8. Kontrak Teman Tidur

1234 Kata
Ucapan Fadi yang terdengar begitu meyakinkan membuat Yuta goyah. Gadis polos itu dengan mudahnya percaya saja pada semua janji Fadi. Akhirnya, hanya satu bulan sejak ide itu dilontarkan, Yuta sudah bersedia mengikuti Fadi merantau ke Jakarta. Awalnya memang semua tampak indah dan berjalan lancar. Fadi membantu Yuta mendapatkan pekerjaan dan mencarikan tempat kos untuk gadis itu. Bahkan Fadi bersedia menanggung separuh biaya kos Yuta. Sayangnya semua keindahan itu hanya bertahan selama satu bulan. Memasuki bulan kedua semuanya mulai berubah. Perubahan itu berawal dari penolakan Yuta atas permintaan Fadi untuk mempererat hubungan mereka dengan menyatukan jiwa raga. Sekeras apa pun Fadi membujuk, Yuta tidak pernah goyah. Hal itu membuat Fadi marah. Dia merasa telah sia-sia membuang banyak uang dan tenaga demi membantu Yuta, tetapi tidak ada bayaran setimpal yang bisa diperoleh. Akhirnya, Fadi mulai berlaku dingin terhadap Yuta. Tidak ada lagi tutur kata lembut penuh pujian, yang tersisa hanya ancaman dan hinaan. Tidak sampai di situ, Fadi sengaja menyuruh Yuta bekerja bagai kuda dan memeras penghasilannya untuk membayar uang yang pernah dia pinjamkan demi biaya pengobatan. Tidak jarang pula Fadi meminta Yuta menemani pria-p****************g untuk berkaraoke dan mabuk-mabukan. Jika Yuta menolak, Fadi mengancam akan mendatangi orang tua gadis itu dan menagih langsung utangnya kepada mereka Satu hal lagi yang membuat Yuta kecewa. Dia baru tahu jika Fadi adalah seorang pemakai, pemabuk, sekaligus gemar berjudi. Penghasilan yang didapat dari bekerja sebagai model selalu habis tak bersisa, bahkan sampai harus berutang. Yuta benar-benar merasa telah tertipu. Janji Fadi untuk selalu menjaga dan membantunya ternyata semu. Sepanjang malam itu Yuta terus terjaga. Pikiran dan perasaannya demikian kalut. Segala kemarahan, penyesalan, dan kebencian bercampur aduk dan membuatnya sesak. Menjelang pagi dia baru bisa memejamkan mata. Di sisi lain, Lauritz tertidur begitu lelap. Dia bisa mendapatkan lagi tidur nyenyak yang begitu didambakannya. Pagi harinya, Lauritz terbangun dengan perasaan ringan, bahagia karena bisa bermimpi indah tanpa gangguan sama sekali. Ketika melihat Yuta masih terlelap, Lauritz segera teringat bagaimana gadis itu terus menangis semalam. Dia memutuskan untuk bangun tanpa mengganggu Yuta dan berpesan kepada Dani untuk tidak mengganggu gadis itu sampai akhirnya bangun sendiri. Yuta terbangun saat Lauritz sudah pergi bekerja. Seharian itu dia dibiarkan sendiri tanpa gangguan sama sekali. Malam harinya barulah Yuta kembali bertemu dengan Lauritz. Pemuda itu memanggilnya ke ruang kerja untuk berbicara serius. "Ini kontrak yang aku janjikan.” Lauritz membuka sebuah map berisi surat kontrak kerja yang akan mereka tanda tangani bersama. “Silakan kamu pelajari." Yuta mencoba membacanya, tetapi jujur saja dia hampir tidak paham semua isi yang tertera di sana. Bahasanya terlalu tinggi bagi Yuta yang masih bocah dan belum mengerti banyak hal. Maklum, usinya saja belum genap 20 tahun. Masih beberapa bulan lagi sampai dia berulang tahun. Akhirnya, Yuta memutuskan bertanya saja, "Berapa lama aku harus jadi teman tidur kamu?" "Sementara kita kontrak selama satu tahun dulu. Nanti akan kita evaluasi lagi setelah setengah tahun berjalan." "Tugas aku di sini benar-benar cuma menemani kamu tidur?" tanya Yuta masih sangsi. "Seperti yang tertulis di situ.” Lauritz mengangguk yakin. “Kamu hanya perlu jadi teman tidur, enggak perlu jadi kekasih, enggak perlu ada ikatan atau perasaan apa pun di antara kita." Di surat kontrak yang dibuat, Lauritz menjabarkan dengan tegas bahwa tidak boleh ada urusan percintaan di antara mereka karena hal itu hanya akan membuat urusan jadi rumit. "Berarti, dengan kata lain jam kerja aku cuma malam hari, 'kan?" ujar Yuta memastikan. Lauritz membenarkan dengan anggukan. "Tapi kamu harus selalu ikut kalau aku pergi ke mana aja. Pekerjaan aku sering mengharuskan aku ke luar kota, kadang luar negeri juga." “Apa enggak aneh kalau aku selalu ikut kamu ke mana-mana?” “Itu urusan gampang, di dunia aku semua bisa diatur,” sahut Lauritz angkuh. "Jadi, selain di waktu tidur, aku bebas mengerjakan yang lain?" "Kamu bisa baca poin ini.” Lauritz menunjuk poin yang menjelaskan soal perkara kebebasan Yuta untuk terus bekerja. “Di luar tugas kamu menemani aku tidur, kamu bebas memiliki kehidupan kamu sendiri. Cuma satu yang harus kamu ingat." Yuta menyimak dengan waswas ketika nada bicara Lauritz mendadak berubah serius. “Jangan pacaran selama kamu menjalani kontrak dengan aku,” ujar Lauritz tegas. “Kenapa?” Meski Yuta tidak berniat kembali berpacaran dalam waktu dekat, tetap saja dia merasa penasaran. “Pertama, lelaki mana yang rela pacarnya bekerja menemani lelaki lain tidur? Kedua, aku juga enggak suka berbagi tempat tidur dengan perempuan yang sering berada dalam pelukan lelaki lain.” Lauritz membeberkan fakta yang memang terdengar masuk akal. Oleh karena itu, Yuta diam saja dan tidak membantah sama sekali. “Itulah sebabnya aku minta kamu tinggal bersama aku,” ujar Lauritz lagi. “Agar selama kamu bekerja untuk aku, kamu bersih dan terhindar dari masalah.” Yuta mengangguk paham, kemudian mengambil kesimpulan. “Pekerjaan apa pun boleh aku lakukan, asal enggak pacaran?” “Betul sekali.” “Termasuk terus melanjutkan pekerjaan di bidang modeling?” tanya Yuta hati-hati. “Tentu. Kamu bisa melakukan pekerjaan kamu seperti biasa. Hanya tempat tinggal kamu yang pindah dan kamu punya tugas tambahan setiap malam.” Yuta kembali menyimak isi surat kontrak mereka, lalu matanya sedikit terbelalak ketika melihat sebuah nominal tertera di sana. Dari sekian banyak kalimat yang tertulis, hanya ini yang cukup bisa dia pahami. “Apa ini uang yang akan aku dapat setiap bulan?” “Selama kamu tidak melanggar aturan yang kita sepakati,” ujar Lauritz sambil mengangguk. Melihat keragu-raguan di wajah Yuta, hati-hati dia bertanya, “Nominalnya kurang sesuai?” Cepat-cepat Yuta menggeleng. “Apa enggak terlalu besar untuk pekerjaan seperti ini?” Mengingat Lauritz akan melunasi utang-utangnya saja Yuta sudah merasa bersyukur. Dia tidak terpikir masih akan menerima bayaran besar setiap bulannya dari Lauritz untuk sebuah pekerjaan yang sangat mudah. Di samping itu dia pun masih boleh bekerja. Rasanya kesempatan ini terlalu mustahil untuk jadi nyata. “Buat aku itu sepadan,” sahut Lauritz enteng. “Rasanya jadi beban untuk aku,” gumam Yuta gusar. Lauritz mengernyit heran. “Kenapa?” “Bayaran yang aku terima terlalu besar, bantuan kamu juga sepertinya terlalu banyak.” Jejak buruk yang Fadi tinggalkan masih membekas begitu kuat dalam benak Yuta dan membuatnya bersiaga penuh. Dia tidak mau kembali terperosok pada jerat yang sama. “Aku takut akan ada tuntutan di kemudian hari.” “Aku bukan orang yang suka merugikan pihak lain. Kamu bisa percaya sama aku,” sahut Lauritz sungguh-sungguh. "Kamu juga harus ingat kalau aku udah janji akan bantu kamu dan aku adalah orang yang selalu memegang ucapan aku. Nama besar aku jaminannya.” “Bantu aku soal apa?” gumam Yuta bingung. Dia tidak terlalu bisa mengikuti arah pembicaraan Lauritz. “Jadi terkenal,” ucap Lauritz santai. “Aku akan bantu urusan pekerjaan kamu yang lain.” “Gimana cara kamu bantu aku?” “Aku akan dukung kamu dalam banyak segi, semua yang kamu butuhkan untuk punya nama besar akan aku bukakan jalannya, tapi semua balik lagi ke kamu. Kemampuan dan tekad kamu akan membuktikan apa bantuan aku berguna atau enggak.” “Buat apa kamu repot-repot bantu aku?” tanya Yuta tidak habis pikir. “Orang-orang yang ada di sekitar aku harus hidup dengan baik dan layak,” ujar Lauritz tulus. Seperti dia membantu Dani dan para pekerjanya yang lain, demikian pula Lauritz akan membantu Yuta. Lauritz mungkin bukan orang yang baik apalagi suci, tetapi dia tahu cara menghargai orang-orang di dekatnya. “Enggak ada yang aku biarkan menjalani hidup dengan asal-asalan, termasuk kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN