Eps. 3 Jangan Ganggu Pacarku!

1269 Kata
"Kay berbalik karena suara Greta menahannya. Saat ini posisi Kay masih berdiri di samping ranjang di mana Greta tergolek. Ia tatap gadis yang rupanya masih memejam mata dan hanya mengigau memanggilnya. Parahnya lagi tangan Greta saat ini menarik pergelangan tangan Kay, membuat langkah kaki yang akan terayun terhenti kembali. "Neil ... kamu jahat dan tega sekali padaku. Kenapa kamu memilih berselingkuh dengan teman dekatku? Kenapa kamu tidak memiliki gadis lain saja? Ini membuatku sakit. Kamu sungguh keterlaluan sekali." Suara Greta terdengar memelas membuat Kay merasa iba, lalu menatapnya intens. Jadi ... itu masalah utama gadis ini? Sampai dia berniat untuk mabuk? Astaga! Dangkal sekali pikirannya! Dia pikir dengan mabuk masalahnya bisa selesai? Yang ada, dia membawa masalah untukku. Masalahnya dengan perjodohan di rumah saja belum selesai dan masih hangat. Sekarang ia harus dihadapkan dengan Greta yang bermasalah. Padahal di bar saat ini pengunjung ramai. "Neil, kamu benar-benar b******k sialan." Lagi, Greta terdengar mengigau. Kay hanya menarik napas dalam mendengar igauan Greta. Dibilang iba iya, tapi ia juga diburu waktu. Bagaimana lagi, sungguh, ia tak bisa bila harus mengulur waktu lebih lama lagi berada di sini. Atau semua pelanggannya akan kabur di hari Grand Opening ini. Tentu ia lebih iba lagi pada anak buahnya di bar. "Maaf, aku sudah peringatkan padamu sebelumnya jangan minum mocktail, tapi kamu berkeras. Sekarang tanggung sendiri akibatnya." Kay melepaskan jemari Greta yang melingkar di pergelangan tangannya. Beberapa detik Kay menatap Greta, namun setelahnya ia segera mengambil langkah panjang keluar dari kamar hotel menuju ke jalanan raya, jadi mencari taksi. *** Dari luar terlihat pengunjung yang masuk semakin bertambah. Malahan ada beberapa pengunjung yang berdiri karena kehabisan kursi. "Ini sesuai dengan dugaanku." Kay turun dari taksi kemudian menuju ke pintu belakang untuk masuk ke bar. Kay mengambil kembali apron yang dia sampirkan di dekat pintu keluar dan pakai kembali. Tanpa bicara ataupun bertanya dia kembali ke tempatnya semula. "Pengunjung semakin bertambah banyak. Semakin malam semakin tambah banyak pengunjung yang datang." Niatnya bartender itu protes dengan kepergian Kay yang lama. Tapi tatapan dingin pria itu membuat bibirnya berkata lain dari apa yang sedang ingin ia ucapkan. "Tapi semua masih teratasi, bukan?" Bartender yang ada di samping Kay mengangguk paksa, seolah tak terjadi apapun. Padahal mereka kalang kabut mengatasi pengunjung yang membludak begini. Kay mengambil gelas martini di depannya, menata di meja. Ia mengambil shaker dan mulai meramu pesanan pengunjung. Sampai lewat tengah malam pengunjung masih banyak yang berdatangan. Tapi Kay tidak terlihat lelah dan masih tetap melayani pengunjung dengan senyum ramahnya. Pagi hari di hotel. Greta membuka kelopak mata perlahan. Entah kenapa dia merasa silau. Saat kelopak matanya terbuka sempurna, ia terperangah melihat kondisi sekitar. Dengan kepala yang masih sedikit berat, Greta tahu bila saat ini dia berada di hotel. Jantungnya serasa berlarian tak tentu arah mendapati dirinya tiba-tiba berada di hotel setelah berhasil mengingat kejadian semalam. "Akh! Apakah ... apakah pria itu yang membawaku kemari?!" Greta benar-benar syok. Pikirannya tak karuan dan tentunya pikiran negatif semua yang memenuhi otaknya sekarang. Dengan gemeter Greta melirik ke bawah, menatap tubuhnya. Dia merasa lega sekali kala mendapati bajunya utuh, tak ada satupun kancing yang terbuka ataupun helaian yang tanggal dari tubuhnya. Lantas, jika bukan pria itu yang membawanya kemari, lalu siapa? Greta duduk tegak lalu merapatkan kedua kakinya di lantai. Sungguh, kejadian ini masih terasa janggal baginya. Kenapa dia berpindah ke sini dan siapa yang membawanya? Itu masih membingungkan sekali! Tak sengaja tatapannya pun terkunci pada secarik kertas yang ada di meja. "Apa itu?" Greta berdiri dengan penasaran. Satu tangannya terulur untuk mengambil secarik kertas itu. Dengan cepat ia bawa kertas berwarna putih itu ke depan muka. Ada pesan tertulis di sana. Aku sudah membantumu lepas dari pria itu yang sudah mengambil tasmu jugag mau membawamu pergi entah ke mana. Aku tidak tahu alamat tinggalmu, jadi aku bawa kamu ke sini. Lain kali jangan minum mocktail lagi bila ada masalah. Tertanda, pria seksi. Greta menarik sudut bibirnya ke samping setelah selesai membaca surat tersebut. Sepertinya dia bisa langsung tahu siapa orang yang membawanya ke mari. "Ini pasti bartender itu. Siapa lagi orang yang melarangku minum mocktail? Jadi ... dia yang menyelamatkan aku." Padahal seingatnya, saat kejadian Kay tidak keluar dari bar. Tapi bagaimana pria itu bisa membawanya kemari? "Lain waktu bila aku bertemu dengannya, maka aku akan berterima kasih padanya." Greta merekahkan senyum, melipat kembali surat tersebut. *** Malam hari di sebuah swalayan. "Apa lagi yang kurang dan harus kubeli?" gumam Greta melihat list belanja. Greta sedang belanja keperluan sehari-hari. Dia keluar sendiri. Sebenarnya waktunya belanja bagi dia tiga harian yang lalu, tapi dia tak sempat keluar ataupun belanja hingga baru sekarang ini dia belanja. Gadis berambut ikal berwarna cokelat itu mengambil beberapa buah, memasukan pada troli yang separuhnya terisi. Pada list, semua bahan makanan sudah dia centang. Itu artinya sudah terbeli semua. Sekarang tinggal ia pergi ke bagian sabun. Sabun cair untuk mandi habis. Greta mendorong troli berpindah tempat menuju ke outlet sabun. Netranya bergulir mencari kemasan refill bergambar alloe vera berwarna hijau. Greta memang lebih menyukai aroma lidah buaya untuk sabun mandi, terkadang pula ia suka dengan aroma jasmine. Sabun yang ia ambil rupanya tinggal satu. Saat ia mengangkatnya, sebuah tangan lain ikut memegangnya. Membuatnya mendongakkan kepala, siapa yang ikut mengambil itu? "Kamu!" Dua suara bersamaan bicara. Sosok lain yang mengambil sabun tersebut adalah Kay. Kay tak menyangka saja kembali bertemu dengan Greta di sini setelah beberapa waktu yang lalu. Ia pun menarik tangannya kembali. Padahal Greta juga melepaskan tangannya. "Kamu yang menulis dan meninggalkan surat itu di hotel untukku, bukan?" Greta menatap intens Kay. Kay menarik sudut bibirnya ke samping merespons. "Rupanya kamu bisa mengenaliku dengan mudah. Aku tidak menyangka itu." Sungguh, Greta merasa berhutang budi padanya dan ingin berterima kasih pula. Hanya saja, dia bingung bagaimana mengungkapkannya. "Kamu pasti juga memakai sabun ini. Kenapa kamu kembalikan? Ambil saja." Greta langsung action mengambil kemasan refill berwarna hijau itu lalu menaruhnya di troli Kay. "Lebih baik kamu ambil saja. Aku tidak tahu ternyata kamu juga pakai sabun yang sama denganku." Sebenarnya sabun Kay bukan itu. Itu adalah sabun kesukaan Quinn. Quinn adalah adik perempuan Kay. Dia rindu pada adiknya yang biasa bermanja padanya. Karena itu dia mengambilnya untuk mengobati rasa rindu pada Quinn yang selalu bicara tak ada hentinya di dekatnya. Juga sudah kebiasaan baginya memberikan adiknya sabun seperti ini. Kebiasaan ini masih melekat dan belum bisa dirubah. "Lalu kamu?" "Anggap saja itu sedikit terima kasih kepadamu karena sudah membantuku beberapa malam yang lalu." Kay hanya mengangguk saja merespons. Tepat di saat dia akan mendorong troli, terdengar suara derap langkah kaki dari arah belakang. Suara itu kemudian berhenti di dekat Greta. Greta seketika menoleh pada sosok yang kini berdiri menjulang di sampingnya. "Dunia begitu sempit rupanya. Kenapa kita bertemu di sini?" ujar seorang wanita dengan senyum remeh menatap Greta. Membuat Greta geram hanya dengan menatapnya saja. "Siska! Kamu benar-benar wanita tak tahu diri. Masih berani muncul kamu di depanku?" Tangan Greta terkepal erat di bawah sana. Ada Neil yang berdiri di samping Siska. Dia memegang jemari tangan Siska, yang membuat hati Greta semakin panas. "Kamu pasti terluka dan kecewa sekali melihat kami berdua bahagia seperti ini." Siska memamerkan kemesraannya dengan Neil di depan Greta. Bisa dilihat sendiri saat ini tubuh Greta terguncang hebat. Kepercayaan dirinya runtuh dipermalukan seperti ini di tempat umum. Apalagi luka itu belum kering dan masih basah, sekarang dua orang yang dibencinya itu kembali membuatnya tersiksa, menabur garam di atas lukanya. Kay yang masih ada di sana, terketuk hatinya mendengar Greta dipermalukan. "Kalian berdua. Sebaiknya kalian berdua segera enyah dari sini. Jangan ganggu pacarku!" hardik Kay dengan suara baritonnya. Tak hanya Greta yang tersentak mendengar itu. Bahkan Siska dan Neil pun ikut membeliak matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN