"Semoga saja bar ini ramai nanti." Kay berada di sebuah bar, sedang melakukan grand opening di sana.
Beberapa waktu sebelumnya, pria tinggi bermata teduh ini sedang berdebat dengan orang tuanya di rumah. Semua masalah itu diawali dari ayahnya yang memaksanya untuk menerima perjodohan. Kay dipaksa menikah dengan wanita pilihan ayahnya. Ia protes dan menolak keras hingga dia memutuskan untuk keluar dari rumah. Tentu, itu membuat fasilitasnya dicabut. Dia hanya mengandalkan tabungannya saja. Ezio Dafa Kaili, putra sulung dari keluarga Kaili, keluarga yang terkemuka di daerahnya dengan beberapa perusahaan besar dan bisnis lainnya. Tapi sekarang semua itu ia kubur jauh dan hidup dengan menjalani kehidupan baru. Bahkan, ia pun mengganti namanya dengan nama belakangnya untuk melupakan masalahnya yang mendera.
Kay memutuskan untuk mengisi kesibukannya dengan membuka bar. Dia terpaksa menjual mobil kesayangannya untuk modal membuka bar. Dia juga menggunakan tabungannya sebagai tambahan modal usaha.
Setelah berpikir mendalam akhirnya dia memutuskan untuk membuka bar. Dia sebelumnya bukan pengunjung tetap sebuah bar, tapi dia punya seorang teman yang membuka bar. Jadi, sering dia berada di bar temannya itu dan membantunya tanpa upah, hanya untuk mengisi waktu di malam hari saja. Menurutnya membuka bar tidak terlalu melelahkan. Meski tidak pernah menganyam pendidikan perhotelan ataupun bartending, Kay bisa menjadi bartender karena sering membantu temannya.
"Apakah boleh dibuka sekarang?" tanya seorang lelaki yang mengenakan kemeja panjang berwarna putih, celana panjang putih dan apron berwarna hitam pada Kay.
Kay memperbantukan dua orang pria untuk bekerja di bar ini. Dia sendiri juga akan bekerja di sini meski tidak dua puluh empat jam full. Tak mungkin dia bisa bekerja sendirian tanpa ada yang membantu. Di awal pembukaan juga mungkin akan menyesuaikan waktunya.
"Ya, kita buka bar ini sekarang," timpal Kay.
Dua orang pria kemudian menuju ke pintu lalu membukanya. Satu pria kembali ke dalam, ke meja bartender, berdiri di samping Kay. Sementara satu pria lainnya berada di luar melakukan promosi.
"Silakan mampir, ada diskon untuk Grand Opening bar kali ini. Semua harga akan mendapatkan diskon selama dua hari ini saja. Jadi pastikan jangan sampai kehabisan kursi."
Di depan sana banyak orang berlalu lalang. Beberapa mendengar apa yang diucapkan oleh pria tadi dan beberapa membaca spanduk juga poster yang terpampang di depan bar. Karena ada tawaran diskon, beberapa pengunjung masuk.
"Silakan, mau pesan apa?" Kay menawarkan pada dua pelanggan yang duduk di depan meja bartender.
"Satu pilsner."
"Satu stout." Pengunjung lain menyebutkan bir jenis lain.
"Baik, silakan ditunggu dulu, Pak." Kay lantas mengambil gelas martini dan membuatkan satu pesanan pengunjung. Sedangkan satu pesanan lainnya diserahkan pada pekerjanya.
Tampak Kay menuang bir pada shaker lalu mengocoknya dengan menggoyang ke atas ke bawah juga ke samping dengan gerakan menarik dan eksotis selama seberapa waktu lalu menuang kembali ke gelas martini. Tak lupa dia menambahkan chery maraschino pada tepi gelas sebagai hiasan yang eksotis.
"Silakan, Pak." Kay menyajikan pilsner pada pengunjung.
Setelah dua pengunjung tadi datang beberapa pengunjung lainnya ikut berdatangan mengisi kursi-kursi kosong yang ada di sana. Tak hanya pengunjung pria yang masuk ke bar, beberapa ada pengunjung wanita juga yang datang ke sana.
Kursi yang tadinya kosong, sekarang ini penuh dan hanya menyisakan beberapa kursi saja. Tatapan Kay kemudian terkunci pada seorang wanita yang baru saja masuk dan duduk di depan meja bartender.
"Apa yang kamu pesan, Nona?"
"Aku pesan satu gelas mocktail." Kay menautkan sepasang alis gelapnya. Sungguh, baru ia jumpai gadis yang memesan minuman beralkohol seperti ini. Biasanya para gadis jarang memesan jenis minuman beralkohol. Bila para pria itu biasa mabuk, tapi bila wanita itu jarang dan hampir-hampir tidak pernah memesan jenis minuman tersebut.
"Nona, bagaimana bila kamu pesan bloody marry saja?" Kay menawarkan minuman yang terbuat dari jus tomat dicampur dengan kecap inggris, saus tabasco dengan hiasan batang seledri cantik, sebuah minuman non alkohol. Itu lebih cocok untuk gadis sepertinya. Sudah tugasnya pula merekomendasikan minuman yang tepat untuk pengunjung.
Gadis berambut panjang cokelat yang dikuncir ekor kuda itu menatap intens Kay, dengan tatapan kosongnya. Entah saat ini memang sedang ada masalah atau bagaimana, yang jelas ia ingin meredakan api yang masih berkobar di d**a dan masih terasa panas.
Larasati Greta Hiza, seorang dosen di salah satu kampus yang ada di Jakarta. Dia seorang dosen Kimia, punya kekasih yang juga bekerja di tempatnya bekerja. Mereka selokasi meski beda profesi. Dia punya teman dekat yang seprofesi dengan kekasihnya. Awalnya hubungan mereka bertiga baik-baik saja sampai beberapa jam yang lalu Greta mendapati fakta yang cukup mecengangkan. Kekasih dan sahabatnya itu berkhianat di depan matanya sendiri, menorehkan luka yang cukup dalam. Mereka berselingkuh dibelakangnya selama ini. Sakit! Itu yang dirasakan saat ini. Dan tak bisa dilukiskan seberapa perihnya sakit itu.
"Saat ini, aku sedang ingin minum itu. Buatkan saja aku minuman itu." Sebut saja gadis itu Greta. Dia berkeras dengan apa yang dipesannya dan tidak mengganti pesanan sesuai yang direkomendasikan oleh Kay.
"Kamu yakin, Nona?" Sejenak, Kay menatap mata bulat milik sang gadis yang tampak sendu.
"Yakin." Karena rekomendasinya diabaikan, maka Kay membuat mocktail untuk Greta.
Greta masih menatap Kay yang sedang meramu minuman yang dipesannya. Meski tatapannya tertuju pada pria itu namun pikirannya melambung pada kejadian beberapa jam yang lalu, sebuah kejadian yang mampu menjungkirbalikkan dunianya.
"Bila ada gundah hati, sebaiknya tak perlu dilampiaskan dengan minuman. Minuman tidak akan bisa membantumu menyelesaikan masalah," ceplos Kay tiba-tiba, membuyarkan lamunan Greta.
Entah, pria bermata lembut di hadapannya ini bisa membaca pikirannya atau memang kesedihannya yang tampak jelas, sampai berkata begitu padanya? Greta tak tahu!
"Apa yang kamu bilang ini, seolah kamu bisa membaca pikiranku saja. Sayangnya, yang kamu bilang itu salah." Tampak Greta mengulum senyum pahit. Jelas, dia tak mau kelihatan lemah di depan yang lain. Tak ingin orang lain ada yang tahu masalahnya.
"Apa kamu mau pesan bloody marry sebagai tambahan? Karena hari ini Grand Opening, maka aku akan memberikannya gratis padamu." Kay masih menawarkan kembali seolah tak ingin gadis di hadapannya itu menenggak minuman beralkohol meski kadarnya lebih kecil.
"Aku mau mocktail-ku, berikan itu bila sudah selesai."
"Tapi bloody marry ini tetap untukmu sebagai bonus." Kay menyodorkan mocktail juga bloody marry di meja Greta. Jangan lupakan tatapan lembutnya yang menusuk saat menyerahkan dua gelas tersebut.
"Kamu baik hati sekali. Aku mau mocktail, tapi kamu memberiku bloody marry juga. Kamu terlalu rendah hati. Aku tidak tahu bagaimana cara membalasnya." Senyum terukir di ujung bibirnya menatap Kay.
"Bukan kamu saja yang mendapatkan bonus dariku, Nona. Yang lain juga dapat." Kay kemudian beralih menatap gelas martini yang ada di meja lalu mengambil lap, mengelap gelas kaca bening itu sampai mengkilap, menatanya di meja karena pesanan mulai bertambah.
Greta mulai menyesap sedikit moctail. Dia sebenarnya tidak pernah minum-minuman yang mengandung alkohol meski sedikit. Ini kali pertamanya bagi Greta menyentuh minuman seperti ini. Itu karena tak ada yang bisa diajak ngobrol. Kekasih dan teman dekatnya berselingkuh di depan mata. Dunianya seakan runtuh dan gelap. Dia butuh menenangkan pikiran. Mungkin saja mocktail bisa menghapus semua rasa sedih dan galaunya.
"Nona, bila kamu tidak kuat sebaiknya kamu ganti minum bloody marry saja," tukas Kay.
"Tenang saja, segelas minuman ini tak akan bisa membuatku tumbang. Daripada mengkhawatirkan diriku sebaiknya kamu segera menyelesaikan pesanan banyak pengunjung." Jangan lupakan senyum dengan sorot sendunya yang menatap Kay.
Kay hanya diam merespons. Kali ini memang tugas yang harus diselesaikannya banyak. Ia pun beralih membuatkan pesanan minum untuk pengunjung lainnya.
Di saat Kay pergi ke meja lain, seorang pengunjung pria datang, duduk di samping kursi kosong yang ada tepat di samping Greta.
"Nona, aku boleh duduk di sini?" Pria dengan rahang ditumbuhi bulu halus itu menatap genit Greta.
"Kursi di sini tak punya nama. Silakan saja kamu duduk kecuali kursi ini adalah milikku."
"Nona ... kamu sendirian di sini?" Greta lantas menatap pria itu memindai dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Apa maksudnya bertanya seperti itu padanya? Ini sungguh mengganggu sekali! Kenal juga tidak, tapi seolah sudah mengenalnya saja.
"Jika kamu mau minum, minum saja, Pak, jangan tanyakan hal lain padaku." Greta kemudian mengangkat sebelah alisnya lalu menatap kembali mocktail dalam genggaman tangannya.