Satu
Indira, tahun ini berusia dua puluh enam. Dia adalah anak kedua dari empat bersaudara. Semua saudaranya berjenis kelamin laki-laki. Kakaknya bernama Indra, sudah menikah dan tinggal bersama istrinya di luar kota. Sementara dia tinggal bersama dua adiknya dan satu-satunya orang tua yaitu ayahnya yang sudah sering sakit-sakitan.
Ibunya meninggal tujuh tahun lalu, setelah melahirkan anak terakhirnya. Hingga Indira yang tengah kuliah itu terpaksa berhenti kuliah demi bisa bekerja membantu perekonomian keluarga. Kakaknya yang sudah menikah tak bisa diandalkan. Hanya sesekali mengirim uang. Adiknya yang nomor dua masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Wajah Indira berbentuk oval dengan dagu yang runcing, matanya bulat sempurna, rambutnya lurus sepunggung. Kulitnya putih dengan bibir alami yang kemerahan, ketika dia berjalan seolah menarik perhatian para pria yang melihatnya. Dia memiliki semua hal yang diirikan oleh para wanita.
Bentuk tubuhnya sangat indah dan proposional, dadanya yang menonjol juga b****g padat yang bulat. Dia saat ini bekerja sebagai admin di salah satu ruko yang menawarkan pembuatan kartu kredit. Ijazah SMAnya tak bisa membuatnya bekerja di perusahaan lain.
Beberapa perusahaan pernah menerimanya, namun dia tak nyaman, tatapan para pria penggoda yang terang-terangan membuatnya risih, dia sering menjadi objek seksual dalam pandangan orang-orang itu yang terkadang melecehkan dengan kata-katanya.
Termasuk bekerja sebagai kasir yang bertemu dengan banyak customer yang membuatnya risih karena mereka berbelanja hanya untuk menggodanya. Dalam hal pekerjaan dia hampir tak pernah beruntung. Hanya di perusahaan ini yang semua karyawannya perempuan yang membuatnya nyaman meski gajinya kecil.
Indira sudah memiliki kekasih, usianya lima tahun di atasnya, dia pria baik dalam benak Indira. Hanya saja kekurangannya dia pelit dalam masalah uang. Namun, tidak untuk makan atau jalan. Terkadang Indira mengeluh perihal keuangan, namun lelaki itu tak pernah membantunya. Hanya terdiam, padahal dia menyatakan komitmen untuk menseriusi Indira.
Indira akui dia sudah tidak gadis lagi, keperawanannya terenggut ketika dia kuliah. Dengan iming-iming pacarnya yang berkata tak akan meninggalkannya, yang mencintainya mati-matian dia melepaskannya, setelahnya hubungannya justru memburuk.
Bahkan dia bukanlah gadis yang polos dan lugu, hanya saja dia tak pernah mengkomersilkannya dan hanya berhubungan dengan kekasihnya saja. Farhan, adalah kekasih ketiganya selama ini, yang tentu saja juga pernah mencicipinya. Karena mereka sudah menjalin hubungan lebih dari dua tahun lamanya. Karena mereka menjalani long distance relationship atau hubungan jarak jauh yang membuat mereka jarang bertemu, sebulan sekali pun belum tentu.
Kini Indira, membawa dua adiknya ke sebuah pusat perbelanjaan. Dia baru saja gajian dan mendapat bonus karena berhasil menawarkan beberapa kartu kredit pada pelanggan. Terkadang selain bekerja admin, dia pun menjadi telemarketing kartu yang memberinya tambahan keuangan tidak hanya dari gajinya yang tidak seberapa itu.
Kedua adiknya menikmati makan siang dengan ayam goreng tepung, juga minuman bersoda yang dibelikan Indira.
“Enak?” tanya Indira. Adiknya yang kecil bernama Irvan, kini duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Sementara adiknya yang pertama bernama Izan yang sekolah di kelas tiga SMP. Berbeda dengan Irvan yang tampak ceria. Izan beberapa kali terlihat gusar.
“Enak banget, Kak. Makasih yaa,” ucap Irvan. Indira menyeka sudut bibirnya yang terkena saus, kasihan Irvan, sejak baru dilahirkan dia tak dapat merasakan kasih sayang ibunya.
“Izan kenapa?” tanya Indira. Izan menggeleng.
“Ngomong aja Zan enggak apa-apa,” ucap Indira. Izan hanya menunduk, meletakkan paha ayam goreng di piringnya. Matanya bergantian menatap piring itu dan tangannya yang dipangku. Dia sungguh tak tahu harus bicara dari mana?
“Zan,” panggil Indira.
“Kak Indi punya uang?” tanya Izan.
“Ada, kenapa?” tanya Indira seraya tersenyum, adiknya ini tak pernah neko-neko. Padahal dia sudah remaja, namun dia tak pernah minta macam-macam. Ponsel saja dia memakai ponsel bekas kakak pertamanya.
“Izan ada perpisahan sekolah ke Jogja Kak, dan untuk biaya ujian sekolah.”
“Ah iya kakak lupa,” tutur Indira, dia memaksakan senyumnya meski tampak sangat berat. Dia membutuhkan uang cukup banyak. Dia tak tahu ternyata waktu berlalu sangat cepat, sedangkan tabunganya belum terkumpul meski hanya seperempat. Dia harus menanggung semua biayanya. Ayahnya sakit sehingga tidak bisa bekerja.
Indira terpikirkan untuk meminjam pada Farhan, pria itu memiliki tabungan untuk pernikahan mereka katanya.
“Nanti kakak bayar ya,” ucap Indira mengusap kepala adiknya, berusaha menenangkan, “makan lagi,” imbuhnya.
Dia tak menyadari seorang pria cukup matang berada di coffe shop yang bergaya klasik di mall itu, memandangnya lekat dengan bibir tersenyum tipis. Seperti menemukan apa yang dicarinya.
Sementara kedua adiknya makan, Indira memutuskan ke toilet, dia akan menelepon kekasihnya untuk meminjam uang karena lusa adalah hari terakhir pembayaran biaya perpisahan adiknya itu.
Beberapa kali dering, panggilannya pun diterima oleh Farhan.
“A, lagi apa?” tanya Indira. Syukurlah toilet ini cukup sepi hingga hanya ada dia sendiri. Hingga datang seorang wanita masuk ke bilik yang kosong.
“Aa lagi kerja, kenapa?” tanya Farhan.
“A, boleh aku pinjam uang tabungan nikah kita. Izan butuh untuk perpisahan. Gajian bulan depan aku ganti,” ucap Indira.
“Enggak bisa, semua sudah diatur Ndi, coba cari pinjaman ke yang lain,” ucap Farhan.
“Tapi A, masa pinjam sedikit saja enggak bisa sih? Janji diganti,” ucap Indira menggigit kukunya.
“Enggak bisa, uang yang sudah masuk enggak bisa dikeluarin. Kalau enggak gitu kapan akan terkumpulnya?” ucap Farhan tegas.
“Ya sudah,” ucap Indira sedih, “Aa jangan lupa makan ya.”
“Hmmm iya, bye.”
Panggilan pun ditutup, Indira merasa sangat bingung. Dia memandang wajahnya di cermin. Apa yang harus dia lakukan? Dia tak bisa mengemis pada Farhan, dia takut Farhan meninggalkannya sementara dia sangat mencintainya.
Dia mencoba menghubungi temannya, namun di saat terpuruk, apakah ada yang membantunya? Jawabannya tentu tidak, mereka semua mengeluhkan kondisi masing-masing. Cukup lama Indira termenung hingga dia menyadari adiknya mungkin khawatir karena dia yang terlalu lama.
Dia keluar dari toilet, melihat seorang pria tampan memakai kaos santai dengan celana panjang warna chino. Jam tangan mewah dan sepatunya yang juga tampak berkelas menunjang penampilannya. Dia bersandar di dinding seraya memegang kertas di tangan. Indira membungkuk hormat melewatinya.
“Tunggu,” sapa pria yang memiliki rahang kokoh itu.
“Ya?” tanya Indira.
“Ini, silakan dibaca,” ucapnya, kemudian meninggalkan Indira setelah memberikan kertas itu. Indira mengernyitkan kening. Membuka kertas kecil yang ternyata dalamnya berisi kartu nama.
“Dokter Efrain Prasaja Rasjad,” ejanya seperti menggumam. Dia melihat kertas tertulis tangan.
“Saya tertarik dengan kamu. Jika boleh saya ingin mengenal kamu, tolong kirim pesan ke nomor ini,” tulisnya.
Indira memasukkan kertas itu ke saku celana jeansnya. Apakah ini jawaban dari keresahannya? Dia melewati coffe shop itu dan melihat pria itu tersenyum tipis ke arahnya, lalu kembali berbicara dengan pria di hadapannya.
Indira menarik napas panjang dan masuk ke restoran cepat saji. Kedua adiknya telah selesai makan. Dia pun mengajak mereka pulang. Tadinya dia ingin sedikit membelikan mereka mainan atau baju, namun mengingat dia pun butuh uang untuk Izan, membuatnya urung.
Di rumah, Indira memutar kartu nama itu, rumahnya bahkan tak bisa disebut bagus. Atapnya terbuat dari asbes yang usang. Dinding yang beberapa bagian retak. Kamarnya sangat kecil, namun cukup nyaman. Dia memang menyukai kebersihan.
Hari sudah malam, dia tak tahu harus apa dengan kartu nama ini? Apakah dia bisa mempercayai pria ini?
Dia pun memutuskan mengirim pesan pada nomor itu. Dokter sudah pasti kaya kan? Pikirnya. Tidak ada salahnya berteman. Barang kali dia bisa sekedar meminjam uang nanti.
“Hai, ini Indira. Ada apa ya?” tanya Indira. Tak berapa lama Efrain terlihat mengetik.
“Hai salam kenal, apa besok ada waktu luang. Saya ingin bicara secara langsung,” tulis Efrain.
“Ya boleh, saya libur kok.”
“Apa suami kamu enggak keberatan kamu keluar di hari libur?”
“Saya belum menikah.”
“Bagus. Kita bertemu di coffe shop yang tadi kamu lihat ya, pukul satu siang.”
“Ya,” balas Indira. Entahlah apa kah ini benar? Namun dia sangat terdesak.
***
Keesokan harinya, Indira memakai pakaian yang menurutnya pakaian terbaik. Rok panjang warna putih dengan cardigan rajut berwarna pink. Dia terlihat manis, memakai flat shoes dan tas kecil yang menggantung di bahunya.
Efrain sudah menunggunya di coffe shop itu, Indira tersenyum tak enak dan menghampirinya. Efrain memintanya duduk.
“Kamu sudah makan siang?” tanya Efrain.
“Belum,” jawab Indira. Bahkan sejak semalam dia tak bisa makan sama sekali. Perutnya seolah menolak.
“Pesan saja ya,” ucap Efrain yang kemudian mengangkat tangan untuk memanggil waitress. Indira memesan menu nasi goreng yang memang tersedia di tempat ini.
“Kamu kerja di mana?” tanya Efrain.
“Di kantor kartu kredit, pak Efrain mau buat kartu kredit enggak? Biar saya daftarkan,” ucap Indira menawarkan lumayan bonusnya, pikirnya. Efrain hanya tersenyum geli dan menggeleng.
“Saya sudah punya,” tukasnya, “usia kamu berapa sih?”
“Dua puluh enam,” ucap Indira.
“Hmm memang pantas panggil saya Bapak sih, tapi jadi canggung. Panggil Mas saja. Mas Rain,” ucap Efrain.
“Mas Rain, oh oke.”
“Kemarin bukan anak kamu?” tanya Efrain.
“Bukan, mereka adik-adik saya,” jawab Indira.
“Punya pacar? Calon suami?”
“Ada.”
“Enggak masalah sih sebenarnya,” jawab Efrain.
“Sebenarnya ada apa?” tanya Indira.
“Makan dulu,” ucap Efrain memberi kode karena waitress sudah datang menyajikan jus jeruk dan nasi goreng untuk Indira.
Setelah Indira makan setengah porsi, perutnya terasa penuh. Dia meneguk jus jeruknya.
“Saya sudah bisa bicara?” tanya Efrain. Tempat ini memang cukup ekslusive karena harga menunya yang bisa dibilang mahal, karena itu tak terlalu ramai.
“Boleh,” ucap Indira menyeka sudut bibir dengan tissue.
“Saya mencari wanita yang bisa menemani dan menghibur saya. Paling cepat satu tahun, tapi terserah kesepakatan sih. Tidak ada kontrak juga. Saya akan memberi uang jajan tiga puluh juta sebulan. Di luar bonus lain, kita tidak perlu bertemu setiap hari, seminggu sekali mungkin. Jika saya meminta ditemani ke luar kota saya akan memberi uang lebih.”
Lama Indira terdiam mencerna ucapan Efrain. Seandainya dia orang kaya, mungkin dia akan melempar jus ini. Namun, dia juga tahu dia membutuhkannya. Menemani?
“Termasuk tidur bersama?” tanya Indira. Efrain mengangguk dan tersenyum tipis. Dilirik pakaian dan tas yang dikenakan Indira. Dalam sekali lihat pun dia sudah bisa menilai harganya. Tatapan matanya kemarin yang menyiratkan dia butuh uang. Efrain bisa menilai seorang dalam sekali lihat. Itu adalah kelebihannya. Karenanya selain menjadi dokter dia pun memiliki bisnis lainnya termasuk bisnis pembiayaan.
Indira kembali berpikir, dia sudah bukan gadis. Dia juga beberapa kali tidur bersama kekasih-kekasihnya namun dia tak pernah mendapatkan uang. Begitu pula dengan kepuasan. Dia bahkan sering tak tahu apakah yang dia lakukan untuk kenikmatan? Karena dia sering tak mendapatkannya.
“Apa saya bisa mendapatkan uangnya di awal?” tanya Indira.
“Kamu sangat butuh uang sekarang?” tanya Efrain. Indira mengangguk, peduli setan dengan yang terjadi nanti. Termasuk melanggar norma atau apa pun. Semua hal butuh uang sekarang! Semalam suntuk dia mencari uang namun tak sepeserpun dia dapatkan seolah memang dewi keberuntungan tak berpihak padanya saat ini.
“Bagaimana jika saya kirim sepertiganya, sisanya hari kamis ini, kamu libur kan? Ada long weekend minggu ini. Ikut saya ke Bali, saya akan memberikan sisanya di bandara.
“Boleh,” ucap Indira tetap berusaha tidak terlalu senang mendapatkan uang yang bahkan lebih dari cukup untuk biaya adiknya. Dia pun mengirim nomor rekeningnya yang dengan cepat terisi uang dari Efrain.
“Saya ada keperluan mendadak ke rumah sakit, jadi saya tinggal ya, sampai bertemu hari Kamis, di sini ya.Nanti kita berangkat bersama ke Bandara,” tutur Efrain. Indira mengangguk, apakah dia sudah gila? Ya dia butuh hal gila untuk tetap hidup!
***