Eps. 13 Membalas Serangan Siska

1242 Kata
Feny masih tidak tahu kenapa rekannya ini seolah menghindari bertemu dengan Neil juga Siska dengan melewati jalan memutar. "Miss, ada apa sebenarnya denganmu dan Neil?" Feny memberanikan diri bertanya daripada mati penasaran. Greta langsung menjawab dan menatap intens rekannya itu juga menatap ke sekitar. Hanya ada beberapa orang yang lalu lalang dan tidak begitu perhatian dengan mereka berdua. "Begini, hubunganku dengan Neil sudah berakhir." "Apa?! Benarkah itu? Bagaimana bisa itu terjadi?" Feny tak percaya. Selama ini di kampus, siapa saja melihat kedekatan Neil dan Greta. Mereka menyatakan bila dua orang ini adalah pasangan romantis yang ada di kampus. Semua tahu itu. Mungkin, para mahasiswa juga ada yang tahu. Ralat! Tepatnya banyak dari mahasiswa yang juga mengetahui hubungan kasih dosennya dengan pegawai di kampus ini. Bila tiba-tiba saja mereka putus ini sungguh mengejutkan sekali. Secara, selama ini tak ada masalah berarti mendera hubungan mereka. Dan dikabarkan akan segera bertunangan. "Miss, sebenarnya berat bercerita. Ini sama saja dengan membuka luka yang sudah kututup. Tapi, karena kita dekat maka aku akan bercerita garis besarnya saja. Siska selingkuh dengan Neil. Jadi, aku tak bisa bersamanya lagi. Cukup berat melepasnya, tapi aku juga tak sanggup bila dikhianati seperti ini," terang Greta dengan bibir tertarik tipis ke samping, tapi sorot matanya sendu. Barulah Feny tahu kenapa beberapa waktu ini temannya ini suka murung dan bersedih sendirian. "Astaga! Siska kenapa tega melakukan ini padamu?" "Entah, jangan tanya lagi kenapa itu terjadi. Aku tak ingin tahu juga tak ingin membahasnya lagi." Obrolan mereka pun terhenti sendiri ketika tiba di ruang dosen. Feny dan Greta duduk di kursi masing-masing. Feny, beberapa kali menatap Greta. Ia lihat temannya itu baik-baik saja sekarang, tak lagi bersedih seperti beberapa waktu yang lalu. Ia merasa aneh saja kenapa Greta bisa cepat move on? Salahkah bila dia berpikir ada pengganti Neil, sehingga temannya ini tak lagi sedih? Ia berpikir demikian setelah melihat jaket yang dikenakan oleh Greta. Meski dibilang itu jaket lama, tapi Feny yakin itu bukan jaket milik Greta, tapi milik seorang pria lain. Bahkan dari jarak sedekat ini tercium aroma parfum berbeda dari jaket itu. "Miss Feny, ada apa terus menatapku? Apa mau memberiku coklat lagi?" "Tidak. Sayangnya stok coklatku habis kemarin dan aku belum merestoknya lagi hari ini." Greta tak lagi bertanya mengingat masih ada kerjaan yang belum dia selesaikan. Seorang dosen senior kemudian datang, berhenti di meja Greta. "Miss Greta bagaimana dengan laporan kegiatan bulan depan?" Prodi kimia rencananya bulan depan akan mengadakan kegiatan outdoor di luar kampus. Laporan kegiatan yang disusun tentunya ada di tangan sang ketua program studi ini. Beberapa kegiatan sudah di susun tinggal acc alokasi dana. Bila itu sudah selesai, maka acara yang diajukan fix sudah. "Laporannya masih ada di bagian administrasi, Bu, belum turun." "Bisakah Anda memeriksanya sekarang? Rektor barusaja menanyakan itu padaku. "Baik, Bu." Detik itu juga, Greta beranjak dari tempat duduknya. Tak menunggu perintah kedua, ia segera keluar dari ruang dosen menuju ke ruangan administrasi, meski itu artinya harus berhadapan dengan Siska atau Neil. Agak malas Greta masuk ke tempat ini, tapi bagaimana lagi dosen senior sudah meminta laporan. Bila tidak ia proses maka dirinya dalam masalah. "Aku mau menanyakan laporan dari Prodi Kimia. Apa itu sudah selesai?" lontar Greta menghampiri meja Siska dengan super malas. Malas sekali harus berurusan dengan eks sahabatnya ini. Terlihat meja Siska sepi, hanya ada beberapa dokumen yang ditumpuk di meja dan segelintir orang yang bisa dihitung dengan jari di ruangan itu, termasuk Greta. Entah, Siska tuli atau apa, gadis itu tak merespons. Membuat Greta geram dibuatnya. "Siska, aku rasa kedua indra pendengarmu masih berfungsi dengan baik. Aku datang untuk menanyakan laporan dari Prodi kimia yang sudah masuk apa itu sudah turun?" Greta terpaksa mengulangi pertanyaannya kali ini dengan nada yang lebih tinggi. Barulah Siska merespons. "Astaga pagi-pagi begini sudah berisik. Ada apa, ya? Layanan belum dibuka. Masih kurang lima menit lagi." Siska menggulir bola mata dengan malas menatap Greta. Greta mencebik. Bisa-bisanya ada aturan semacam itu sekarang. Biasanya kapan saja datang asal di jam kerja pasti akan dilayani. Apa ini tidak cari masalah dengannya, namanya? "Sejak kapan aturan berubah?" "Sejak beberapa waktu yang lalu. Dari seminggu yang lalu. Mungkin kamu saja yang kudet. Bukannya kamu ketua prodi, ya, tapi Kenapa bisa sampai tidak tahu?" "Tidak ada aturan baru seperti itu. Atau hanya kamu yang membuat aturan itu sendiri dengan mengada-ada?" "Miss Greta ... aku mengatakan yang sebenarnya. Atau mungkin kamu terlalu fokus dengan masalahmu, dengan kesedihanmu karena kehilangan lelaki?" Siska berdiri dari tempat duduknya. Saat itu ia menyaringkan volume suaranya. Di belakangnya ada petugas lain yang baru masuk. Sengaja, ia ingin menjatuhkan Greta di depan yang lainnya. Tampak, beberapa petugas yang ada di ruangan ini mengunci pandangan mereka pada Greta setelah mendengar kicauan Siska. Greta mendengkus kesal. Ia tahu Siska benar-benar cari masalah dengannya dan ingin menjatuhkan harga dirinya di depan umum seperti ini. Apa yang dicari wanita itu? Kenapa tak puas juga setelah berhasil merebut Neil darinya?Apakah sekarang Siska juga ingin mempermalukan dirinya? Tidak! Itu takkan pernah terjadi lagi! "Aku kira seorang yang profesional tidak akan mencampuradukkan masalah pribadi dengan masalah pekerjaan, Bu Siska. Atau memang seseorang sengaja ingin menunjukkan masalah pribadinya sendiri karena merasa hebat dan menang berhasil merebut lelaki orang." Greta benar-benar tak bisa menahan amarahnya pada mulut busuk Siska. Parasnya saja yang cantik tapi tidak dengan mulutnya yang penuh dengan toxic. Greta sendiri sudah bertekad tak ingin diinjak-injak lagi oleh Siska. Ia benar-benar mempertimbangkan perkataan Kay semalam bila dirinya tak boleh tinggal diam dipermalukan. Tatapan beberapa petugas yang ada di sana kemudian bergulir pada Siska, lalu terdengar bisik-bisik. "Rupanya Bu Siska yang cantik tipe pelakor. Ck! Aku telah salah menilai selama ini." "Iya, aku tidak salah dengar ini. Tak mungkin Miss Greta bicara omong kosong." Tentu suara itu bisa didengar dengan jelas oleh Siska maupun Greta. Siska mukanya berubah tegang dan merah padam menahan malu. Sedangkan Greta tersenyum puas penuh kemenangan berhasil membalikkan serangan Siska. "Kenapa masih diam? Bila aturan baru memang sudah berlaku, sekarang sudah lewat tujuh menit. Itu artinya permintaanku sudah bisa dilayani." Siska tak bisa berkutik lagi, ia pun melangkah masuk ke ruangan di belakangnya dengan hentakan kaki yang cukup keras. Kisaran sepuluh menit, wanita rambut pendek dengan tatapan sebal itu kembali dengan membawa dokumen. Belum sempat ia serahkan dokumen tersebut, Greta sudah mengambilnya dari tangan Siska. "Terima kasih, Bu Siska." Greta melangkah dengan anggun keluar dari ruangan administrasi meninggalkan Siska yang menggeram tertahan. Di luar sana, Greta tak sengaja berpapasan dengan Neil. Pria itu menghentikan paksa langkahnya dengan berdiri persis di depan Greta. "Greta ... kamu mencariku?" Neil berkata dengan penuh percaya diri. Ia yakin bila Greta hanya menyewa Kay dan belum bisa move on dari dirinya. "Tidak. Kenapa aku harus mencarimu? Kurasa kamu tidak lupa hubungan kita sudah berakhir beberapa waktu yang lalu." "Katakan padaku bila kamu sebenarnya masih rindu dan mengharap padaku, bukan? Kamu hanya membuat kesepakatan dengan pacar sewaanmu itu." Neil yakin sekali jika Kay adalah pacar sewaan Greta karena jelas tampak sembarangan membawa seorang pria untuk menggantikan posisinya. Greta sedikit tersentak, namun dia tak perlihatkan itu. "Maaf, pernahkah kamu melihat aku membayar seorang pria untuk menjadi pacarku? Maaf saja, jaket ini adalah saksi bila pacarku asli bukan sewaan. Kamu pria menjijikkan yang sudah mencelupkan miliknya pada wanita yang merupakan eks teman dekatku. Aku tak sudi melihatmu ataupun bicara denganmu lagi. Kamu tak ada bedanya dengan lalat yang lebih memilih sampah bau daripada bunga yang wangi. Aku sudah membuangmu pada sampah itu jangan pernah merengek kembali Padaku." Greta lalu menyentak d**a Neil untuk menciptakan jarak. Setelahnya dia pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN