Andai pikiran Lauritz berjalan layaknya manusia normal, tentu dia akan menolak permintaan Yuta untuk mengantarnya pulang di tengah malam seperti ini. Namun, berhubung Lauritz memang unik menjurus aneh, dia segera menyanggupinya tanpa perdebatan sama sekali. Tentu saja hal itu didasari rasa penasaran Lauritz yang tidak sanggup ditahan lebih lama lagi. Dia harus segera mencari tahu asal aroma yang melekat pada tubuh Yuta.
Lauritz sendiri yang mengantar Yuta ke tempat kos gadis itu. Tentu ada pengawal pula yang mengikuti dengan mobil lain karena Lauritz memang tidak pernah bepergian sendiri demi keamanannya. Tiba di tempat kos Yuta, keduanya segera masuk ke kamar gadis itu. Hanya berdua saja agar tidak terlalu menimbulkan keributan mengingat sekarang sudah dini hari.
Yuta masuk ke kamarnya tanpa mengatakan apa-apa. Terserah saja Lauritz mau masuk atau menunggu di luar, gadis itu tidak peduli. Namun, ternyata Lauritz ikut masuk. Baru saja kakinya melangkah, aroma yang dia cari samar-samar sudah tercium. Tanpa ragu Lauritz bergegas menyusul Yuta. Gadis itu sendiri tampak berdiri dekat jendela, lalu mengambil sebuah pot.
“Apa ini aroma yang kamu cari?” Yuta mengarahkan pot di tangannya ke arah Lauritz.
Untuk beberapa saat Lauritz tampak sangsi. Namun, begitu dia menunduk, aroma yang dia cari tercium makin kuat. Setengah tidak percaya dia berbisik, “Jadi, maksud kamu … aroma bunga ini yang melekat di tubuh kamu?”
“Benar atau enggak aroma ini yang kamu cari?” tanya Yuta tidak sabar.
“Benar.” Lauritz mengangguk kecil.
“Kalau begitu, asalnya memang dari bunga ini.”
Rasanya Lauritz masih tidak yakin. “Bukan parfum beraroma bunga ini?”
“Aku enggak pernah pakai parfum,” jawab Yuta mantap.
“Tapi gimana caranya aroma bunga bisa melekat di badan kamu?” gumam Lauritz tidak habis pikir.
“Apa kamu enggak bisa hirup aromanya di kamar ini?” balas Yuta setengah menyindir.
Lauritz mundur beberapa langkah, kemudian menarik napas dalam-dalam. Aroma itu seketika memenuhi penciumannya.
“Ternyata begitu.” Lauritz manggut-manggut perlahan, kemudian bertanya penasaran, “Apa nama bunga ini?”
“Lily of The Valley.” Bunga cantik berwarna putih dengan harum yang memikat ini adalah favorit Yuta. Sejak kecil dia sudah menyukainya. Yuta sengaja membawa itu dari kebun bunga milik orang orang tuanya di Cihanjuang.
Lauritz pernah mendengar nama itu. Memang cukup asing karena jarang ditemukan di Indonesia. Namun, bukan berarti sama sekali tidak ada.
Sekelebat ingatan dari masa lalu melintas dalam benak Lauritz. Ada satu masa dalam hidupnya ketika hari-hari Lauritz disuguhi pemandangan indah yang meninggalkan kesan manis. Wanita cantik nan anggun dengan bunga indah di tangannya.
“Bunga ini bisa dipindahkan?” tanya Lauritz penuh harap.
“Ke mana?”
“Rumah aku.”
“Bisa aja.”
“Kalau gitu, kita bawa pulang,” putus Lauritz senang.
“Kenapa harus dibawa?” tanya Yuta bingung.
“Karena ini aroma yang aku cari.” Tanpa sadar Lauritz menghirup napas dalam-dalam untuk menikmati aroma bunga di tangannya. “Aroma yang bisa bikin aku tenang dan tertidur lelap sampai pagi.”
Ucapan Lauritz membuat sebuah ide melintas dalam benak Yuta. “Kalau memang aroma ini yang bisa bikin kamu tidur, kenapa bukan bunganya aja yang kamu bawa? Kenapa harus bawa aku juga?”
“Karena bunga enggak bisa dipeluk,” jawab Lauritz asal.
“Tapi yang kamu cari itu aroma ini, bukan aku. Berarti siapa pun yang menemani kamu tidur, asal ada aroma ini, harusnya kamu bisa tidur.”
Untuk beberapa saat Lauritz mempertimbangkan perkataan Yuta, kemudian perlahan mengangguk setuju. “Mungkin juga.”
“Kalau gitu, silakan bawa bunganya,” ujar Yuta cepat-cepat. Dia bahkan mengambil tiga buah pot lagi yang masih ada dalam kamar dan memberikannya kepada Lauritz. Yuta hanya menyisakan satu pot saja untuknya sendiri. “Aku kasih gratis, tapi tolong jangan ganggu aku. Aku enggak mau ikut sama kamu.”
