Eps. 11 Dimarahi Penghuni Lain

1229 Kata
Kay tak salah lihat dan yakin dengan penglihatannya, meski lampu di jalanan sana bersinar temaram. Beberapa kali bertemu dengannya membuatnya hafal dengan sosok Greta. "Apa yang dia lakukan malam-malam begini menangis di jendela? Apa dia ingin menunjukkan pada semua yang lewat di jalan bila dia sedang bersedih? Aneh sekali dia. Apa dia dia berpikir dia juga punya tetangga yang tak ingin tidur?" Kay benar-benar merasa aneh saja. Di luar sana, Greta mendongakkan kepala kala merasa ada seseorang yang menatapnya intens, entah siapa itu? "Hantu! Hantu!" teriak Greta kala mendapati sesosok pria tinggi yang terlihat bertelanjang d**a juga tak terlihat jelas wajahnya. Greta meneriaki hantu karena selama ini apartemen di seberangnya, di kamar yang ditempati oleh Kay sudah lama kosong. Jadi bila saja tiba-tiba jendela terbuka dengan kondisi terang benderang dan ada seseorang yang muncul di jendela, pastilah itu membuatnya takut. Salahkah bila ia mengira Kay adalah hantu? "Ck! Berani sekali dia mengataiku hantu." tentu Kay bisa mendengar dengan jelas Apa yang diucapkan oleh Greta karena suara itu melengking nyaring. Beruntung, tak ada yang keluar mendengar suara Greta, entah kenapa. Karena sudah pada tidur semua atau memang sepi? Tak ada yang tahu! Kay tentu saja tak senang dikatai sebagai hantu oleh Greta. Ia pun berbalik lalu menuju ke meja yang ada di dekat jendela. Di sana ada selembar kertas berwarna jingga. Ia lalu lipat membentuk pesawat kertas. Tak lupa dia menuliskan sesuatu di sana. Setelahnya dia kembali ke jendela lalu mengeluarkan tangannya. Dia memegang pesawat kertas, melepas mengibas pesawat itu terbang hingga sampai di jendela Greta. "Hiss! Apa ini?" Greta berdesis karena pesawat milik Kay menukik keras mendarat pada bagian kepala. Di bagian ujung pesawatnya, Kay memasang peniti. Mungkin itu yang membuat kepala Greta terasa sakit, meski sedikit. Greta mengambil pesawat yang menyangkut di bagian rambut, membawanya ke depan muka. Bisa-bisanya ada orang iseng yang melempar pesawat kertas ke arahnya. Apa maksudnya? Greta semakin bertambah geram kala mendapati sebuah tulisan yang tertera pada pesawat kertas tersebut. Aku bukan hantu. Berani kamu mengetahui ku hantu maka aku akan terus menghantuimu setiap malam. Greta masih tidak tahu siapa penghuni baru di apartemen sebelah yang biasanya kosong. Yang jelas tulisan pada pesawat kertas itu menunjukkan ada penghuni baru di sana yang dia tidak tahu entah sejak kapan penghuni apartemen kosong tersebut bersemayam. Dia sendiri juga tidak terlalu perhatian pada sekitar. Ia sibuk mengurusi kerjaannya di kampus. Sampai rumah juga masih harus mengurusi tugas mahasiswanya. "Siapa kamu? Kenapa kamu sengaja memukul kepalaku dengan pesawat kertas ini?" gerutu Greta beralih mendongakkan kepala ke arah jendela Kay. Saat itu Kay menggeser jendela sampai ke atas, membukanya penuh, agar ia bisa leluasa melangokkan tubuhnya di jendela. "Astaga! Kamu ... Kay! Bagaimana bisa kamu ada di sana?!" pekik Greta tak menyangka sama sekali penghuni baru di apartemen kosong adalah pria itu, juga tak terbayangkan sama sekali bila dirinya akan menjadi tetangga Kay. Mimpi apa semalam dia coba? Ini suatu keberuntungan atau kesialan? Tak ada yang tahu dan hanya waktu yang bisa menjawabnya. "Aku kira siapa di sana." Tampak Greta menyesal telah mengatai Kay sebagai hantu. Bukan maksudnya juga bicara begitu. Itu refleks saja meluncur otomatis dari bibirnya. Kay hanya mengangkat kedua bahunya merespons. Greta masih menatap muka Kay. Setelahnya pandangan itu turun ke bawah, ke bagian d**a bidang pria atletis itu. "Argh!" Greta kembali berteriak dan langsung menangkupkan kedua tangan menutup muka dengan memejam mata. "Apalagi sekarang?" Kay benar-benar tidak tahu kenapa gadis itu menjerit lagi menatapnya. Padahal jelas sudah ketahuan dia bukan hantu. "Kamu cepat pakai bajumu. Aku tidak bisa melihatmu setengah terbuka begitu," teriak Greta setengah menjerit. "Asal kamu tahu ... aku buka baju bukan tanpa alasan. Aku begini karena AC di kamar mati. Aku tidak tahan gerah. Kamu sendiri kenapa menangis di jendela? Tidakkah kamu tahu kamu berusaha membangunkan semua orang yang sudah tertidur?" Entah, maksud Kay mengingatkan atau menyindir, yang jelas itu mengena sekali bagi Greta. Greta baru tahu alasannya. Tapi tetap saja dia enggan membuka tangan menyingkir dari wajah, karena sepertinya Kay belum juga memakai baju, mendengar penjelasannya barusan. Tiba-tiba saja lampu lain di kamar lantai bawah Kay, menyala. Penghuni apartemen itu membuka jendela. Lalu menatap ke arah Greta yang di posisi lurus dengan dirinya sekarang. "Nona ... aku benar terganggu dengan keramaian yang kamu ciptakan. Bila ingin menangis silakan saja, atau bila ingin berteriak dengan tetangga silakan saja. Tapi tolong jangan di sini. Cari tempat lain. Tolong jangan berisik di sini." Penghuni apartemen itu tidak marah, tapi terlihat sebal sekali, kembali menatap Greta dengan bersungut. Greta menarik tangan paksa dari muka. Bola matanya bergulir dengan malas menyapu penghuni apartemen tersebut. "Ma-maaf, aku akan segera masuk ke kamar setelah ini." Penghuni apartemen yang barusan protes kemudian menutup kembali jendela kamar dengan menyentak keras, membuat Greta sampai terjengkit kaget. "Apa kubilang, penghuni lain terganggu, bukan?" "Ssts! Pelankan suaramu, atau akan ada penghuni lain apartemen yang marah padaku karena suaramu." Greta menaruh satu jari telunjuknya di depan bibir sebagai kode. Kay hanya terkekeh pelan. Kay tak langsung masuk ke kamar dan berpikir keras di mana lagi dia bisa mendapatkan pasokan udara melimpah di malam ini? Hingga pada akhirnya menemukan sebuah tempat yang cocok untuknya, mungkin pula juga cocok untuk Greta. "Bila kamu masih ingin menangis, kamu bisa ikut denganku ke suatu tempat. Kamu datang saja ke lantai lima belas apartemen ini. Aku akan menunggumu di teras." Greta mengangkat sebelah alisnya menatap Kay. Setelahnya pria bermata teduh itu menutup jendela, juga menguncinya rapat. Tak lupa ia mengenakan kemeja yang tadinya ia gantung dengan cepat, lalu menuju ke teras. Di kamar Greta. Gadis itu baru saja menutup jendela dengan terpaksa sebelum dia kena omelan lagi yang kedua dari penghuni apartemen lainnya. "Apa maksud Kay? Dia menyuruhku datang ke tempatnya? Lalu mau menunjukkan aku tempat yang bagus untuk menangis? Memangnya di mana?" Greta menautkan sepasang alis gelapnya berpikir. Ia mencoba untuk berebah sejenak di kasur, memejam mata. Entah, rasanya dia tak bisa tidur sudahan. Bawaannya, dia ingin melanjutkan menangis yang belum selesai, sampai puas. Dengan terpaksa akhirnya Greta keluar juga dari rumahnya menuju ke apartemen Kay di lantai lima belas. *** Hah! Greta terengah-engah setelah berhasil tiba di lantai lima belas. Dia mencoba menaiki lift yang ada, tapi lift entah mati atau dikunci. Daripada menunggu tidak jelas akhirnya dia pun memilih untuk menaiki tangga. Di dekat tangga sana ada Kay yang berdiri dengan kedua tangan bersedekap di d**a. "Kamu lama sekali? Aku sudah menunggu hampir dua belas menit lamanya." "Lift di apartemen ini tidak bisa. Aku lewat tangga." Greta menjelaskan dengan napas masih tersengal, juga keringat yang mulai menetes. Jangan lupakan matanya yang sekarang bengkak menatap Kay. "Lift mati di atas jam sepuluh malam. Ayo kita ke rooftop sekarang." Kay tak menunggu respons dari Greta, lalu menuju ke tangga, mulai meniti naik. "Apa? Tangga lagi?" Greta Rasanya tak sanggup bila harus naik tangga lagi. Tapi karena Kay sudah naik duluan dan meninggalkannya sendirian di sana maka dengan terpaksa ia pun mengikuti juga naik ke tangga. "Lelahnya ..." eluh Greta setibanya di lantai teratas apartemen ini. Dia pun segera meluruskan kedua kakinya yang terasa berat dan pegal setelah menaiki tangga sampai lantai delapan belas. Kay kemudian merebahkan tubuhnya dengan menjadikan kedua tangannya sebagai alas kepala, menatap awan dia atas. "Ini baru segar namanya." Greta sampai tercenung mendengarnya. Segar apanya! Bisa dibilang di sini dingin. Dingin sekali! "Sekarang kamu bisa menangis sepuasnya di sini." "Benarkah?" Kay mengangguk. Greta kemudian kembali melanjutkan aksi menangisnya yang belum selesai. Kay, hanya berdecak melihatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN