Dosen Killer Itu Punya Lesung Pipit.

1143 Kata
“Lo yakin lo nggak salah denger?” Rani menatap Nayla dengan ekspresi horor pagi itu, di kantin fakultas yang baru saja dibuka. Suasana masih sepi, hanya ada dua ibu kantin yang sedang memajang risoles dan teh manis di balik kaca. Nayla mengangguk pelan, dengan pipi masih sembab bekas stress semalaman. “Yakin. Seratus persen. Dia baca semua chat gue. Semuanya, Ran. Bahkan yang pake capslock dan emoji muntah.” Rani nyaris menjatuhkan sendoknya. “Astagaaa, Nayla. Yang lo kirim jam dua pagi itu?” Nayla mengangguk lagi, kali ini lebih tragis. “Yang gue bilang dia kayak ‘dosen high budget tapi nyebelin’? Yang itu.” Rani menutup wajahnya dengan tangan. “Gila sih. Ini lebih parah dari lo nyasar ke kamar cowok pas ospek. Ini ... salah kirim ke dosen paling ganteng dan paling dingin sejagad kampus.” Nayla hanya bisa mengaduk teh tarik-nya dengan ekspresi menyerah. “Dan lo tahu yang paling gila?” Rani menatapnya curiga. “Apa lagi? Jangan bilang lo malah suka.” Nayla menatap meja, pelan-pelan. “... Dia punya lesung pipit, Ran. Lesung pipit. Di pipi kanan. Pas senyum—langsung kayak mau nyemplung ke jurang.” Rani langsung mengibaskan tangan. “Udah. Gila. Selesai. Lo resmi masuk daftar mahasiswi yang bakal jadi fan girl dosen sendiri.” “Tapi ... dia tuh beda, Ran. Kayak, kadang ngeselin banget, tapi kadang juga kayak manusia yang bisa ngasih TED Talk tentang rasa sabar.” “Stop romantisasi orang yang bikin lo mules tiap mau ketemu. Itu bukan cinta, Nay, itu asam lambung.” Nayla ngakak sampai batuk kecil. “Lo beneran nggak romantis banget.” “Ya karena gue waras. Nih ya, dosen. Ganteng. Dingin. Plus punya sejarah misterius yang lo denger dari ruang sebelah. Coba sebutin satu alasan kenapa lo harus stay waras dekat-dekat dia?” Nayla berpikir sejenak, lalu menjawab lirih, “Karena dia tahu nama panjang gue, kalau gue semester akhir ...” Rani memelototi sahabatnya. “Serius? Nayla, ayolah. Bahkan gue nggak inget nama panjang lo.” “Tapi dia inget. ‘Nayla Anindya’, katanya. Lo tahu betapa spesifiknya itu?” “Tau. Tau banget. Dan itu juga spesifik bikin lo makin tenggelam dalam delusi.” Mereka terdiam sejenak, hanya suara sendok dan tawa dari ibu kantin yang terdengar. Lalu Nayla memecah keheningan. “Kalau misalnya ... gue nggak sengaja suka, itu salah gue ya?” Rani menarik napas panjang. “Nay, yang salah tuh bukan suka. Yang bahaya tuh kalau lo berharap.” Nayla tersenyum kecut. “Kok dalem.” “Karena hidup nggak selucu drama Korea. Dosen kayak dia? Biasanya—entah udah tunangan, atau ... nyimpen trauma cinta masa lalu.” Nayla terdiam. Kalimat terakhir itu bikin jantungnya mencelos. Karena ... ia juga sempat mendengar hal serupa dari balik pintu ruang dosen. *** Siang hari – Perpustakaan Pusat. Nayla berdiri kikuk di depan ruang diskusi privat, tempat Prof. Adrian menunggu. Ia masih belum paham kenapa ia malah ditarik jadi asisten riset padahal ia baru saja memalukan diri sedunia. Pelan-pelan, ia mengetuk pintu. “Masuk.” Suaranya masih sama—dalam, tenang, dan entah kenapa ... bikin merinding. Nayla mendorong pintu. Di dalam, ruangan terang dengan satu meja besar, dua kursi, dan tumpukan jurnal psikologi komunikasi berbahasa Inggris. “Silakan duduk,” kata Adrian tanpa menoleh dari laptopnya. Nayla duduk. Pelan-pelan. Seperti penjahat yang sedang menunggu vonis mati. “Ada tiga hal yang ingin saya sampaikan sebelum kita mulai,” ujar Adrian sambil mengetik sesuatu. Nayla mengangguk kaku. “Baik, Pak.” “Satu, saya tidak akan membahas isi chat kamu lagi. Itu urusan pribadi kamu. Dan saya sudah menghapusnya dari ponsel saya.” “YES! Beban moral turun 70%!” batin Nayla. “Kedua, proyek riset ini bukan formalitas. Kamu harus serius. Saya tidak butuh asisten pemalas.” “Siap, Pak.” “Ketiga ....” Adrian menoleh. Tatapannya dalam, nyaris menusuk. “Kamu tidak boleh jatuh cinta pada saya.” ... Hah? “Apa, Pak?” Nayla terbatuk saking kagetnya. Adrian mengangkat alis. “Statistik menunjukkan, dalam relasi kuasa seperti dosen-mahasiswi, ada kecenderungan afeksi sepihak. Saya tidak mau proyek ini jadi gosip kampus. Saya tegas soal itu.” Wajah Nayla memerah. “Sumpah, Pak! Saya bukan tipe cewek yang suka sama dosen!” “Bagus,” ujar Adrian singkat. “Karena saya juga bukan tipe dosen yang pacaran sama mahasiswi.” 'Krek' Hati Nayla: retak lagi. *** Satu jam kemudian... Mereka mulai membaca jurnal yang membahas tone suara dan makna tersembunyi dalam komunikasi nonverbal. Topik yang berat. Tapi Nayla berusaha keras memahami. Sampai akhirnya ... “Saudari Nayla, kamu paham tentang ‘incongruence’ dalam komunikasi?” tanya Adrian sambil menyodorkan jurnal. Nayla berpikir keras. “Hmm ... itu yang kayak ... orang bilang ‘aku nggak apa-apa’, tapi sebenarnya dalam hati lagi ingin ngebakar rumah mantan, kan, Pak?” Adrian mengangkat satu alis. Lalu ... tersenyum. Dan di situlah ... Lesung pipit itu muncul. Di pipi kanan. Dalam. Rapi. Seperti dikirim Tuhan untuk melemahkan iman semua perempuan. Nayla terdiam. Nafasnya tercekat. Bukan karena takut. Tapi karena dia baru menyadari: dosen killer ini ... kalau senyum ... kayak tokoh utama drama Korea. Adrian menatapnya. “Kenapa diam?” “Eh? Enggak, Pak! Saya cuma ... terpesona. Eh! Maksud saya ... ter—teringat! Sama teori Rogers!” Adrian menyipitkan mata. “Hati-hati dengan pilihan kata kamu.” Nayla menutup mulut. Mukanya hampir meledak. *** Sore – Setelah sesi selesai. Nayla berjalan keluar dari perpustakaan dengan kepala penuh jurnal, otak meleleh, dan hati berdesir aneh. Rani mengirim chat: Rani: “Gimana si dosen killer?” Nayla: “Dia ngajarin gue teori psikologi sambil senyum dikit ... dan dunia langsung kayak slow motion.” Rani: “Fix. Lo mulai kesenggol perasaan.” Nayla: “ENGGAK!!! Gue profesional!!!” Rani: “Iya ... kayak isi chat lo jam dua pagi itu, profesional banget wkwk.” *** Malam harinya – Kosan Nayla. Nayla duduk di meja belajarnya, membuka catatan riset yang diberikan Adrian tadi siang. Di halaman pertama, ada komentar tulisan tangan kecil. [Kamu punya sudut pandang menarik. Jangan takut menulis dengan emosi. Tapi pastikan kamu tahu ... emosi bisa jadi jembatan, atau jurang.] Nayla menatap tulisan itu lama. Tulisan tangan Adrian rapi, miring sedikit. Dan entah kenapa, kalimat itu terasa ... personal. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu mencoret sesuatu di catatannya: “Note: Jangan pernah jatuh cinta pada dosen sendiri. JANGAN.” Lalu ia menambahkan tulisan kecil di bawahnya: “...Tapi boleh nggak kalau cuma naksir lesung pipitnya aja?” *** Sementara itu, di ruang kerja pribadi Adrian ... Ia sedang membuka layar laptop, membaca ulang jurnal hasil tulis tangan Nayla. Tapi bukan catatannya yang ia fokuskan. Matanya berhenti pada satu gambar kecil yang digambar Nayla di pinggir halaman—tanpa sadar. Sebuah doodle wajah ... dengan lesung pipit. Adrian menghela napas pelan. Dan entah mengapa ... Senyum tipis muncul di bibirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN