya gelar, aku bisa punya kendali.” Nayla mengangkat kepala. “Tapi nyatanya, gelar akademik nggak menyembuhkan trauma.” Adrian menghela napas pendek. “Iya. Aku baru belajar itu belakangan ini.” Nayla tersenyum tipis. “Berarti kita punya sedikit kesamaan. Sama-sama punya masa lalu yang membuat kita ... lebih hati-hati.” Adrian menatap Nayla. Lebih lama dari tiga detik. Dan untuk pertama kalinya, Nayla tidak menunduk atau berpaling. *** Sore mulai turun. Matahari menyusup dari sela jendela, memberikan cahaya oranye lembut di ruangan laboratorium. Nayla menutup laptopnya dan meregangkan tubuh. “Sudah cukup untuk hari ini, kayaknya.” Adrian mengangguk. Tapi ia tak bergerak. Ia masih menatap catatan di depan, lalu pelan-pelan melipatnya, menyelipkan ke map. “Aku rasa ... riset kita ini akan jadi sesuatu yang penting,” katanya. “Bukan cuma untuk publikasi. Tapi untuk kita juga.” Nayla tak menjawab. Ia hanya mengangguk. Lalu mengambil tasnya. Saat hendak berdiri, tali tasnya tersangkut di kaki kursi. Nayla hampir tersandung. “Eh—” Refleks, tangan Adrian bergerak cepat, menangkap pergelangan tangan Nayla. Hangat. Kuat. Tapi bukan menggenggam. Hanya ... menyentuh. Dan sentuhan itu, sejenak, membuat dunia seperti berhenti. Nayla membeku. Adrian juga. Tak ada musik romantis di latar. Tak ada angin sepoi-sepoi. Hanya dua orang dewasa dengan masa lalu yang berantakan, saling menatap karena untuk pertama kalinya, ada getaran yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Adrian perlahan melepaskan sentuhannya. Tapi gerakannya lambat, seolah berat. “Sori ... refleks,” gumamnya. Nayla menunduk. “Nggak apa-apa.” Tapi jantungnya—berdegup terlalu kencang untuk bisa dibilang nggak apa-apa. Adrian menatap tangannya sendiri, seolah heran dengan dirinya. Lalu tersenyum kecil. Senyum canggung yang bukan buat menarik simpati—tapi muncul karena ia sendiri tak mengerti kenapa hatinya ... bergemuruh. Dan Nayla tahu, tanpa perlu dikatakan— Ini bukan lagi tentang riset.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN