"Kenapa kamu datang? Aku kira kita udah enggak ada urusan lagi." Saat ini Yuta merasa benar-benar lelah. Jenis lelah yang mengeringkan tubuh dan menghancurkan mental sampai ke tulang-tulang. Saat ini hanya satu hal yang ingin Yuta lakukan. Masuk ke kamar, berbaring di tempat tidur, menutup mata, lalu masuk dalam dunia mimpi dan melupakan semua. Berharap jika dirinya tidak pernah bertemu dengan pecundang bernama Fadi Batara.
"Sayangnya kita masih harus berurusan," sahut Lauritz enteng. Sama sekali tidak menyadari suasana hati Yuta yang buruk.
"Apa lagi sekarang?" Ingin rasanya Yuta menangis sekarang juga, tetapi tidak mungkin dia melakukannya di hadapan pemuda ini.
"Ikut aku pulang," ajak Lauritz tanpa basa-basi.
Yuta mendelik kesal. "Kamu udah bawa bunganya."
"Bunga itu enggak berhasil bikin aku tidur," sahut Lauritz kesal.
"Terus apa urusannya sama aku?" balas Yuta tidak peduli.
"Kamu harus temani aku supaya aku bisa tidur," ujar Lauritz penuh paksaan. Dari nadanya bicara, tampak jelas dia sama sekali tidak peduli dengan pendapat Yuta. Entah gadis itu mau atau tidak, dia tetap akan membawanya.
Yuta mengembuskan napas jengkel. "Kamu udah coba bawa perempuan lain buat temani kamu tidur?"
"Udah dan tetap enggak berhasil."
"Kenapa?" Yuta mengernyit tidak paham.
Lauritz mengangkat bahu, lalu menjawab sebal, "Aromanya enggak sama dengan kamu."
"Coba suruh perempuan itu berendam pakai air bunga," desis Yuta dongkol.
"Udah disuruh pelukin pot seharian juga, tetap aromanya beda sama kamu," balas Lauritz tidak kalah kesal.
Sejak meninggalkan kos Yuta tiga hari yang lalu, Lauritz langsung meminta Dani mencarikan perempuan dengan ciri fisik sesuai standarnya. Tinggi sekitar 170 cm, langsing, berambut panjang. Namun, begitu dicoba hasilnya tidak sesuai harapan. Aroma yang melekat di tubuh perempuan itu tidak sama dengan Yuta. Keesokan harinya Dani kembali membawa perempuan berbeda dan hasilnya tetap sama. Begitu juga di hari ketiga. Akhirnya, Lauritz tidak mau mencoba lagi dan memilih kembali mendatangi Yuta.
Setelah merasakan tidur nyenyak untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun mengidap insomnia, Lauritz tidak rela harus terjaga lagi sepanjang malam. Andai tidur pun, hanya sebentar-sebentar dan mudah terganggu, entah itu karena mimpi buruk atau suara-suara kecil dari luar. Itulah sebabnya Lauritz jadi uring-uringan parah. Lebih buruk dari sebelum ada Yuta.
"Kenapa harus aroma aku sih?" tanya Yuta tidak habis pikir.
"Karena itu aroma yang aku cari selama bertahun-tahun."
"Tapi apa alasannya?" cecar Yuta.
Cukup lama Lauritz memandangi Yuta. Sempat terpikir untuk memberi tahu alasan sesungguhnya, tetapi urung. Akhirnya, Lauritz hanya berujar datar, "Kamu enggak perlu tahu."
"Kalau aku menolak ikut?" tanya Yuta dengan nada menantang.
"Aku tetap bawa paksa," balas Lauritz tidak peduli. Dia benar-benar butuh tidur nyenyak dan jimatnya tertinggal di sini. Apa pun yang diperlukan untuk membawa Yuta, akan Lauritz lakukan.
Melihat kekeraskepalaan Lauritz, Yuta tahu dia tidak berdaya. Pemuda ini terlalu berkuasa dan punya segalanya, sama sekali bukan lawan sepadan untuk Yuta yang bukan siapa-siapa. Akhirnya, dia bertanya pasrah, "Kalau aku ikut, apa keuntungannya buat aku?"
"Tentu ada penawaran baik yang akan aku kasih buat kamu." Lauritz langsung mengangguk penuh kemenangan. "Kamu tertarik?"
"Apa penawarannya?"
"Utang kamu ke Fadi, aku akan lunasi. Utang kamu ke rentenir, aku juga yang akan lunasi," ucap Lauritz sungguh-sungguh.
Untuk beberapa saat Yuta mendelik tidak percaya. “Gimana caranya kamu bisa tahu soal utang aku?”
“Dari Fadi.”
Saat Lauritz bertanya soal kelemahan Yuta, Fadi menceritakan segalanya. Dari situ Lauritz tahu jika Yuta terlilit utang besar sekitar beberapa bulan lalu karena ibunya harus menjalani operasi pengangkatan ginjal. Biaya yang dibutuhkan mulai dari masa persiapan, operasi, hingga proses penyembuhan tidaklah sedikit. Bantuan dari pemerintah tidak bisa mencakup semua. Akhirnya, terpaksa Yuta mencari pinjaman. Fadi memang memberi bantuan, tetapi jumlahnya masih jauh dari cukup. Terpaksa Yuta menutup kekurangannya dengan meminjam kepada rentenir.
Rasanya belum cukup kesialan Yuta, ternyata Fadi bukan memberi bantuan, melainkan hanya memberi pancingan agar gadis itu terjerat. Awalnya, Fadi berusaha mengambil keuntungan dari utang Yuta dengan maksud mendapatkan nikmat tubuh gadis itu. Ketika Yuta berkeras menolak, sikap Fadi yang semula selalu baik mendadak berubah. Tidak ada lagi sikap lembut dan kata-kata manis.
Setelah beberapa waktu, Fadi sengaja mencarikan banyak pekerjaan untuk Yuta. Kesannya baik, padahal sebenarnya itu cara Fadi memaksa Yuta membayar utang dengan mengambil setengah dari setiap pendapatan yang gadis itu terima. Alhasil, hidup Yuta yang pada dasarnya memang sudah susah, makin nelangsa saja.
“Kamu bersedia melunasi utang aku yang banyak itu?” bisik Yuta tidak percaya.
“Buat aku jumlahnya enggak seberapa,” balas Lauritz tanpa beban. "Selain itu, aku akan bantu kamu jadi terkenal."
"Terkenal?" gumam Yuta curiga.
Lauritz mengangguk yakin. "Aku akan berupaya untuk mendongkrak karier kamu."
"Aku enggak berambisi untuk jadi terkenal," balas Yuta tanpa minat.
"Tapi kamu pasti ingin menghasilkan banyak uang, 'kan?"
“Apa yang akan kamu minta dari aku sebagai balasannya?”
“Aku sudah bilang berkali-kali dari kemarin-kemarin,” desis Lauritz tidak sabar. “Aku hanya ingin kamu menemani aku tidur setiap malam.”
Yuta terdiam dan menimbang-nimbang tawaran Lauritz. Apakah ini jebakan juga seperti yang Fadi buat?
"Kalau kamu setuju, aku akan buatkan kontrak resminya," desak Lauritz untuk meyakinkan gadis itu.
Mendengar kata ‘kontrak’ Yuta merasa sedikit tenang. Mungkin ini bukan jebakan seperti ulah Fadi. Ragu-ragu dia bertanya lagi, "Yang perlu aku lakukan cuma menemani kamu tidur?"
Lauritz mengangguk mantap. "Cukup itu aja."
"Oke, aku akan ikut kamu pulang," putus Yuta lirih.
Akhirnya, malam itu Yuta kembali ke kediaman Lauritz. Kali ini bukan untuk sebentar saja, tetapi dalam waktu lama.
"Gue heran banget, ada pelet apa sih di badan lo?" tanya Dani gemas saat membantu Yuta bersiap sebelum menjalankan tugas menemani Lauritz tidur.
"Hm?" gumam Yuta tidak paham.
"Bisa-bisanya Mas Lau tergila-gila sama aroma lo," ujar Dani sembari mengendus-endus tubuh Yuta dari belakang.
"Malah aku yang mau tanya," balas Yuta sama herannya.
"Apa?"
"Apa yang salah sama bos kamu?" tanya Yuta blak-blakan.
Kening Dani berkerut sejadi-jadinya. "Maksud lo?"
"Kenapa bos kamu bisa terobsesi sama aroma bunga ini?" Tangan Yuta sejak tadi sibuk membelai lembut kelopak bunga yang dibawa dari kosnya.
"Gue juga enggak ngerti. Sumpah!" desis Dani jengkel. "Lebih enggak ngerti lagi harus aromanya yang nempel di badan lo."
"Emang di orang lain enggak berhasil?" ujar Yuta heran.
Dani memutar bola matanya. "Mas Lau yang ada ngamuk-ngamuk karena tiga malam enggak bisa tidur."
Sampai sakit kepala Dani gara-gara kelakuan Lauritz tiga hari terakhir. Macam-macam saja yang dimintanya. Belum lagi disertai uring-uringan dan ocehan panjang setiap saat. Intinya, Lauritz terus mengeluhkan aroma perempuan lain tidak sama dengan Yuta meski ada bunga yang dibawa dari kos gadis itu.
"Bos kamu itu punya masalah tidur?" tanya Yuta hati-hati.
"Insomnia berat. Enggak pernah bisa tidur nyenyak selama bertahun-tahun."
Yuta mengernyit kaget. "Insomnianya udah lama?"
"Gue juga enggak tahu sejak kapan.” Jika membahas soal insomnia yang Lauritz alami, Dani selalu merasa tidak tega. Itu sebabnya, meski Lauritz sering menyebalkan, Dani tetap setia. “Yang pasti Mas Lau baru bisa tidur nyenyak lagi pas ditemenin sama lo kemarin itu. Sekali-sekalinya selama bertahun-tahun. Enggak heran sih dia jadi terobsesi sama lo. Kayaknya buat Mas Lau, lo itu semacam jimat."
"Terus ada apa sama baju ini?" Yuta menunjuk gaun tidur bergaya kuno yang dia kenakan. Mirip dengan gaun tidur yang dibawakan ke hotel waktu itu.
"Emang kenapa?"
"Aneh aja. Kenapa harus tidur pakai baju-baju begini?"
Alih-alih menjelaskan, Dani malah bertanya dengan nada menggoda, "Emang lo maunya pakai baju gimana?"
Cepat-cepat Yuta meluruskan. "Enggak yang gimana-gimana, cuma baju-baju ini kayak bukan dari zaman sekarang."
"Kayaknya emang dari zaman nenek moyang," jawab Dani asal karena dia pun tidak tahu alasan sebenarnya.
Setelah dirasa siap, Dani mengajak Yuta menuju kamar Lauritz. Tidak lupa Yuta diwajibkan untuk memeluk pot bunga dan membawanya menuju kamar Lauritz.
Di kamar Lauritz, tidak banyak percakapan yang terjadi. Keduanya memang sudah sama-sama lelah dan ingin segera terlelap. Di sisi Lauritz, dia merasa lega karena ada Yuta menemani di sisi. Kehadiran Yuta membuat Lauritz yakin dirinya akan mendapatkan tidur yang nyenyak malam ini. Kemudian, di sisi Yuta, dia tidak lagi merasa terlalu waswas karena tahu Lauritz hanya membutuhkan dirinya untuk membantu tidur, bukan untuk ditiduri. Meski kata dasarnya sama, maknanya sangat berbeda dan membawa perbedaan besar juga bagi Yuta.
"Kenapa kamu enggak tidur?" gumam Lauritz yang merasa terganggu karena sejak tadi Yuta bergerak-gerak gelisah di sisinya.
Tidak ada jawaban. Yuta tetap berbaring miring memunggungi Lauritz.
"Kamu nangis?" tanya Lauritz hati-hati. Dari tarikan napas Yuta yang terdengar janggal, Lauritz bisa menebaknya.
Namun, gadis itu tetap tidak menanggapi pertanyaan Lauritz.
"Kamu merasa terpaksa tinggal di sini?" tanya Lauritz lagi.
Seperti sebelumnya, Yuta tetap bungkam.
Penasaran karena Yuta terus diam, Lauritz menebak lagi. "Atau jangan-jangan kamu sedih karena Fadi meninggalkan kamu?"
Kali ini, Yuta buka suara. "Aku cuma enggak menyangka ada orang kayak dia yang bisa kasih pacarnya sendiri ke orang lain."
Perlahan Lauritz menoleh ke samping dan memandangi punggung Yuta. Sedikit rasa iba terselip di hatinya. Jika menilik dari sisi Yuta, wajar gadis itu merasa tidak adil. Namun, mau bilang apa lagi? Lauritz paham benar sifat sepupunya yang memang hanya suka bersenang-senang.
“Enggak perlu menangis. Dengarkan aku baik-baik,” ujar Lauritz dengan nada sedikit menghibur. “Kalau kamu memang berharga untuk dia, Fadi enggak akan merelakan kamu begitu aja. Dia enggak akan menukar kamu dengan uang. Jadi, kalau dia melakukan ini, itu artinya kamu enggak berharga buat dia.”