Gerimis mulai turun pelan saat Nayla melangkah keluar dari ruang seminar. Langit di atas kampus Takahashi Foundation berwarna kelabu pucat, seperti lembar kanvas yang belum sempat dicat ulang setelah perayaan musim gugur beberapa hari lalu. Daun-daun momiji yang gugur masih berserakan di pinggiran jalan setapak, menguning perlahan oleh musim dan waktu. Tangannya sibuk mengobrak-abrik isi tas, seperti penambang yang putus asa mencari emas terakhir—padahal ia tahu persis: ia tidak membawa payung. “Great,” gumamnya dengan napas berat. “Nayla dan kealpaannya lagi.” Ia berdiri di bawah atap kecil lobi kampus, memeluk tas seperti selimut darurat. Mahasiswa lain mulai berlarian keluar, membuka payung-payung warna pastel, dan bergegas ke arah stasiun atau halte terdekat. Beberapa dari mereka me