9. Peri Pengubah Kehidupan

1024 Kata
"Sepi banget," gumam Yuta kebingungan saat tidak menemukan siapa-siapa di kediaman Lauritz. Sama seperti kemarin, lagi-lagi Yuta bangun cukup siang dan Lauritz sudah tidak ada di kamar. Namun, saat keluar kamar, Yuta masih bisa melihat beberapa pelayan tengah bercanda dengan Dani di meja makan kemarin, sementara hari ini tidak. "Non sudah mau sarapan?" Seorang wanita paruh baya menyambut Yuta saat dia menuruni tangga. "Biar Simbok siapkan ya." "Ibu siapa?" tanya Yuta bingung. Selama beberapa hari tinggal di kediaman Lauritz, Yuta belum pernah bertemu dengan wanita ini. Menilik penampilannya, pakaian yang digunakan berbeda dengan para pelayan. "Panggil 'simbok' saja, Non, seperti yang lain," ujar wanita itu ramah. Suaranya terdengar lembut dan menenangkan. "Simbok siapa?" tanya Yuta penasaran. "Saya baru pernah lihat." "Kenalkan, Non. Nama Simbok, Sasmi." Wanita itu sedikit membungkuk untuk menunjukkan rasa hormatnya. "Simbok baru balik dari kampung. Jadi, baru ketemu sama Non Yuta." "Mas Lauritz ke mana, Mbok?" "Meneer mendadak harus ke Belanda, Non." Kening Yuta langsung berkerut. "Belanda?" Sasmi mengangguk, lalu menambahkan, "Jenguk papanya. Meneer Ramone masuk rumah sakit semalam." "Mbok, 'meneer' itu apa?" tanya Yuta polos. Dia baru pernah mendengar Lauritz dipanggil demikian karena semua orang lain di rumah ini menyebutnya 'mas'. Pertanyaan Yuta membuat senyum Sasmi langsung mengembang. "Meneer itu seperti tuan atau bapak dalam bahasa Belanda, Nona." Yuta manggut-manggut perlahan. "Apa Mas Lauritz itu orang Belanda?" Sasmi mengangguk membenarkan. "Meneer Lauritz keturunan Belanda, Non. Ayahnya, Meneer Ramone, orang Belanda. Mendiang ibunya, Mevrouw Danastri, orang Indonesia." Sasmi sudah mengabdi pada Keluarga Meijer sejak dia masih kecil. Sasmi mengikuti jejak ibu dan neneknya yang juga bekerja untuk Keluarga Meijer sejak zaman pendudukan Belanda di Indonesia. Jadi, Sasmi sangat mengenal seluk-beluk dan silsilah Keluarga Meijer. Sasmi juga mengenal Lauritz dengan sangat baik. Dia yang mengasuh Lauritz sejak pria itu lahir 27 tahun yang lalu. Itulah sebabnya Sasmi terbiasa menggunakan sapaan lama yang sudah tidak digunakan lagi oleh orang lain yang bekerja untuk Lauritz. "Pantas kelakuannya macam penjajah," gumam Yuta sepelan mungkin. Akhirnya, Yuta tahu sedikit mengenai asal usul Lauritz. Maklum saja, meski Lauritz eksis malang melintang di dunia hiburan Indonesia, Yuta bukan salah satu penggemarnya. Jadi, gadis itu tidak pernah penasaran mencari tahu soal latar belakang keluarganya. Yuta hanya tahu jika Lauritz adalah salah satu aktor muda berdarah campuran yang sedang naik daun. "Meneer orangnya baik kok, Non," ujar Sasmi membela majikannya. Wajah Yuta langsung terlihat serba salah. Ternyata gerutuan kecilnya terdengar oleh Sasmi. Cepat-cepat dia menanyakan hal lain untuk mengalihkan pembicaraan. "Tadi kata Simbok papanya Mas Lauritz ada di Belanda. Apa papanya memang tinggal di sana?" "Benar, Non." "Jadi, Mas Lau sendiri aja di sini?" Lama-lama lidah Yuta capek juga menyebut nama lengkap Lauritz. Lebih enak meminjam sapaan yang biasa Dani gunakan saja. "Iya, Non. Meneer Ramone memutuskan kembali ke Belanda waktu Meneer Lauritz lulus SMA." "Mas Lau enggak akur sama papanya?" "Hubungan mereka baik, Non." Wajah Sasmi mendadak berubah mendung. "Hanya saja Meneer Ramone tidak sanggup terus tinggal di sini sejak kepergian Mevrouw Danastri." "Ibunya Mas Lau meninggal kapan, Mbok?" "Waktu Meneer Lauritz masih umur 14 tahun, Non." "Udah lama juga ya." Seketika terbit rasa iba dalam hati Yuta untuk Lauritz. Membayangkan hidup pemuda itu ketika remaja pasti sangat kesepian. "Tadinya Meneer Ramone mau ajak Meneer Lauritz pindah juga ke Belanda, tapi Meneer Lauritz menolak." "Karena kariernya?" "Bukan, Non. Saat itu Meneer belum jadi artis." "Terus kenapa?" Sasmi tersenyum sedih ketika menjawab, "Meneer enggak mau jauh dari rumah masa kecil yang penuh sama kenangan ibunya." "Mas Lau punya kakak atau adik, Mbok?" Entah mengapa Yuta jadi sangat penasaran dan bertanya panjang lebar soal Lauritz. Mungkin karena sikap Sasmi yang ramah. Tidak seperti orang-orang lain di kediaman ini yang sikapnya kaku semua. "Meneer anak tunggal, Non. Paling ada saudara sepupu saja." Soal saudara sepupu Yuta pun tahu. Mantannya yang pecundang itu salah satunya dan Yuta tidak tertarik untuk bertanya lebih lanjut. "Kalau pacar …?" Sasmi langsung menggeleng yakin. "Meneer belum pernah pacaran, Non." "Tapi pasti pernah jatuh cinta, 'kan?" Alih-alih mengangguk, Sasmi malah kembali menggeleng. "Simbok enggak terlalu yakin, tapi sepertinya juga belum, Non." Kening Yuta berkerut seraya gadis itu berpikir keras. Namun, belum sempat Yuta bertanya lagi, Sasmi keburu pamit. "Non, Simbok ke dapur dulu ya. Mau lihat masakan, takut gosong." Akhirnya, Yuta hanya bisa bergumam sendiri tanpa pendengar, "Terus aroma siapa yang dia cari-cari sampai kegilaan begitu?" Tentu tanya Yuta tidak terjawab dan penasarannya harus kembali diendapkan. Usai menghabiskan sarapan, Yuta memilih kembali ke kamar yang diperuntukkan baginya, bukan milik Lauritz tempat dia harus tidur setiap malam. Berhubung tidak ada hal yang dapat dilakukan, Yuta hanya bisa bermalas-malasan. Menonton televisi, melihat media sosial, membaca berita, sampai dia mengantuk dan akhirnya malah tertidur. Sebenarnya, Yuta sempat berencana untuk menemui agensinya. Namun, kemarin Lauritz sudah berpesan jika urusan Yuta dengan agensi lamanya telah selesai. Mulai saat ini, Lauritz yang akan mengurus semua pekerjaan untuk Yuta. Dia juga memasukkan Yuta ke BEYOND, manajemen yang sama dengannya. Lauritz berpesan agar Yuta menunggu baik-baik di rumah sementara dia mempersiapkan jalan bagi gadis itu dan menanti arahan selanjutnya. Menjelang siang, Yuta terbangun akibat suara lengkingan yang begitu dekat di telinganya. Menyusul tubuhnya diguncang-guncang hebat. "Hei, bangun!" teriak Dani frustrasi. "Astaga ini cewek kerjaannya tidur mulu! Pagi tidur, siang tidur! Kayak kucing hamil aja dia." Yuta terpaksa membuka mata dan bertanya dengan kepala pening, "Ada apa sih?" "Akhirnya bangun juga lo!” jerit Dani sembari menandak liar di atas tempat tidur. “Udah pegel tangan gue toel-toel lo dari tadi, sampai mau putus ini kuku." Yuta mengerjap kebingungan. "Kamu mau apa di sini?" "Kalo enggak boleh ada di sini, harusnya gue ada di mana?" balas Dani dengan nada menantang. Tidak lupa dia segera duduk di sisi Yuta, pegal sudah kakinya berdiri sejak tadi. "Kirain ikut Mas Lau ke Belanda," jawab Yuta heran. "Mas Lau enggak pernah bawa siapa-siapa kalau ke sana." "Jadi, sementara Mas Lau enggak ada, kita bebas tugas?" tanya Yuta senang. Lauritz tidak ada, berarti dia bebas tidur sendiri. "Enak aja bebas tugas! Enggak ada yang namanya santai-santai!" desis Dani galak. "Kalau gitu aku harus ngapain?" "Ikuti semua perintah gue." "Hm?" Yuta menatap Dani kebingungan. "Gue ditugaskan khusus sama Mas Lau buat jadi peri yang mengubah kehidupan lo mulai hari ini," ujar Dani jumawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN