Ia berdiri. Suaranya kini lebih tinggi, terbata karena emosi yang memuncak. “Kenapa harus aku, Yah? Kenapa aku yang harus bayar semuanya? Kenapa bukan Ayah yang tanggung jawab atas utang Ayah sendiri?!” Di sudut ruangan, Bu Rini mulai terisak pelan. Ia menutupi wajah dengan tangan, berusaha menyembunyikan tangisnya, meski bahunya sudah berguncang. Tapi Nayla tak bisa lagi peduli. Ia terlalu kecewa. Terlalu sakit. “Aku kuliah capek-capek, Yah. Lembur kerja sambilan, ngejar beasiswa, ngumpulin tabungan buat bisa mandiri. Aku ngelewatin semua itu sendirian—semuanya demi masa depanku sendiri. Tapi sekarang Ayah malah—malah jual aku kayak ….” Suaranya patah. Tenggorokannya tercekat. “Kayak aku nggak lebih dari sekadar barang tukar.” Ayahnya menunjuk Nayla dengan telunjuk bergetar. “Kamu ting