Siasat Yuta nyatanya berhasil. Lauritz tidak lagi berkeras membawa gadis itu, tetapi cukup bunganya saja. Pikir Lauritz, mungkin teori gadis itu benar. Perempuan mana saja bisa menemaninya tidur asal aromanya sama.
Sepeninggal Lauritz, Yuta bisa bernapas dengan lega setelah dua hari dipaksa berada dekat pemuda itu. Tanpa memikirkan apa-apa lagi, Yuta segera berbaring di tempat tidur dan memejamkan mata. Hal-hal lain akan dipikirkannya nanti, sekarang yang dia butuhkan hanya istirahat nyenyak dan tenang.
Keesokan harinya, begitu bangun Yuta langsung berusaha menghubungi Fadi. Dia harus menemui dan berbicara langsung dengan kekasihnya yang tidak bertanggung jawab itu. Yuta perlu menuntut penjelasan dari Fadi. Bagaimana bisa pemuda itu meninggalkannya bersama lelaki lain dan mengatakan putus begitu saja?
Sayangnya, Fadi tidak semudah itu bisa dihubungi. Pemuda itu bagai hilang tanpa jejak. Nomornya tidak aktif. Didatangi ke tempat-tempat yang biasa dikunjungi pun tidak ada.
Baru di hari ketiga Yuta berhasil menemukan Fadi. Itu pun berkat bantuan salah satu rekan sesama model yang kebetulan kenal dengan Fadi juga. Pemuda itu ternyata tengah bersembunyi di vila, tepatnya di daerah Cisarua. Bersenang-senang melewatkan waktu bersama teman-temannya, berpesta sambil mabuk-mabukan sepanjang hari.
Geram hati Yuta melihat kelakuan Fadi. Tanpa pikir panjang, Yuta langsung menghampiri Fadi dan menghardiknya. “Di, gila kamu ya!"
Melihat kedatangan Yuta, beberapa teman Fadi yang kebetulan sedang berada seruangan dengannya langsung menyingkir.
"Apa-apaan sih kamu?” balas Fadi tidak terima. “Baru datang langsung marah-marah!"
"Kamu yang apa-apaan?” bentak Yuta berang. “Bisa-bisanya kamu tinggalin aku begitu aja sama cowok lain."
Ucapan Yuta membuat Fadi mendengkus sinis. "Ta, enggak usah munafik. Enggak perlu pura-pura marah dan enggak suka. Aku udah tahu semuanya dari Ritz."
"Maksud kamu apa?"
"Dasar cewek!” cibir Fadi jijik. “Lagaknya jual mahal, jaga harga diri. Nyatanya begitu ketemu sama yang jauh lebih ganteng, lebih kaya, dan lebih tenar, langsung banting harga."
"Jangan sembarangan tuduh aku, Di!" bentak Yuta tersinggung.
"Aku sih ngomong sesuai fakta aja."
"Fakta apa?" tanya Yuta dengan nada menantang.
"Ritz sendiri yang bilang kalau dia puas sama servis kamu.” Senyum kurang ajar membayang di wajah Fadi. “Sempurna katanya."
"Servis apa maksud kamu?" desis Yuta curiga.
"Enggak usah berlagak polos, Ta.” Kembali Fadi mendengkus sinis. “Kita sama-sama udah dewasa. Lagian aku juga udah bisa bayangin gimana hebatnya kamu."
Rasa-rasanya Yuta mengerti apa yang tengah Fadi bicarakan. Segera saja dia menghardik pemuda itu. "Pikiran kamu selalu picik, Di!"
"Tapi kenyataan, 'kan?” sindir Fadi geli. “Ritz aja sampai minta aku lepasin kamu."
"Dan kamu milih lepasin aku?" desis Yuta tidak percaya.
"Memangnya alasan apa yang bikin aku harus pertahanin kamu?" balas Fadi dengan nada meremehkan.
"Aku ini pacar kamu, Di!” seru Yuta frustrasi. “Bisa-bisanya kamu biarin orang lain bawa aku gitu aja!"
"Aku udah bilang, Ta. Aku pilih lepasin kamu," ujar Fadi tanpa nada menyesal sama sekali. Sedikit rasa bersalah pun tidak tampak di wajahnya. "Lagian kamu juga diperlakukan dengan baik sama Ritz, 'kan?"
Yuta mendengkus geram. "Dibawa paksa itu termasuk perlakuan baik?"
"Tapi kamu bakal hidup enak sama dia. Semua bakal terjamin dan kamu enggak perlu capek-capek kerja lagi.” Fadi memandangi Yuta dengan tatapan merendahkan. “Udah, nikmatin aja. Enggak usah munafik.”
"Kalau gitu kita beneran putus?" bisik Yuta masih tidak percaya.
Tanpa ragu Fadi mengangguk. "Betul, kita enggak ada hubungan lagi."
Yuta menggeleng tidak habis pikir. "Segampang itu, Di?"
"Jujur sih aku udah lama bosan sama kamu.” Senyum mengejek tampak jelas di wajah Fadi. “Kamu enggak seru dan kurang menarik. Enggak ada sesuatu yang bikin aku betah dan pengin terus bertahan sama kamu."
"Tega kamu, Di."
"Harusnya kamu makasih sama aku,” sahut Fadi tidak tahu diri. “Kalau bukan karena aku, kamu enggak mungkin bisa kenal sama Ritz. Cewek sekelas kamu, enggak segampang itu bisa masuk ke lingkungannya Ritz."
"Aku enggak minta dan enggak butuh kenal sama dia, Di," ujar Yuta dingin.
"Terus mau kamu apa?" tanya Fadi dengan tatapan menantang.
"Tanggung jawab sama hubungan kita."
"Mau tanggung jawab apa?” Fadi berdecak geli. “Aku aja belum dapat kesempatan apa-apain kamu."
"Bukan itu maksud aku!" pekik Yuta putus asa.
"Terus apa dong?" sahut Fadi tidak peduli. Sama sekali tidak ada rasa sayang sedikit pun dalam hati Fadi untuk gadis yang telah menjalin hubungan bersama dengannya selama hampir satu tahun ini.
"Ingat janji kamu," desis Yuta penuh kebencian.
"Yang mana?"
"Kamu bakal jaga aku, bakal selalu bantu aku, lindungi aku." Dahulu, di tengah keputusasaan Yuta menjalani hidupnya yang serba malang, Fadi hadir membawa angin segar dan dengan mudahnya dia termakan ucapan pemuda itu.
"Itu kan janji berapa bulan yang lalu, Ta.” Fadi tertawa geli. “Sekarang udah enggak berlaku."
"Ternyata kamu itu cuma lelaki pecundang," sesal Yuta lesu. Dia memang masih teramat muda dan lugu sampai-sampai bisa terpedaya dengan manusia seperti Fadi. Namun, kini Yuta mulai sadar. Dunia memang tidak mungkin indah tanpa diusahakan.
"Aku orang yang realistis, Ta,” ujar Fadi enteng. “Siapa yang bisa memberi keuntungan, aku pertahanin. Kalau enggak menghasilkan apa-apa, udah sewajarnya dibuang."
Yuta terdiam dan meresapi semua perkataan Fadi yang tajam menusuk serta penuh hinaan. Dia mengingat semua itu baik-baik dan bertekad untuk tidak akan pernah melupakan penghinaan ini.
"Lagian, dengan lepasin kamu, banyak keuntungan yang aku dapat," imbuh Fadi tanpa dosa.
"Keuntungan apa?"
"Utang aku ke Ritz dianggap lunas," aku Fadi bangga.
"Ini sama aja artinya kamu jual aku, Di!" raung Yuta penuh murka.
Namun, Fadi membantah dengan tenang. "Bukan jual, cuma sama-sama tanggung jawab aja."
"Tanggung jawab?"
"Kamu lupa kalau sebagian dari utang aku itu, ada kepentingan kamu juga di dalamnya?"
Seketika itu juga Yuta tertegun. Dia tidak mampu berkata-kata lagi karena ucapan Fadi benar adanya. Beberapa waktu yang lalu Fadi memang pernah meminjamkannya uang dalam jumlah besar. Namun, Yuta yang bodoh ketika itu percaya saja jika Fadi berniat membantunya dengan tulus. Setelah beberapa waktu, Yuta baru tahu jika itu bukan bantuan melainkan jerat.
Fadi tidak memberikan uang itu dengan cuma-cuma, tetapi ada harga yang harus Yuta bayar. Kini, Yuta pun tahu bahkan uang pinjaman itu merupakan hasil dari meminjam lagi kepada orang lain. Yuta benar-benar merasa dibodohi dan ditipu habis-habisan oleh Fadi.
Ibarat pasukan yang kalah berperang, Yuta pulang ke tempat kosnya. Dunia dan mimpi yang Yuta sedang coba bangun mendadak runtuh dalam sekejap. Dia seketika kehilangan arah dan tidak tahu lagi harus melakukan apa.
Seolah-olah semua itu belum cukup, keadaan Yuta masih diperburuk dengan kehadiran satu sosok lain. Di depan kosnya, dua orang pria berpakaian serba gelap mengadang langkah Yuta, lalu membawa gadis itu masuk ke mobil. Di dalam, Lauritz telah menunggu.
"Kenapa kamu ke sini lagi?" tanya Yuta lelah.
"Dari mana aja kamu?" balas Lauritz sedikit jengkel. Dia sudah menunggu lama sampai bosan setengah mati.
"Apa urusannya sama kamu?" sahut Yuta sinis.
Lauritz memandangi Yuta dengan tatapan yang sulit diartikan, kemudian berkata tenang, "Segala sesuatu yang menyangkut kamu, sekarang jadi urusan aku."