Jauh setelah Lauritz terlelap, Yuta masih tetap tidak mampu memejamkan mata. Lelah berbaring memunggungi Lauritz, kini Yuta terlentang. Berbaring bersisian dengan Lauritz, Yuta jadi tahu kalau tubuh pemuda itu menjulang tinggi. Dia yang tubuhnya sudah tinggi saja masih kalah jauh dari pemuda ini.
Perlahan, Yuta menoleh dan tampaklah profil samping Lauritz. Saat terlelap seperti ini, Yuta bisa mengamati wajah Lauritz dari jarak sangat dekat. Jujur saja Yuta kagum melihat hidung Lauritz yang begitu bangir. Kulit putihnya pun tampak sangat bersih dan terawat, membuat Yuta jadi minder mengingat miliknya sendiri yang kecokelatan. Belum lagi kalau mengingat mata birunya yang jernih. Saat beberapa kali mereka tidak sengaja beradu pandang, Yuta rasanya langsung terhipnotis.
Namun, di samping penampilannya yang mengagumkan, kata-kata Lauritz seringkali membuat pusing. Contohnya yang tadi dia ucapkan soal Fadi. Kata-kata itu masih terus terngiang dalam benak Yuta. Meski sulit diterima, Yuta harus mengakui jika ucapan Lauritz merupakan fakta. Dia memang tidak berharga untuk Fadi dan Yuta mulai menyadari itu beberapa waktu belakangan. Hanya saja dia masih berusaha menampik dan berharap kekasihnya berubah. Nyatanya, tidak ada harapan.
Kini yang tersisa dalam hati Yuta hanya penyesalan. Dia menyesali pertemuan pertamanya dengan Fadi sebelas bulan yang lalu. Dia menyesali hatinya yang begitu mudah jatuh cinta. Dia juga menyesali keluguannya yang percaya begitu saja akan bujuk rayu manis Fadi. Andai dia bisa memutar kembali waktu, Yuta akan memilih untuk mengabaikan saja saat dahulu Fadi mengajak berkenalan dan mendekatinya.
Sayang, Yuta Maharumi memang hanyalah seorang gadis polos dari desa yang belum paham siasat busuk dan mulut manis lelaki. Tidak heran jika Yuta terbuai dengan wajah tampan Fadi dan suara lembutnya, padahal pemuda itu ternyata tidak lebih dari seorang penipu.
Pertemuan pertama Yuta dengan Fadi terjadi sebelas bulan yang lalu di sebuah peragaan busana.
“Kamu keren juga.”
Yuta baru saja turun dari panggung dan sedang berjalan menuju backstage. Dia terkejut ketika seorang pemuda tiba-tiba memujinya. Demi kesopanan, Yuta menghentikan langkah. Dia mengenali pemuda yang mengajaknya berbicara, seorang model pria bersosok gagah nan tampan yang membawakan beberapa koleksi eksklusif di peragaan busana malam ini.
“Terima kasih,” ujar Yuta canggung. Dia yang hanya seorang model biasa merasa rendah diri berhadapan dengan pemuda ini. Apalagi Yuta tahu kalau pemuda itu sejak tadi sudah menjadi bahan kasak-kusuk para teman model yang lain. Harus Yuta akui, penampilan pemuda ini memang menyilaukan. Auranya berbeda dibandingkan dengan model-model kenalannya yang biasa ikut dalam peragaan busana lain.
“Aku Fadi. Fadi Batara.” Pemuda itu dengan santai mengulurkan tangan ke arah Yuta sambil mengucapkan namanya dengan penuh percaya diri. “Kamu siapa?”
Ragu-ragu Yuta menyambut uluran tangan Fadi. “Saya Yuta.”
“Lengkapnya?”
“Yuta Maharumi.”
“Cantik,” puji Fadi dengan senyumnya yang menawan. “Sesuai dengan wajah kamu.”
“Terima kasih,” sahut Yuta malu. Dipuji oleh model tampan sekelas Fadi jelas membuat Yuta yang lugu langsung berbunga.
“Kamu udah lama jadi model?” tanya Fadi penuh minat.
“Belum. Baru dua bulan.” Kalau ingat pekerjaan serabutan yang selama ini dia kerjakan, rasanya Yuta langsung malu. Bisa menjadi model seperti sekarang jelas merupakan sebuah keberuntungan bagi Yuta.
Sebelum menjadi model, Yuta hanyalah gadis biasa yang bekerja serabutan. Mengerjakan segala jenis pekerjaan yang bersedia menerima seorang gadis tamatan SMA saja. Yuta pernah menjadi pelayan restoran, tukang cuci rambut di salon, tetapi paling sering menjadi SPG. Tidak terhitung berapa banyak dia berganti pekerjaan selama satu setengah tahun terakhir sejak dirinya lulus SMA.
Beruntung, sekitar lima bulan yang lalu Yuta bertemu dengan seorang pencari bakat yang melihatnya di sebuah pameran mobil. Yuta saat itu tengah menjadi SPG. Dia langsung ditawari pekerjaan sebagai model karena postur tubuhnya yang mencuri perhatian. Akhirnya, Yuta mencoba peruntungan itu dan berhasil. Sejak saat itu, Yuta dilatih dan diajari untuk menjadi seorang model. Kemudian, sejak dua bulan lalu Yuta kerap mendapat tawaran untuk menjadi model peragaan busana yang diadakan oleh kalangan desainer lokal Bandung.
Fadi mengangguk kecil. “Pantas aku baru pernah lihat.”
“Kamu udah lama jadi model?” tanya Yuta. Dari penampilan Fadi yang terlihat demikian modis dan penuh percaya diri, sepertinya pemuda itu sudah cukup lama berkecimpung di bidang ini.
“Sekitar empat tahun.” Fadi menjawab bangga. “Kamu asli Bandung?”
“Iya,” jawab Yuta sedikit berdusta. “Kamu juga?”
Tidak mungkin Yuta mengakui yang sebenarnya kalau dia berasal dari Cihanjuang, sebuah desa kecil di daerah Bandung Barat. Lagi pula, Yuta tidak benar-benar berbohong. Sejak lulus SMA, dia memang sudah merantau ke Bandung. Bukan untuk melanjutkan pendidikan, tetapi menyambung hidup.
Andai bisa, Yuta tentu ingin mengecap bagaimana rasanya menempuh pendidikan di sebuah universitas. Sayang, kedua orang tuanya tidak mampu membiayai. Mencari nafkah dengan berjualan tanaman hias hasilnya tidaklah seberapa. Untuk hidup sehari-hari saja pas-pasan. Selain Yuta, masih ada adik kecilnya yang perlu disekolahkan. Belum lagi ibunya yang menderita gangguan ginjal juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Fadi langsung menggeleng. “Aku dari Jakarta.”
“Kok, bisa ada di sini?” tanya Yuta polos. Semua model lain yang Yuta kenal rata-rata berasal dari daerah Bandung dan sekitarnya. Untung saja dia tidak mengatakan daerah asalnya secara rinci. Bisa malu setengah mati Yuta di hadapan orang kota seperti Fadi.
“Aku kenal sama desainer utama hari ini dan dia minta secara khusus supaya aku yang pakai baju rancangannya,” tutur Fadi dengan nada bangga yang jelas kentara.
“Mas Yoning?” tanya Yuta memastikan.
“Betul.” Fadi tersenyum lebar. “Kaget ya?”
“Kamu hebat,” bisik Yuta kagum.
“Biasa aja.” Fadi mengedik santai. “Mas Yoning cuma salah satu dari sekian banyak desainer beken yang aku kenal.”
“Oh gitu ….” Yuta yang lugu hanya bisa manggut-manggut dengan takjub. Apalah dirinya yang dikenali oleh para desainer lokal saja tidak?
“Kamu mau aku kenalin sama Mas Yoning?”
“Enggak usah,” tolak Yuta kaget.
“Kenapa?” tanya Fadi heran. Biasanya model-model kecil macam Yuta ini akan berlomba-lomba mendekati dirinya agar bisa dikenalkan kepada para desainer terkenal demi meningkatkan karier mereka.
Yuta menggeleng canggung. “Saya malu.”
“Kenapa harus malu? Kamu cantik dan berbakat loh,” puji Fadi apa adanya. Meski mulutnya sering menggombal, tetapi Fadi tidak berbohong. Yuta memang memiliki kecantikan yang memikat. Itu sebabnya Fadi langsung tertarik begitu melihat sosok Yuta. Gadis itu memiliki aura berbeda yang tidak dipunyai para model lain. “Tapi kalau enggak punya kenalan yang oke, karier kamu bakal begitu-begitu aja.”
Yuta hanya tersenyum pasrah saja mendengar ucapan Fadi.
“Kalau perlu kamu coba ke Jakarta, biar karier kamu meningkat,” saran Fadi.
Ucapan Fadi itu seolah melambungkan angan Yuta yang lugu. Sanjungan dan perhatian yang Fadi berikan berhasil mencuri hati Yuta dengan sangat mudah. Tidak perlu waktu lama bagi Fadi untuk membuat Yuta jatuh cinta dan menerimanya sebagai kekasih. Hanya butuh satu bulan saja.
Di bulan-bulan pertama mereka bersama, Yuta begitu bahagia. Belum lagi kepercayaan dirinya jadi meningkat pesat. Di kalangan model lokal Bandung, Yuta mulai terkenal karena dia berhasil menjadi kekasih seorang Fadi Batara. Kala itu, Yuta merasa bangga dengan status yang disandangnya sebagai kekasih dari pemuda yang banyak diimpikan teman-temannya. Setiap kali Yuta terlihat bersama Fadi, pandangan iri selalu terarah kepadanya.
Mungkin itu semua yang membuat Yuta jadi buta. Dia tidak bisa melihat sisi buruk Fadi karena terlalu terhipnotis dengan pesona pemuda itu. Parahnya lagi, Yuta takluk dan tunduk secara mutlak pada setiap ucapan Fadi sejak pemuda itu membantu membiayai operasi pengangkatan ginjal ibunya.
"Kamu enggak mau coba ke Jakarta?" tanya Fadi setelah mereka berhubungan selama lima bulan.
"Buat apa, Di?" tanya Yuta ragu.
"Cari peluang dong. Di Jakarta kamu punya kesempatan lebih bagus buat mengembangkan diri loh," sahut Fadi dengan nada meyakinkan.
Yuta mengernyit sangsi. "Kalau malah enggak dapat kerjaan gimana, Di?"
"Pasti dapat. Aku bakal bantu kamu," bujuk Fadi.
Entah apa sebenarnya motivasi Fadi, dia sendiri tidak terlalu paham. Hanya saja dia begitu ingin memboyong Yuta ke Jakarta. Kalau dipikir-pikir, mungkin alasannya cukup beragam. Sebagai kekasih, Yuta jelas bisa dibanggakan dan membuat teman-teman Fadi iri. Sebagai rekan sesama model, Yuta punya potensi untuk bisa menghasilkan banyak uang. Selain itu, tubuh molek Yuta pasti bisa memberi kenikmatan tiada tara bagi Fadi Intinya, banyak hal yang bisa dia manfaatkan dari keluguan Yuta.
"Tapi di Jakarta kan biaya hidupnya juga tinggi, Di. Belum lagi aku enggak ada tempat tinggal," sahut Yuta khawatir. Dia sudah banyak mendengar cerita tentang para model yang mencoba peruntungan ke Jakarta, tetapi akhirnya malah berujung sial. Alih-alih lebih berkembang di ibu kota, mereka malah tidak berhasil jadi apa-apa. Mendapatkan pekerjaan pun tidak.
"Kan ada aku, Sayang. Masa kamu takut? Aku pasti bantu kamu kok. Kamu tinggal ikut aja ke Jakarta, soal yang lain-lain enggak usah kamu pusingin, ada aku yang pasti jaga kamu selalu."