Eps. 10 Suara Tangis Dari Rumah Sebelah

1196 Kata
Greta melangkahkan kaki tanpa menatap ke arah bawah. Dia jelas tidak tahu bila saat itu Siska sedang memasang jebakan untuknya. Dari kejauhan terdengar suara lelaki memanggil. "Siska!" Greta yang familier dengan suara itu menghentikan langkah, padahal bila saja ia melangkah saat ini dia pasti sudah jatuh terjungkal ke tanah. Greta menoleh ke belakang. Neil datang dengan sedikit berlari. Tentu saja dia hanya menatap sekilas Greta, fokusnya tertuju pada Siska. Ia berhenti persis di samping kekasih barunya. Ralat! Lebih tepatnya sephianya yang kini resmi menjadi kekasih Neil. Ia raih jemari tangan Siska mendekat ke sisinya, sehingga posisi wanita itu bergeser dari Greta, yang membuat otomatis jalan untuk Greta terbuka lebar. Greta kali ini menoleh ke samping kiri di mana dia melihat pemandangan yang seharusnya tak dia lihat karena menyebalkan bagi dirinya. Neil nyaris mendekap Siska di hadapannya. Hiss! Greta mendesis lirih, lalu kembali menatap lurus ke depan. Sebelah tangannya terkepal erat di bawah sana. Meski dia bilang ingin move on, nyatanya bila melihat kembali mereka berdua bermesraan, dadanya bagai disayat-sayat tipis. Nyeri juga perih! Greta melangkah dengan menghentakkan kakinya pergi jauh meninggalkan mereka berdua tanpa menoleh sedikit pun ke belakang, meski terdengar percakapan mereka berdua. "Neil, apa yang kamu lakukan?" protes Siska menyentak tangannya lepas dari genggaman kekasihnya itu. Sebal sekali rasanya niat untuk menjahili Greta akhirnya gagal karena kedatangan Neil. "Bukannya kamu sendiri yang minta agar kita selalu bersikap romantis di depan Greta?" "Kamu mengacaukan rencanaku!" sungut Siska dengan tatapan kesal tertuju pada Neil. Wanita itu kemudian berlalu meninggalkan Neil. Padahal ia ingin tersenyum puas melihat Greta yang jatuh tersungkur ke tanah. Itu pasti menyenangkan sekali. Membuat Neil bingung sendiri. "Ada apa dengan Siska?" Greta tiba di ruang dosen. Dengan suara dengkusan tipis, dia menuju ke kursinya yang ada di deretan belakang. Tepatnya bagian pojok, nomor tiga dari barisan belakang. Bahkan, Greta sampai menaruh tasnya dengan sedikit menyentak ke meja. Ia menyusun punggungnya untuk duduk nyaman bersandar di kursi berbahan kayu jati tanpa bantalan empuk. "Pagi-pagi begini aku sudah mendapatkan sambutan menyakitkan dari mereka berdua. Bagaimana bila ini terus berlanjut dan semakin parah?" Kali ini Greta sampai memegang kepalanya dengan sebelah tangan. Kepalanya terasa berdenyut hebat, seirama dengan detak jantungnya yang masih belarian ke mana-mana. Ingin rasanya dia kabur ke planet Mars jika bisa, kabur dari Siska dan Neil. Karena melihat mereka berdua saja hatinya masih terasa terbakar sampai hangus. Bagaimana bila setiap hari bila ia harus disuguhi pemandangan memuakkan ini? "Bisa-bisa aku mati mendadak jika terus begini," desau Greta sembari mengacak rambut frustasi. Malam hari di rumah. Greta terlihat duduk di daun jendela bercat putih di kamarnya. Ia buka gorden yang menutupi jendela agar ia bisa leluasa melihat pemandangan yang ada di luar jendela. Ia juga membiarkan jendela terbuka, membiarkan udara dari luar masuk mengisi kamarnya. "Apa yang harus kulakukan setelah ini? Meski kami tidak seruangan, tapi kami bekerja di kampus yang sama dan pasti akan terus bertemu. Bagaimana bila besok Siska dan Neil kembali berulah di depanku?" Jujur, jauh di lubuk hati terdalamnya sana, Greta masih cinta pada Neil. Sedikit banyak rasa itu masih tersisa di sana, meski Neil jelas-jelas sudah mengkhianati dirinya. Tapi, tak serta-merta ia bisa membuang sosok pria itu jauh- jauh dari perasaannya. Ia benar-benar menderita dikhianati setelah tiga tahun lamanya menjalani hubungan serius. Ia tak pernah tahu apa salahnya, sampai Neil mengkhianati dirinya? Ia benar-benar tersiksa sekarang. "Tuhan ... hidupku benar-benar merana sekarang." Greta tertunduk dengan mata basah. Buliran bening tumpah ruah, menganak sungai membasahi pipinya yang putih lembut. Entah, sudah berapa lama dia menangis di sana. Yang jelas, Greta sudah duduk dari dua jam yang lalu, terus meratapi kesedihan dan kesialannya yang terus datang membayang. Di apartemen Kay. Hari ini Kay pulang lebih awal dari jam biasanya dari Bar. Bar saat ini ramai. Bisa dibilang semakin malam semakin ramai. Hanya saja ia merasa lelah, dan ia ingin beristirahat lebih awal di rumah. "Kenapa ruangan ini panas sekali?" Kay merasa suhu di kamar membuatnya sedikit berkeringat. Ini aneh sekali bila terjadi di malam hari. Karena merasa ada yang tak beres, ia pun menuju ke meja di mana remote AC tergeletak di atasnya. Kamar Kay memang ber-AC, ini fasilitas yang diberikan sepaket komplit oleh apartemen ini. Tampak AC mati saat ia lihat. Padahal tadi saat ia tinggal, AC di kamar dalam keadaan menyala. Ia tak mematikan, lantas kenapa sekarang mati? "Ada apa, ya?" Kay mengambil remote dari meja, kemudian menekan tombol merah untuk menyalakan ulang AC. Sayang, berapa kali ia menekan tombol power, AC tetap mati, tidak menyala. "Pantas saja rasanya panas sekali seperti di uap." Kay membuka dua kancing kemeja teratas, saking tidak kuatnya. Ia juga menuju ke jendela, membukanya lebar agar udara dari luar bersirkulasi masuk. Setelahnya, Kay mengambil ponsel dari balik saku celana. Beberapa waktu yang lalu dia menyimpan nomor pemilik apartemen ini bila terjadi sesuatu atau sewaktu-waktu dibutuhkan. "Halo, aku penghuni kamar di lantai lima belas. AC di kamarku mati. Apa bisa ini diperbaiki sekarang?" ucap Kay setelah telepon tersambung. Suara di ujung telepon sana menjelaskan bila saat ini tidak tersedia teknisi untuk melakukan servis atau perbaikan AC. Dan itu akan dilakukan besok pagi. Kay mengakhiri panggilan dengan suara desauan panjang. Itu artinya dia saat ini harus tidur tanpa AC? Bisakah dia tidur nanti tanpa AC? Karena di rumah sudah terbiasa tidur dengan ruangan ber-AC. Malahan di rumahnya sana AC menyala selama dua puluh empat jam. "Kenapa rasanya masih gerah sekali?" keluh Kay. Karena masih merasa gerah di malam hari, meski dia sudah membuka kancing baju, maka pada akhirnya dia buka semua kancing bajunya sampai bagian terbawah, kemudian dia lepas kemejanya dan telanjang d**a. Setelah menggantung kemejanya di gantungan baju, Kay lalu duduk di tepi kasur dekat jendela. Ia sengaja duduk di sana karena dekat dengan udara dari jendela. Pelan ia sandarkan kepala ke dinding. Udara dari dari luar yang masuk ke ruangan mulai terasa nyaman di tubuh. Kay betah berlama-lama duduk di dekat jendela sana, hingga terdengar suara dari luar yang membuatnya penasaran. "Suara apa itu?" Kay menajamkan indra pendengarnya tanpa melongok keluar ke arah jendela. Suara dari luar itu terdengar mirip antara suara isak tangis dengan suara lolongan. Entah apa itu sebenarnya. Ini juga kali pertama bagi Kay mendengar suara aneh tersebut. Awalnya dia tak peduli dan tetap mencoba memejamkan mata. Namun, lama kelamaan suara itu cukup mengganggu. Hingga ia pun beringsut turun dari kasur bergeser ke jendela, melongok ke luar jendela. Kay mencari sumber suara tersebut hingga dia mengunci pandangan pada sebuah jendela di samping apartemen yang terbuka lebar. Apartemennya memang bersebelahan dengan rumah warga yang dibatasi oleh jalanan selebar tiga meter di tengahnya. Kay sendiri tak pernah membuka jendela kamar dan baru kali ini dia buka. Ia bahkan tak pernah bermain ke tetangga sebelah apartemenya, apalagi sampai main ke tetangga seberang sana. "Ada wanita yang menangis di jendela semalam ini?" Dari jendela terlihat seorang gadis dengan rambut panjang cokelat tergerai, tertunduk dengan kedua tangan menangkup muka, tak bisa dilihat rupa gadis itu. Kay yang penasaran masih menatap dari jendela ke arah jendela yang berada lebih rendah kisaran tiga meter dari jendelanya. Siapa tahu saja gadis itu memperlihatkan mukanya. Hiks! "Sialan! Aku tak mau terlihat lemah begini." Wanita tersebut lantas membuka kedua telapak tangannya hingga terlihat jelas wajahnya. "Dia ... Greta?!" pekik Kay tersentak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN