4. Aroma Berbeda

1822 Kata
Sepanjang hari Yuta dibiarkan sendirian di kamar dan diperlakukan bak seorang putri, semua serba dilayani. Berbagai makanan mewah yang tidak pernah Yuta cicip sebelumnya pun dihidangkan. Namun, kenyataan itu tidak lantas membuatnya merasa nyaman, malah asing. Menjelang waktu tidur, seorang pelayan datang ke kamar yang Yuta tempati dengan membawa sebuah pesan. “Mbak Yuta, dipanggil sama Mas Lauritz ke kamarnya.” Perasaan Yuta langsung tidak karuan. “Mau apa?” “Kurang tahu, Mbak," jawab pelayan itu sopan. "Mari saya antar.” Meski enggan, Yuta tahu menolak pun percuma. Dia bisa saja diseret paksa. Dalam perjalanan menuju kamar Lauritz, benak Yuta dipenuhi tanya. Untuk apa dia dipanggil ke kamar pemuda itu selarut ini? Begitu masuk ke kamar Lauritz, Yuta melihat pemuda itu tengah berbaring santai di tempat tidur. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Yuta. Dia hanya berdiri kaku di dekat pintu tanpa tahu harus berbuat apa. Tidak berapa lama Lauritz melambai. “Jangan diam aja di situ, sini mendekat!” Tatapan Yuta tampak penuh curiga ketika berjalan menghampiri tempat tidur. “Sebenarnya kamu mau apa menahan aku di sini?” “Tadi pagi aku udah bilang, ‘kan?” balas Lauritz santai. “Mulai hari ini, kamu akan tinggal sama aku.” “Tapi apa alasannya?” cecar Yuta tidak habis pikir. “Pasti ada penjelasan untuk ini karena buat aku, apa yang kamu bilang itu enggak masuk akal. Kita enggak saling kenal sebelumnya, enggak pernah ada urusan apa-apa. Jadi, kenapa tiba-tiba aku harus tinggal sama kamu?” Lauritz mengangkat bahu sambil menatap Yuta dengan sorot tidak peduli. “Aku cuma mau kamu tinggal di rumah aku dan jadi teman tidur aku. Itu aja.” “Hah?” Wajah Yuta tampak heran, kaget, sekaligus dongkol mendengar jawaban Lauritz yang seenaknya itu. “Temani aku setiap kali aku mau tidur, hanya itu yang perlu kamu lakukan,” ujar Lauritz lagi. “Gampang, ‘kan?” “Kalau butuh teman tidur, harusnya kamu cari pacar, lalu menikah,” desis Yuta keki. “Istri kamu bakal jadi teman tidur kamu, bukannya main sembarangan bawa orang pulang buat temani kamu tidur!” “Aku enggak butuh hubungan, enggak butuh status, enggak butuh cinta,” sahut Lauritz angkuh. “Aku cuma butuh perempuan yang bisa bikin aku tidur nyenyak sepanjang malam dan kamu orang yang tepat.” “Kamu aneh banget.” Yuta benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan Lauritz yang tidak masuk akal. Apakah para selebritas memang kerap berlaku seenaknya seperti ini? Lauritz menggeleng tidak setuju dan langsung mengoreksi ucapan Yuta. “Aku unik, bukan aneh.” Yuta mendengkus sinis. “Apa bedanya?” “Pokoknya beda,” balas Lauritz santai. “Tapi kamu tahu kalau aku ini pacarnya Fadi, ‘kan?” Yuta masih belum menyerah. Dia terus berusaha agar Lauritz berubah pikiran. “Mantan pacar,” ujar Lauritz geli. “Kalian udah putus.” “Putus?” bisik Yuta tidak percaya. Sejak kapan hubungan mereka berakhir? “Fadi sendiri yang bilang sama aku. Dia juga yang kasih izin ke aku untuk bawa kamu tinggal di sini.” Kemarahan di hati Yuta untuk Fadi kian bertumpuk. Kekecewaannya kepada pemuda itu terus bertambah-tambah setiap harinya. Lauritz sedikit bergeser mendekati Yuta, lalu menarik lengan gadis itu. “Sekarang, naik ke ranjang. Aku capek dan mau tidur.” Yuta menatap tajam ke arah Lauritz, menimbang-nimbang apakah baik jika dirinya kembali tidur bersama pemuda ini seperti semalam? Jika mengingat apa yang kemarin terjadi, Lauritz memang tidak melakukan hal-hal yang kurang ajar. Pemuda itu benar-benar hanya tidur saja tanpa menyentuh Yuta sama sekali. Akhirnya, Yuta memutuskan untuk menuruti keinginan Lauritz. Dia naik ke tempat tidur dan berbaring di sisi pemuda itu. Sambil berbaring di tempat tidur yang terasa sangat nyaman itu, pikiran Yuta terus bekerja. Sejujurnya, dia masih belum bisa menerima keinginan Lauritz. Meski pemuda itu hanya memintanya menemani tidur, tetap saja ini sebuah pemaksaan karena Lauritz membawanya ke rumah ini tanpa persetujuan. Bisa dibilang, Yuta seperti diculik secara berkelas dan semua ini terjadi atas andil Fadi juga. Jika mengingat kekasihnya yang kurang ajar itu, rasanya Yuta sangat geram. Namun, Yuta tidak dibiarkan tenang dengan pikirannya sendiri karena tiba-tiba Lauritz bangkit, lalu bertanya dengan gusar, “Kenapa aroma kamu beda sama semalam?” “Aroma?” gumam Yuta bingung. Lauritz mendekat, lalu menunduk di atas tubuh Yuta untuk membaui aroma tubuh gadis itu. Setelah beberapa saat, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan. “Wangi kamu semalam enggak begini.” “Hm?” Yuta makin tidak mengerti dengan kelakuan aneh Lauritz. “Parfum apa yang kemarin kamu pakai?” Kening Yuta mengernyit. “Aku enggak pernah pakai parfum.” “Sabun apa yang kamu pakai untuk mandi?” “Apa aja yang lagi diskon pas aku belanja.” “Yang kemarin kamu pakai?” “Lifegirl yang merah.” “Hari ini?” “Apa sih pertanyaannya aneh-aneh banget,” gerutu Yuta mulai jengkel. “Jawab aja!” desak Lauritz senewen. “Sabun yang disiapkan sama pelayan kamu. Aku enggak tahu apa merknya.” “Tunggu di sini!” Bergegas Lauritz turun dari tempat tidur dan mencari Dani, lalu memberinya sebuah perintah konyol dan tidak masuk akal di tengah malam buta seperti ini. Jelas saja Dani dongkol setengah mati karena di saat dirinya hampir terlelap, Lauritz malah menyuruhnya pergi ke tempat kos Yuta dan mengambil semua produk perawatan tubuh yang ada di sana. Sekitar 40 menit kemudian, Dani kembali dengan wajah masam. Di tangannya ada satu tas berukuran sedang yang berisi segala barang jarahan dari tempat kos Yuta. “Nih, udah gue bawa semua sesuai perintah Mas Lau!” Dani meletakkannya di sofa, tepat di sebelah Lauritz duduk menunggu sejak tadi. Lauritz langsung menumpahkan isi tas yang Dani bawa. “Bantu gue cek.” “Cek apa sih, Mas?” tanya Dani sambil berkacak pinggang. Kelakuan bosnya ini memang suka bikin sakit kepala. Aneh-aneh menjengkelkan dan bikin emosi. “Dari semua produk perawatan tubuh yang dia pakai, mana yang aromanya gue cari,” ujar Lauritz sambil mulai memeriksa barang Yuta satu demi satu. Dani mendelik tidak percaya sambil menggeleng dramatis. “Mas Lau emang suka paling-paling ya!” “Apa?” balas Lauritz datar. “Mana gue tahu bau apa yang Mas Lau cari!” desis Dani keki. Andai selama ini ada orang yang tahu aroma seperti apa yang Lauritz cari, tentu pemuda itu tidak akan berkeliling dunia selama tujuh tahun dan terus mencari tanpa hasil. Para peracik formula di Secret juga tidak akan terus-menerus kena semprot karena selalu gagal menciptakan aroma yang Lauritz inginkan. “Bener juga,” gumam Lauritz sembari mengangguk kecil. Namun, dia segera menambahkan, “Tapi lo kan ketemu dia pas antar baju.” “Gue enggak cium-cium cewek itu loh kemarin,” bantah Dani sewot. Mana selera dia mencium-cium perempuan? Beda cerita kalau tamu Lauritz itu lelaki tampan, pasti Dani semangat mengendusnya. “Ya, udah!” Lauritz mendengkus sebal. “Biar gue cek sendiri aja.” “Sini gue bantu deh!” Dani segera berjongkok di dekat Lauritz. “Bantu apa lo?” tanya Lauritz galak. “Ambilin satu-satu barangnya. Jadi, Mas Lau tinggal endus-endus aja.” Seketika itu juga Lauritz mendelik keki. “Lo kira gue Beruang?” Beruang yang Lauritz maksud adalah satu dari sekian banyak anjing peliharaannya. Beruang adalah anjing jenis Alaskan Malamute yang berbulu putih keabuan dan berbadan super besar. Itulah sebabnya Lauritz menamani anjing itu Beruang. Namun, Dani segera membantah perkataan bosnya. “Enggaklah, Mas Lau lebih mirip Angsa.” “Dasar, Kutu!” desis Lauritz galak. “Gue serius loh,” sahut Dani geli. “Mas Lau kan mukanya seram, judes, cepat marah, mirip banget pokoknya sama Angsa. Atau Angsa yang menyerap kelakuan Mas Lau ya?” Angsa adalah kakak tertua dalam trah peranjingan di kediaman Lauritz. Anjing jenis Czechoslovakian Wolfdog ini adalah yang pertama Lauritz adopsi sekitar enam tahun lalu. Mengapa dinamakan Angsa? Karena anjing ini berbulu putih, tinggi, dan ramping, sehingga terkesan anggun. Satu kebiasaan aneh Lauritz lainnya. Dia selalu menamai anjing-anjingnya sesuai abjad berdasarkan urutan adopsi mereka. Pilihan namanya pun aneh-aneh dan konyol. Semua berasal dari nama binatang lain. Angsa, Beruang, Cakalang, Dugong, Entog, Flamingo, dan Gajah. “Lo udah mau terima pesangon dalam waktu dekat?” desis Lauritz penuh ancaman. “Asal pesangonnya rumah, mobil, sama tanah minimal seribu hektar sih Anjani enggak akan menolak, Mas Lau!” Lauritz mengembuskan napas kuat-kuat, lalu menatap Dani dengan tatapan membunuh. “Dan, gue udah capek, ngantuk, dan bete.” “Oke, siap!” Melihat Lauritz sudah habis sabar, Dani segera patuh. “Anjani segera tutup mulut.” Keduanya sibuk memeriksa barang Yuta satu demi satu. Saat semua barang sudah Lauritz baui, Dani bertanya penuh harap, “Gimana, Mas?” “Enggak ada yang sesuai.” Lauritz menggeleng frustrasi. “Ini udah semua dibawa?” “Udah kok,” jawab Dani yakin. “Coba panggil cewek itu ke sini,” titah Lauritz. Dani segera melaksanakan perintah Lauritz. Dia menuju kamar bosnya untuk memangil Yuta. Begitu masuk, dia langsung melambai rusuh. “Eh, cewek bernama Yuta, sini ikut bentar!” “Mau apa?” tanya Yuta setengah mengantuk. “Nanti aja gue jelasin,” sahut Dani tidak sabar. “Mas Lau lagi senewen, mending lo cepetan.” Tanpa bertanya lagi, Yuta langsung mengekor di belakang Dani. Tiba di tempat Lauritz menunggu, Dani menarik lengan Yuta, lalu menunjuk semua barang yang berserakan di sofa. “Sini, coba lihat!” Kening Yuta langsung mengernyit curiga. “Ini barang-barang aku di kosan, ‘kan?” “Ini udah semua dibawa?” tanya Lauritz kaku. Yuta menilik satu demi satu, kemudian mengangguk kecil. “Kayaknya iya.” “Enggak ada yang ketinggalan, atau mungkin lo umpetin di selipan entah sebelah mana?” cecar Dani penasaran. “Enggak ada, ini semua yang ada di kamar mandi, ‘kan?” ujar Yuta memastikan. “Mana aja yang kemarin kamu pakai?” tanya Lauritz cepat. Yuta menunjuk sabun mandi, sampo, sabun muka, dan deodoran yang kemarin dia pakai. “Cuma itu?” tanya Dani memastikan. Yuta mengangguk yakin. Lauritz kembali membaui keempat produk yang Yuta tunjuk, kemudian menggeleng gusar. “Tapi enggak ada yang aromanya cocok.” “Sebenarnya kalian cari apa sih?” tanya Yuta heran. “Produk yang bikin badan lo bau-bau kemarin,” sahut Dani cepat. “Hm?” gumam Yuta bingung. “Bau yang Mas Lau cari,” ujar Dani lagi. “Bau apa?” tanya Yuta tidak mengerti. Dari kemarin pemuda itu selalu membahas tentang aroma yang Yuta sendiri tidak paham. Dani menarik Yuta agar sedikit menunduk karena gadis itu sedikit lebih tinggi darinya, lalu berbisik sepelan mungkin, “Gue juga enggak tahu. Cuma Mas Lau yang tahu.” Yuta coba memikirkan aroma apa yang kira-kira melekat di tubuhnya. Setelah beberapa saat, dia teringat sesuatu. Segera saja Yuta berkata dengan berani, “Antar aku pulang.” “Lo jangan tambah-tambah masalah deh!” desis Dani kaget. Namun, Yuta tidak memedulikan peringatan Dani. Dia menatap Lauritz tanpa gentar, lalu berujar yakin, “Aku rasa aku tahu aroma apa yang kamu cari.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN