Niken memang memiliki uang di rekeningnya, tapi tidak banyak. Jangankan untuk membayar biaya perawatan Galih di rumah sakit, uang tersebut bahkan tidak akan cukup untuk mengganti ponsel bututnya dengan yang baru terlebih dengan keluaran terkini yang sedang tren.
Penghasilannya selama menjadi model pakaian sebetulnya hanya cukup untuk menghidupi dirinya sendiri, sedangkan sejauh ini pengeluaran Niken benar-benar tidak sebanding dengan yang didapatkannya karena harus menghidupi Galih yang tak berpenghasilan.
Belakangan ini Niken bahkan mencoba peruntungan baru dengan mengikuti audisi-audisi untuk pemeran figuran di film maupun drama series, hanya saja kebetuntungan seolah belum mau berpihak padanya.
Sampai kemudian Niken hanya bisa bekerja paruh waktu di kafe-kafe dan restoran cepat saji untuk menambah penghasilan yang sialnya masih belum cukup juga.
“Niken.”
Niken yang sedang duduk di kursi tunggu langsung mendongak saat suara seorang pria memanggil namanya. Suara itu terdengar tidak asing. Rupanya itu suara milik Henky.
Seharusnya Niken tak heran pria itu ada di sini, tapi tetap saja ia terkejut dengan kedatangan Henky yang tiba-tiba.
“Kita bertemu lagi,” tambah Henky. Pria itu kemudian mengambil posisi duduk di samping Niken.
“Niken, inilah yang saya takutkan. Saya sudah memperingatkanmu sebelumnya, kan?”
Niken masih tidak menjawab.
“Kondisi Galih sangat parah. Dia bukan hanya babak belur, tapi organ-organ dalamnya ikut terluka parah. Kondisinya sudah memprihatinkan saat masyarakat setempat menolongnya dan membawa ke sini. Butuh waktu dan biaya yang nggak sedikit untuk memulihkan kondisinya.”
Henky kembali berbicara, “Jika saja kamu bersedia mengambil jalan pintas yang Galih siapkan, dia pasti nggak akan terbaring lemah di ranjang pasien seperti sekarang.”
“Jadi, Anda berpikir itu salahku, Pak?” Akhirnya Niken mulai berbicara.
“Saya nggak mengatakan ini salahmu. Saya hanya sedang berandai-andai.”
“Sama aja. Memang apa bedanya?” kata Niken.
“Sekarang bagaimana, Niken?”
“Bagaimana apanya?” Niken balik bertanya.
“Bukankah di saat-saat begini sudah waktunya kamu berhenti menyombongkan diri? Menyerahlah demi semuanya.”
“Bahkan aku diam saja, tapi disebut sombong.”
“Haruskah saya memberi tahu Tuan Aslan kalau malam ini kamu akan datang?”
Niken menggeleng. “Enggak perlu repot-repot.”
“Lalu kamu mau membayar tagian rumah sakit sekaligus utang-utang kakakmu dengan daun?” kesal Henky.
“Bukan urusan Anda, Pak.”
“Sayangnya ini sudah menjadi urusan saya,” kata Henky. “Saya berhasil bernegosiasi dengan para penagih utang yang menganiaya Galih.”
Niken tidak habis pikir. “Kenapa Anda ikut campur sampai sejauh ini, Pak? Aku yakin Anda mendengar dengan jelas kalau aku sedikit pun nggak berminat untuk bekerja sama. Jadi bisa dikatakan apa yang Anda lakukan adalah sesuatu yang sia-sia.”
“Kalau saya nggak melakukan itu, Galih pasti sudah kehilangan nyawanya. Saya berhasil membuat mereka berhenti menganiaya Galih dengan cara menawarkan diri untuk melunasi utang-utang sehingga Galih berutangnya pada saya, sedangkan pada mereka semua lunas.”
Niken terdiam.
“Galih yang saat itu masih sadar, jelas menyetujui hal ini,” tambah Henky.
“Tapi….”
“Niken, kamu pikir dengan babak belurnya Galih yang mengharuskannya terbaring di rumah sakit serta-merta membuat masalah utang piutang selesai? Sama sekali nggak. Bahkan seandainya Galih meninggal, utangnya nggak otomatis menjadi lunas. Artinya apa? Kamu akan mewarisi utangnya dan akan dikejar-kejar oleh mereka menggantikan kakaknya. Terdengar kurang adil memang karena kamu nggak salah apa-apa, tapi inilah kehidupan. Mereka bisa melakukan hal-hal buruk padamu. Apalagi kamu perempuan.”
Niken mengembuskan napas frustrasi.
“Mari buat semua menjadi sederhana. Kamu hanya perlu melayani Tuan Aslan satu kali saja dan setelah itu semua beres.”
“Bagaimana kalau aku bersikeras menolak, Pak?”
“Kalau begitu kamu bukan hanya perlu mengembalikan uang muka yang sudah saya berikan pada Galih, melainkan harus mengganti uang yang sudah saya keluarkan untuk melunasi utang-utang Galih pada para penganiaya juga,” jawab Henky. “Saya beri waktu kamu seminggu.”
“Apa? Seminggu?”
“Jika dalam seminggu kamu gagal membayar semuanya pada saya, secara otomatis kamu dianggap bersedia melayani Tuan Aslan.”
“Aku akan melunasinya tanpa harus kita bekerja sama,” tegas Niken.
“Luar biasa. Betapa kamu masih terlampau percaya diri. Tapi nggak apa-apa, saya tunggu pembayaranmu secara penuh.”
***
Kamila tentu saja terkejut dengan kedatangan Niken ke rumahnya terlebih pada malam hari seperti ini. Padahal tadi sore mereka sempat bicara lewat telepon dan Kamila meminta Niken datang hari Rabu. Itu pun ke kantor, bukan ke rumah pribadinya.
“Saya hampir mengira kalau sekarang hari Rabu, Nik,” kata Kamila yang duduk berseberangan dengan Niken di sofa ruang tamu.
“Maaf aku datang tanpa pemberitahuan, Mbak.”
“Ada apa, Niken? Melihatmu datang dengan ekspresi dan penampilan seperti itu, saya yakin ada sesuatu.” Kamila tahu betul Niken itu hampir selalu berpenampilan rapi
Niken juga tak jarang menyulap baju-baju dengan harga standar menjadi terlihat mahal jika Niken yang mengenakan. Masalahnya adalah … Niken agak berantakan sekarang. Pasti ada masalah.
“Kakakku kecelakaan, Mbak. Mas Galih.” Niken kemudian menceritakan duduk permasalahannya secara detail.
“Jadi, kamu butuh uang untuk membayar utang-utang Galih sekaligus biaya perawatannya di rumah sakit?”
“Biaya operasinya juga,” balas Niken. “Aku tahu jumlahnya sangat nggak masuk akal, tapi aku nggak tahu harus meminta tolong siapa lagi kalau bukan pada Mbak Kamila.”
“Niken, saya turut prihatin dengan musibah yang menimpa kakakmu. Saya paham perasaanmu bagaimana tapi maaf, saya rasa jumlah yang ingin kamu pinjam itu terlalu banyak. Andai jumlahnya masih terjangkau, saya pasti bisa menyanggupi.”
“Sejak awal aku tahu jumlahnya memang nggak masuk akal, tapi aku tetap mencobanya,” jawab Niken. “Mbak, aku nggak maksa, kok. Aku ke sini lebih tepatnya ingin ada teman bicara. Aku nggak tahu harus ke mana lagi. Itu sebabnya aku sangat berterima kasih karena Mbak mau mendengarkanku.”
Faktanya Niken memang tak punya teman bicara lain. Ia memang sudah tahu kalau Kamila kemungkinan kecil bersedia meminjamkan uang sebanyak itu.
“Sekali lagi maaf ya, Niken. Saya nggak bisa meminjamkan kamu uang sebanyak itu baik untuk pengobatan maupun utang-utang Galih,” sesal Kamila. “Sebagai gantinya, saya hanya bisa memberi sedikit,” sambungnya seraya mentransfer sejumlah uang pada Niken.
“Itu ngasih ya, saya bukan meminjamkannya,” sambung Kamila.
“Terima kasih, Mbak. Terima kasih banyak,” ucap Niken penuh syukur.
“Andai waktu itu kamu lolos audisi, mungkin kamu bakal kebanjiran job dan menjadi tekenal karena series-nya booming. Kamu nggak akan kesulitan uang seperti ini.”
“Bukan rezekiku, Mbak. Tapi aku nggak kapok. Kapan-kapan aku bisa ikutan kalau audisi menarik lagi.”
Niken sebenarnya berbakat. Waktu itu ia hampir lolos menjadi second lead couple, sayangnya gagal hanya karena kesalahan kecil.
“Mungkin udah waktunya kamu bergabung dengan agensi, Nik. Peluang untuk mendapatkan peran pasti lebih besar. Katanya pengen terjun ke dunia akting beneran, gimana sih?”
“Sayangnya nggak ada agensi yang tertarik sama aku,” kekeh Niken. “Mana ada yang tertarik kalau aku terjun ke dunia hiburannya cuma setengah-setangah?”
“Jangan setengah-setengah makanya. Kalau kamu terkenal, pasti akan ber-impact sama Lalala.” Kamila tertawa.
Niken juga
“Dan jangan lupa, kamu harus perbanyak wawasan tentang orang-orang di dunia keartisan. Jangan sampai kesalahan kecilmu waktu itu terulang lagi. Padahal kamu hampir dapat peran, sayangnya kamu malah nggak kenal sama pemeran utama wanita, yang membuatnya marah dan mendepakmu dari project.” Kamila mengingatkan.
“Aku udah mulai nonton gosip dan menghafal nama artis-artis,” canda Niken.
Dari luar, Niken memang terlihat ceria dan masih bisa bercanda. Namun, sebenarnya ia sedang sangat frustrasi.
“Tapi tunggu Niken, ngomong-ngomong soal kakakmu … terusnya gimana? Jumlah uang yang diperlukan itu nggak main-main.”
Niken terdiam selama beberapa saat, sampai kemudian wanita itu berbicara, “Aku akan mencari jalan pintas.”
Lebih tepatnya Niken sudah menemukan jalan pintasnya, yaitu melemparkan dirinya ke ranjang milik pria bernama Aslan.