Hari berikutnya – Kelas Komunikasi
Nayla duduk paling depan. Bukan karena ingin, tapi karena kursi belakang semua sudah penuh. Dan karena dosen pengampunya—si pria berlesung pipit yang membuat denyut nadi berantakan—sudah menatap ruangan sejak menit ke-0.
Adrian Reinaldi berdiri di depan kelas dengan setelan abu gelap dan kemeja hitam. Dasi tidak terlalu ketat. Lengan digulung sampai siku. Dan
... ya ampun, tangan itu uratnya kelihatan.
“Baik. Hari ini kita bahas komunikasi high-context dan low-context,” ujarnya datar, tapi cukup dalam untuk membuat suara hujan di luar kalah menarik.
Nayla fokus. Serius. Setidaknya dia mencoba.
Tapi kemudian, Adrian berjalan mendekat. Perlahan. Mengangkat satu alis saat matanya bertemu dengan Nayla.
“Saudari Nayla. Menurut kamu, Indonesia termasuk budaya high-context atau low-context?”
Nayla menelan ludah.
Kelas hening. Semua mata menatap ke arahnya.
“E-eh ... High-context, Pak,” jawab Nayla pelan.
“Kenapa?”
Ia berpikir keras. “Karena ... orang Indonesia cenderung membaca situasi dari konteks, bukan kata-kata langsung. Misalnya, bilang ‘nanti’ itu bisa berarti ‘tidak akan pernah’, tergantung nada dan muka.”
Adrian menatapnya lama. “Contoh bagus,” ujarnya akhirnya. “Meskipun analoginya agak ... menyindir budaya kita sendiri.”
“Maaf, Pak ... Saya kadang ... terlalu jujur,” Nayla nyaris tertawa gugup.
Dan ...
Senyuman itu muncul. Lagi.
Lesung pipit di pipi kanan. Mendadak ruangan terasa lebih hangat meski AC di kelas seperti niat bikin mahasiswa membeku.
***
Setelah kelas selesai – Lorong fakultas
“Nay, lo dipanggil tuh,” ujar Rani sambil menunjuk ke arah Adrian yang berdiri di depan ruang dosen.
Nayla mendekat, deg-degan.
“Ya, Pak?”
“Kamu ada waktu sore ini?”
“Eh ... ada.”
“Saya ingin kamu bantu coding data riset. Di coffee shop sebelah. Ruang dosen sedang direnovasi.”
Nayla menatapnya bingung. “Coffee shop ... berdua, Pak?”
Adrian mengangguk seolah itu hal paling biasa di dunia.
“... Atau mau di hotel?”
'BRUK.'
Kalimat itu jatuh seperti meteorit ke kepala Nayla.
“Bukan begitu, Pak! Cuma ... saya kan mahasiswi ... dan Bapak ... ya Bapak.”
“Dosen?”
“Ya. Killer pula.”
Adrian menaikkan satu alis. “Killer?”
“Eh! Enggak, Pak! Maksud saya ... Killer dalam arti ... killer ... eh ... passionate mengajar!”
Adrian menahan senyum. “Saya tunggu jam tiga.”
Nayla hanya bisa mengangguk dengan wajah yang sudah seperti tomat busuk.
***
Pukul 15.03 – Kafe ‘Think & Sip’
Kafe itu tenang, dindingnya penuh rak buku. Di sudut, Prof. Adrian sudah duduk dengan laptop dan dua cangkir kopi. Satunya hitam pahit. Satunya latte dengan art hati.
“Silakan duduk,” ujarnya tanpa menoleh.
Nayla menarik kursi pelan. “Ini ... untuk saya?” Ia menunjuk latte dengan malu.
“Kalau kamu minum kopi hitam, kamu bakal gemetar pas baca angka statistik.”
“Wah, perhatian juga ya, Pak,” celetuk Nayla tanpa sadar.
Adrian menatapnya. “Saya tidak ingin asisten saya tumbang. Itu semua.”
Gitu ya ...
Mereka mulai bekerja. Coding data kualitatif dari hasil wawancara. Nayla mengetik, Adrian mengoreksi. Beberapa kali jari mereka nyaris bersentuhan di touchpad.
Setiap kali itu terjadi, Nayla pura-pura garuk kepala atau sibuk minum latte.
***
Satu jam kemudian ...
“Pak, boleh saya tanya?” Nayla menoleh sambil menahan ngantuk.
“Silakan.”
“Kenapa Bapak milih saya jadi asisten? Maksudnya ... dari semua mahasiswa, kan banyak yang lebih pinter. Atau lebih ... nggak bikin grup WA berisi 37 hinaan ke dosen killer.”
Adrian tertawa pelan. Suara itu ... dalam dan langka.
“Saya pilih kamu karena kamu jujur. Bukan cuma di kata-kata, tapi di ekspresi wajah. Ketika kamu nggak paham, kamu menunjukkan. Ketika kamu grogi, kamu terlihat. Riset saya butuh itu.”
Nayla menatapnya. “Butuh apa, Pak?”
“Ketulusan. Tanpa topeng sosial.”
Detak jantung Nayla naik. Tangannya gemetar sedikit. Bukan karena kopi.
Tapi karena ... tatapan mata itu.
Tatapan yang dalam. Lurus. Dan terlalu lama untuk disebut profesional.
“Pak ....” Nayla ingin bicara. Tapi bibirnya kelu.
“Ya?”
“Kalau ... kalau saya jatuh cinta, apa itu disebut ... bentuk ketidakprofesionalan juga?”
Adrian diam.
Kopi di mejanya tinggal setengah. Hujan di luar masih deras. Dan dalam hening itu, matanya tak lepas dari wajah Nayla.
“Kamu tidak sedang jatuh cinta, Nayla,” jawabnya akhirnya.
“Oh.”
“Kamu hanya sedang ... kagum.”
Nayla menelan ludah. “Lalu kalau Bapak ...?”
Adrian tersenyum tipis.
“Kalau saya ... sedang berusaha mengabaikan fakta bahwa kamu menggambar wajah saya di catatan kemarin.”
“APA?!”
Nayla hampir membalik meja.
Adrian mengeluarkan kertas catatan Nayla yang difotokopi. Dan memang—di pojok kanan bawah—ada doodle kecil wajah pria berkacamata dengan lesung pipit dan tulisan: “Lesung pipit haram 😭.”
“Pak! Itu ... iseng doang! Sumpah!”
Adrian menyandarkan tubuh. “Saya percaya.”
“Beneran?”
“Tapi mulai besok, kalau kamu menggambar wajah saya lagi, pastikan rambutnya nggak botak setengah kayak yang ini.”
Nayla menutup muka. “Tuhan ... jemput aku sekarang juga ....”
Kopi hitam pahit, hujan deras, dan ... tatapan dosen killer.
Apa lagi yang dibutuhkan untuk merusak kestabilan hidup seorang mahasiswa semester akhir bernama Nayla?
Malam itu, Nayla pulang ke kos dengan hati jungkir balik. Ia berusaha tidur, tapi bayangan lesung pipit itu, kopi latte, dan kalimat “kamu jujur” terus berputar di kepalanya.
Tidak bisa tidur membuat Nayla akhirnya membuka ponselnya. Banyak notifikasi chat yang belum terbaca, dari sahabatnya dan dari group fakultasnya.
Dari ratusan chat, Nayla lebih memilih membuka chat dari sang sahabat.
"Jadi kamu naksir dosen killer itu? Gila, Nay, kamu tuh emang beda alirannya!" — Rani, 23:19 WIB.
Tidak dapat menahan kantuk, Nayla memutuskan mengirim pesan suara.
Voice note itu seharusnya hanya untuk Rani. Tapi dengan jari yang tidak sinkron karena mata ngantuk dan pikiran masih terbayang senyum lesung pipit, Nayla justru menekan Grup FakPsiko.
Dan terkirimlah suara itu ke 37 orang. Termasuk Prof. Adrian.
"Rani, sumpah ya, gue tuh tadi ngelamun liatin dia waktu dia ngetik. Tangannya tuh kayak ... tangan karakter manhwa. Terus, ya Tuhan, kopi dia hitam banget. Kayak hidup gue. Kenapa sih dia harus seseksi itu?! Tuh dosen bukan manusia deh, tapi--"
Pesan Terkirim. Centang dua. Biru. Hening.
"AAAAAAAAAAAK!" Nayla langsung menekan delete.
Tapi grup sudah aktif. Muncul balasan:
Tari: "Aku replay 3x buat yakin kamu ngomong 'karakter manhwa'."
Nopal: "Gue udah bikin sticker-nya."
Yusuf: "Gue forward ke dosennya ya biar cepet halal."
Dan yang paling fatal:
Adrian Reinaldi: "Manhwa tidak pernah terasa seseksi ini. Terima kasih, Nayla."
Nayla ingin pensiun dari perkuliahan. Besok. Sekarang. Tadi malam juga boleh.
***