Bab 4 - Negosiasi

1014 Kata
Sial! Kebetulan macam apa ini? Niken masih tidak habis pikir dengan dua nama Aslan yang kemungkinan besar orang yang sama. “Mumpung sudah bertemu, gimana kalau kita membicarakan rencana kerja sama kita?” tanya Henky pada Niken. Pria yang jika diperkirakan berusia empat puluhan itu melanjutkan, “Bicara empat mata hanya kita berdua karena saya pikir lebih baik berbicara langsung denganmu, tanpa melalui Galih.” “Silakan, silakan … kalian bicaralah,” kata Galih yang kemudian beralih pada adiknya. “Niken, tolong pertimbangkan baik-baik. Mas sangat bergantung padamu. Kamulah satu-satunya harapanku.” “Diam,” jawab Niken yang membuat Galih mundur. “Baiklah, selamat bicara.” Pria itu pamit undur diri sehingga kini di ruang tamu hanya ada Niken dan Henky. Entah ke mana Galih pergi yang pasti untuk sementara pria itu lebih baik berada di luar rumah. Sebetulnya Niken jelas akan menolak, tapi alangkah lebih baik ia menolaknya dengan cara yang baik meski rasanya ia ingin sekali mengusir Henky detik ini juga. “Pak Henky atau siapa pun Anda, silakan bicara. Enggak perlu berbasa-basi karena aku pun nggak akan menyuguhkan minuman untuk Anda,” kata Niken. “Tentang rencana kerja sama kita, kira-kira kapan kamu siap menemui klien saya?” Niken pura-pura tersenyum. Ini benar-benar konyol! “Pak, memangnya siapa yang bilang kalau aku bersedia? Aku baru aja mau bilang kalau aku nggak mau. Dalam kata lain, rencana atau apa pun kerja sama yang Anda dan Mas Galih sepakati secara otomatis batal.” “Kenapa? Bukankah kalian sedang butuh uang?” “Lebih tepatnya Mas Galih yang butuh, bukan aku.” “Tapi kamu adiknya.” “Sekalipun aku memang adiknya, tapi aku bukan perempuan seperti itu. Jadi tolong, mari akhiri pembicaraan ini karena semuanya udah jelas. Aku menolak.” “Kamu tidak bisa seenaknya begitu, Niken.” “Ini tubuhku dan aku yang paling berhak memutuskan bersedia atau nggak,” jawab Niken. “Setidaknya kalian masih beruntung karena aku tidak marah besar hingga membuat kekacauan. Untuk kali ini, aku mencoba memaklumi kekonyolan Anda dengan Mas Galih.” “Niken, coba dengar dulu penjelasan saya. Saya pikir kamu akan tertarik untuk bekerja sama setelah saya memberi tahu benefit yang akan kamu dapatkan jika bersedia tidur dengan Tuan Aslan.” “Untuk apa repot-repot menjelaskan padahal aku nggak berminat? Bukankah Anda hanya akan buang-buang waktu di sini?” tanya Niken baik-baik. “Semua utang kakakmu akan lunas. Bahkan, detik ini juga saya bisa langsung membereskan semua utang-utangnya dari pinjol dan para rentenir,” ucap Henky. “Semua utangnya akan lunas sampai ke akar-akarnya. Tentunya jika kamu bersedia menandatangani perjanjian kerja sama.” “Ya ampun, yang Anda tawarkan itu sangat kurang ajar dan merendahkan harga diriku. Pak, harga diriku bukan sebatas hanya seratus juta.” Niken masih bersikeras menolak. “Bagaimana kalau seratus lima puluh juta? Jarang-jarang loh saya memberi penawaran kenaikan harga seperti ini,” balas Henky. “Jangankan kenaikan harga, saya bahkan nggak akan repot-repot menangani kerja sama ini secara langsung jika yang dibicarakan bukan transaksi besar.” Henky tidak bohong. Jika nilai kerja sama ini tidak sampai ratusan juta, pria itu pasti lebih mengandalkan asistennya alih-alih menanganinya sendiri seperti ini. Jujur, ia agak terkejut karena respons Niken tidak seperti yang dibayangkannya. Padahal Henky pikir dirinya akan melakukan negosiasi yang mudah dengan wanita itu. “Seratus lima puluh juta? Aku tetap pada pendirianku. Aku menolak kerja sama gila ini,” tegas Niken. “Sebutkan saja berapa nominal yang kamu mau. Saya akan meneruskannya pada Tuan Aslan.” “Kenapa Anda masih belum paham juga? Aku menolak kerja sama ini,” jawab Niken. “Melihat Anda sampai begini, sepertinya Tuan Aslan memberimu fee yang besar. Sayang sekali Anda sepertinya gagal mendapatkan fee-nya, Pak.” “Saya tanya sekali lagi, kamu serius menolak kerja sama ini?” “Ya,” jawab Niken penuh keyakinan. “Kalau begitu, kalian harus mengembalikan uang muka yang sudah saya berikan.” “Kalian? Itu urusan Mas Galih. Bukan urusanku,” sanggah Niken yang bahkan tak mau repot-repot menanyakan jumlah DP yang pernah Galih terima dan harus dikembalikan. “Kita lihat saja. Saya ragu kamu akan begini sampai akhir. Setelah ini, cepat atau lambat saya yakin kamu akan memohon pada saya agar kerja sama ini dilanjutkan.” Niken tidak menjawab, hanya menunjukkan senyum palsunya. “Sayang sekali, padahal dengan kecantikan, berat dan tinggi badan yang ideal serta kulit putih mulus terawat sempurna seperti ini ... kamu pasti bisa menjadi primadona di tempat hiburan malam yang saya kelola. Hanya saja, kamu menyia-nyiakan potensi yang kamu miliki.” “Terima kasih pujiannya, tapi aku nggak akan mengubah keputusanku.” Tanpa menjawab, Henky yang terlihat kesal langsung beranjak dari tempat duduknya. Saat sudah mencapai pintu, pria itu kembali menoleh pada Niken dan berkata, “Entah apa yang membuatmu se-sombong ini, sementara kakakmu sedang sangat kesulitan. Dan sepertinya kamu harus tahu alasan kenapa Galih masih baik-baik aja hingga detik ini.” Niken tidak menjawab karena yakin Henky belum selesai bicara dan berniat melanjutkannya. “Itu karena saya berani menjamin pada banyak debt collector bahwa Galih sedang bekerja sama dengan saya, sehingga dia pasti bisa melunasi utangnya dalam waktu dekat,” jelas Henky. “Tapi karena ini batal … menurutmu bagaimana nasib Galih ke depannya? Kamu yakin nggak mengkhawatirkan kakakmu sendiri?” Niken masih tidak menjawab. Bahkan, saat Henky mulai kembali memutar tubuhnya meninggalkan tempat ini, Niken sedikit pun tidak merespons perkataan pria itu. Tak bisa dimungkiri, ucapan terakhir Henky membuatnya mulai berpikir apakah dirinya salah mengambil keputusan? Namun, Niken secepatnya menggeleng. Ia yakin inilah keputusan yang tepat. Berusaha tidak peduli, Niken kemudian ke kamarnya dan konyolnya nama Aslan terus memenuhi otaknya. Sungguh, Niken masih tidak habis pikir … Aslan itu sebenarnya siapa, sih? Kenapa mengejar Niken sampai se-begitunya? Sampai kemudian Niken teringat tentang paperbag kecil pemberian Aslan. Sejak tadi Niken memang belum melihat isinya. Mengeluarkan paperbag dalam tasnya, Niken kemudian membuka untuk melihat isinya. Ternyata ada tiga buah kartu di dalamnya. Pertama black card, kedua kartu ucapan dan terakhir … kartu akses kamar hotel. Pada kartu ucapan itu tertulis…. “Datanglah ke griya tawang Sultania Hotel jika kamu berubah pikiran.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN