Kay hanya terkekeh menatap Greta yang kini menangis kembali. Bisa-bisanya gadis itu menjeda tangis lalu melanjutkannya kembali seperti saat ini. Itu sungguh menggelikan. Bahkan, Quinn saja bila menangis tak bisa berlanjut seperti Greta. Ia biarkan Greta terisak, dan sejenak dia pejamkan mata.
"Dasar sialan! Terkutuk mereka berdua!" maki Greta sampai kesal. Kini ia merasa sudah lelah menangis, sudah puas berteriak. Hanya saja sesak di dadanya belum juga hilang.
Greta lantas menggulir pandangannya menatap Kay. Ia merasa aneh sekali kenapa pria itu tak terganggu sama sekali dengan suara tangisnya yang senyaring ini. Padahal penghuni apartemen yang berjarak dari rumahnya saja sampai terganggu tadi. Satu lagi, ia melihat Kay tampak santai dan tenang berada di tempat setinggi ini.
"Hey, kamu ... kenapa kamu mengajakku kemari?"
Kay yang memejam mata tapi sebenarnya belum tidur Kemudian membuka kelopak matanya menoleh ke arah Greta. "Kamu sudah selesai menangis? Sudah lega? Sebenarnya apa yang membuatmu sampai menangis sesedih ini?"
"Masalah yang lalu. Masalah eks dan teman dekatku. Mereka kembali membuatku panas. Apalagi setiap hari kami pasti bertemu. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup bila terus seperti ini?"
"Astaga! Jadi karena itu kamu sampai menangis dan membangunkan penghuni lainnya? Hanya karena pria itu? Pria yang mendatangiku di bar kemarin?" Greta sampai terperangah mendengarnya.
Neil sampai datang ke bar untuk menemui Kay? Bagaimana dia segila itu? Sungguh, ia merasa semakin tak enak juga berhutang budi pada Kay. Neil terus berulah sampai menemuinya segala.
"Apa yang dia lakukan padamu? Apa dia menyentuhmu?" Greta tampak panik. Dia khawatir saja Neil sampai main tangan pada Kay yang sebenarnya tak ada sangkut pautnya dengan mereka.
"Menyentuhku? Coba saja bila dia bisa. Itu tak akan pernah terjadi." Kay kembali menatap lurus vertikal. Greta lega Neil tak berani macam-macam pada Kay.
"Bila masalahmu hanya dikhianati pacar saja itu bukan masalah besar menurutku. Malah seharusnya kamu merasa bersyukur karena sudah ditunjukkan lebih dulu seperti apa warna aslinya. Daripada kamu sudah menikah dan baru mengetahui itu apa kamu tidak akan lebih sakit dari sekarang?"
Greta bungkam seketika mendengar yang dibilang oleh Kay. Jika dipikir memang benar adanya. Tapi, seandainya saja ia bisa dengan mudah melupakan itu. Sayang, ini sulit sekali baginya untuk move on.
"Mudah bagimu bilang begitu karena tidak mengalami sendiri secara langsung," sanggah Greta.
"Mudah saja. Kamu cukup rubah mindset-mu saja. Angga saja dia tak pernah ada. Kamu nggak kenal dia juga nggak akan pernah mengenal dia. Beres sudah masalahnya." Greta kembali diam mendengar saran dari Kay.
Sejenak, Greta pun menjadi tergoda setelah melihat Kay yang berebah dengan nyaman. Ia pun ikut berebah di samping Kay. Ia tatap Kay yang tampak tenang tanpa masalah sedikitpun hidupnya.
"Kamu sepertinya tak punya beban hidup dan tak ada masalah, berbeda dengan aku." Kay beralih menoleh ke samping kiri menatap Greta.
"Setiap orang punya masalahnya sendiri-sendiri. Apa aku terlihat tak ada masalah?" Greta tersentak kaget, namun tak berani bertanya lebih jauh. Rupanya Kay juga punya masalah, sama seperti dirinya. Hanya saja pria itu selalu terlihat tenang.
Setelahnya suasana di antara mereka berdua hening.
Kay yang merasa nyaman terkena udara dingin di sekitar, kembali memejam mata. Dalam hitungan detik saja dia pun tertidur pulas.
Greta yang saat ini menatap indahnya langit nan berkelip, merasa sesak di dadanya jauh berkurang. Ia benar-benar merasa nyaman sekarang.
Suara angin berhembus, meniup poni Greta. Rasanya semakin malam di sini, suasananya terasa semakin dingin.
"Aku tidak membawa jaket tadi." Greta mulai merasa dingin. Saat ini tubuhnya pun sedikit gemetar. Ia sampai mengusap tangannya pada lengan, bersedekap lalu beralih menatap Kay yang tak bersuara sama sekali.
"Astaga! Dia benar-benar tidur rupanya. Bagaimana ini? Padahal aku ingin kembali saja. Bisa masuk angin aku bila terlalu lama berada di sini." Greta mencoba untuk membangunkan Kay.
"Hey, kamu ... aku kedinginan. Ayo, kita balik saja." Tak ada respons.
Greta kembali memanggil, namun Kay tetap tak bergeming dan masih terpejam. Terpaksa ia pun mengalah dan memilih untuk menunggu Kay sampai bangun. Namun, sudah hampir sejam, dia menunggu dan Kay tetap memejam mata.
Greta yang kedinginan dan tak tahan lagi kemudian mencoba memutuskan untuk turun sendiri. Namun ketika berada di depan tangga dia berhenti sejenak lalu menatap ke bawah. Kepalanya terasa berat seketika dan tubuhnya oleng. Beruntung dia tak sampai jatuh dan berpegangan pada tepi tangga. Ia pun tak berani untuk turun lagi ataupun bergerak. Ia meringkuk dengan kaki tertekuk di dekat tangga hingga pada akhirnya tertidur dalam kedinginan.
Jam tiga dini hari.
Kay membuka mata kala mendengar suara kepakan sayap burung yang terbang di atasnya.
"Jam berapa ini?" Kay menggulir bola mata menatap jam di tangannya. Dia tersentak kaget mendapati hari hampir pagi.
Ia duduk dengan nyawa yang belum genap terkumpul. Samar ia teringat bila sebelumnya ia tak di sini sendirian. "Ke mana Greta?" Kay duduk, menjelajahkan netra ke setiap sudut mencari sosok gadis itu.
Tatapan matanya kemudian terkunci pada sosok yang kini meringkuk di dekat tangga. "Apa itu Greta?"
Cepat Kay menegakkan tubuhnya berdiri lalu bergeser ke titik di mana Greta berada. Ia tak tahu saja kenapa gadis itu masih ada di sini dan belum kembali ke rumahnya sana? Lalu kenapa juga meringkuk di dekat tangga, tidak turun saja?
"Greta, bangun. Aku mau turun. Kecuali bila kamu tetap ingin di sini sampai pagi."
"Ha?" Greta bangun dengan sentuhan tangan di bahu. Kelopak matanya terbuka sempurna memperlihatkan bola matanya yang bulat. "Kamu sudah bangun? Kita turun sekarang." Greta menegakkan tubuhnya berdiri kemudian berjalan mengikuti Kay yang menuruni anak tangga terlebih dulu.
Bisa dilihat, Greta menggenggam erat tepi tangga dan menuruninya sampai anak tangga terakhir. Dia masih takut saja setelah sebelumnya hampir terjatuh dari rooftop. Kay tak tahu bila gadis itu gemetar.
Tiba di depan kamar Kay. Dia menghentikan Greta sejenak.
"Tunggu di sini."
"Ada apa?" Kay tak merespon dan langsung membuka pintu masuk ke kamar. Tak lama kemudian ia keluar dengan membawa sebuah jaket tebal. Tadi sebenarnya dia tahu bila Greta kedinginan, hanya saja dia tak membawa jaket.
"Pakai ini." Kay melempar jaket dari pintu yang melayang tepat ke kepala Greta. Saat Greta mau bicara, pintu kamar Kay tertutup. Membuatnya tak bisa berkata dan gegas menuruni tangga berikutnya menuju ke rumah.
Tiba di kamar Greta, gadis itu langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur setelah mengenakan jaket tebal Kay. Namun tetap saja, ia menyembunyikan tubuhnya dibalik selimut tebal untuk mendapatkan kehangatan double.
***
Hachi! Greta beberapa kali bersin setelah turun dari motor.
Saat ini gadis itu baru saja tiba di kampus dan memarkir motor. Tubuhnya masih terasa dingin saja meski sudah mandi air hangat tadi pagi. Padahal saat ini dia juga memakai jaket tebal.
"Jaket kamu baru, Miss Greta," ceplos sebuah suara dari arah belakang yang kemudian menyamai langkah sembari menepuk pelan bahu kanan Greta.
"Ini ..." Greta menatap tubuhnya sendiri. Ia baru sadar bila jaket hangat dan nyaman yang ia kenakan saat ini bukan miliknya tapi milik Kay. "Jaket lama di lemari, tapi baru kupakai, Miss Feny," kilahnya. Beruntung, dosen psikologi itu percaya saja dengan ucapannya.
Mereka berdua kembali melangkah. Di tengah jalan terlihat di kejauhan sana dua orang mencolok mata berjalan bergandengan tangan. Greta mencoba mengalihkan pandangan dari mereka. Dia tak ingin kembali panas melihat Neil dan Siska.
"Miss, bukannya itu Neil? Kenapa dia jalan dengan Siska, bukannya denganmu? Lalu, lihat tangan mereka berdua. Itu aneh sekali. Kamu tidak marah melihatnya?" Feny memang tidak tahu bila mereka berdua sudah putus. Mungkin yang lain pun juga sama, belum tahu kabar itu. Sedangkan mengenai hubungan kasih asmara antara Greta dan Neil, seluruh kampus sudah tahu itu.
"Biarkan saja, Miss." Greta meraih lengan Feny, mengajak lewat jalan lain. Dosen psikologi itu kini pikirannya dipenuhi dengan tanda tanya besar.