3. Pindah Tangan

1832 Kata
Perkataan Lauritz awalnya membuat Yuta melongo. Namun, setelah beberapa saat keterkejutannya berubah menjadi kekesalan. Wajahnya tampak tidak terima dengan keinginan Lauritz yang tidak masuk akal. "Apa-apaan kamu?" "Kenapa kamu tiba-tiba marah?" balas Lauritz tenang. "Kenapa kamu sembarangan memutuskan akan bawa aku pulang?" tuntut Yuta tidak terima. Lauritz tersenyum tidak peduli. "Mau aja." "Aku enggak mau ikut sama kamu!" bantah Yuta geram. "Enggak ada pilihan, kamu harus ikut." "Kamu enggak punya hak buat bawa aku!" Alih-alih terganggu dengan penolakan Yuta, Lauritz malah mendengkus geli. "Penculik juga enggak punya hak membawa orang yang diculik, tapi tetap dilakukan karena dia enggak butuh izin." Sikap Yuta makin waspada mendengar kata ‘penculik’. "Memangnya kamu penculik?" "Anggap aja begitu," sahut Lauritz tidak peduli. Cukup lama Yuta memandangi Lauritz. Dia tidak habis pikir dengan hal ganjil yang mendadak terjadi kepadanya. "Aku enggak ngerti kenapa kamu maksa banget?" Lauritz balas memandangi Yuta, kemudian bergumam pelan, "Menemukan kamu itu enggak gampang. Jadi, sekali ketemu, enggak akan aku lepas begitu aja." "Buat apa kamu cari aku?” Jawaban Lauritz tetap tidak bisa memberi penjelasan yang Yuta butuhkan. “Apa alasannya?" "Kamu enggak perlu banyak mikir. Cukup nurut aja sama aku dan bersikap baik, aku akan jamin kehidupan dan masa depan kamu." Perlahan Lauritz bangkit dari tempat tidur, meraih ponselnya, lalu berjalan menuju pantry untuk mengambil minum. Yuta tetap diam di tempat tidur dan mengawasi gerak-gerik Lauritz dengan kewaspadaan tinggi. "Jangan coba-coba kabur karena pasti percuma. Di luar ada pengawal," ujar Lauritz setelah menenggak satu botol air mineral hingga tandas. "Mulai sekarang, kamu enggak akan bisa bebas berkeliaran lagi. Kamu akan selalu dikawal sama orang-orangku." Setelah mengatakan itu, Lauritz meninggalkan Yuta ke kamar mandi. Tentu Yuta tidak percaya begitu saja dengan perkataan Lauritz. Pikirnya mungkin itu hanya ancaman belaka. Namun, begitu Yuta mengintip ke luar untuk memastikan, nyatanya perkataan Lauritz sama sekali tidak bohong. Beberapa orang berpakaian serba hitam terlihat berjaga di luar. Begitu Yuta membuka pintu, mereka tampak siaga. Cepat-cepat gadis itu memutuskan kembali ke dalam. Yuta terduduk di sofa, memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mengapa Lauritz tiba-tiba memintanya tidur di sini semalam, lalu mengapa sekarang pemuda itu menahannya? Tengah Yuta sibuk berpikir, dia tidak sadar Lauritz telah selesai mandi dan berpakaian rapi. Tidak lama berselang, beberapa pengawal yang tadi berjaga di luar tiba-tiba sudah masuk dan berdiri mengelilingi Yuta. "Antar dia ke rumah,” ujar Lauritz kepada mereka. “Dani sudah tahu apa yang harus dilakukan." "Mas Lauritz tidak ikut pulang?" tanya salah satu di antara pengawal itu. "Aku ada urusan dulu." Lauritz segera berlalu diiringi oleh dua orang pengawalnya, sementara yang lain tetap berjaga di dekat Yuta. Yuta terbelalak ngeri saat menyadari ketiga pria bertubuh kekar yang masih ada di kamar itu ternyata sedang menunggunya untuk bergerak. Meski tubuhnya terasa kaku, mau tidak mau Yuta terpaksa bangkit. Dia sempat mengira mereka akan berlaku kasar, tetapi nyatanya Yuta diperlakukan dengan sangat baik. Mereka mengawalnya menuju mobil, lalu mengantar Yuta ke tempat tinggal Lauritz. Ketika mobil yang membawanya memasuki kediaman Lauritz, diam-diam Yuta tercengang. Tatapannya tampak penuh kekaguman. Yuta bisa melihat dengan jelas betapa mewah dan megahnya kediaman Lauritz. Bangunan mewah bergaya kolonial ini berdiri di atas tanah yang sangat luas. Bangunannya terlihat kokoh dan megah. Di bagian depan, berjajar pilar-pilar putih besar yang berdiri tegak, berselang-seling dengan jendela-jendela kaca besar yang terlihat anggun. Jalan panjang yang membelah bagian tengah taman di sisi kiri dan kanan, berakhir dengan kolam air mancur tepat di depan teras. Semua yang terlihat saat ini mengingatkan Yuta pada film dan cerita tentang negeri dongeng. Begitu turun dari mobil, Yuta langsung disambut oleh Dani, asisten Lauritz yang semalam datang mengantarkan pakaian tidur. Melihat Dani, Yuta tersadar jika dia masih mengenakan pakaian tidur itu sampai saat ini. "Oh, hai!” sapa Dani dengan suara melengking. “Lo cewek yang semalem nemenin Mas Lau, 'kan?" Yuta hanya mengangguk kecil. "Kenalin, gue Anjani.” Dani melambai manja, kemudian mengulurkan tangan ke arah Yuta. “Asisten pribadinya Mas Lau yang mulai hari ini bakal ketiban tugas tambahan ngurusin lo juga." "Aku kira kamu Dani," ujar Yuta bingung. "Hush!" tegur Dani tidak suka. "Jangan sembarangan sebut nama itu.” “Jadi, kamu itu Anjani dan bukan Dani?” tanya Yuta polos. Dani langsung mendelik keki. "Udah dibilang jangan sebut, malah diulang. Sini gue jelasin, dengar baik-baik! Dani itu nama brojol gue! Nama badan gue! Tapi gue enggak suka!” Dani menggeram sewot sambil menunjuk tubuhnya sendiri, lalu segera menggeleng sebal. Beberapa saat kemudian, Dani mengangkat dagu dengan gaya centil sambil tersenyum bangga. “Anjani itu nama jiwa gue." "Ah …, ternyata begitu." Yuta mengangguk paham. Ternyata Dani adalah sosok lelaki yang berganti haluan menjadi Anjani. Setelah menyadarinya, barulah Yuta mengamati penampilan Dani baik-baik. Rambut bergaya pixie yang diwarnai merah keunguan, pakaian modis yang mencetak sempurna lekuk tubuhnya baik atasan juga bawahan. Secara keseluruhan, Dani memang tidak terlihat seperti laki-laki normal. “Ikut gue!” Dani menarik lengan Yuta sedikit kasar. Yuta langsung terseret karena tenaga Dani cukup kuat. “Mau ke mana?” “Enggak usah banyak tanya, oke?” sahut Dani ketus. “Nurut aja dan lo bakal selamat, paham?” Dani membawa Yuta memasuki rumah, menyusuri ruangan-ruangan besar, menaiki tangga lengkung yang meliuk indah, sampai berhenti di depan sebuah pintu. Semua yang Yuta lihat tampak seperti di dalam istana, mewah, elegan, dan tampak mahal. Pilar-pilar tinggi, ukiran berlapis emas di berbagai sudut, lantai pualam yang mengilap, intinya semua itu membuat Yuta makin terkagum-kagum sekaligus ngeri. Entah akan seperti apa nasibnya di tempat ini? Di saat Yuta masih termangu, Dani membuka pintu dan mendorong gadis itu masuk. Di dalam kamar terlihat ada empat orang perempuan berpakaian pelayan yang sudah siap menanti. Begitu Yuta masuk, dua dari empat pelayan itu mendekat bersamaan, sementara Dani meninggalkannya dan menutup pintu. “Kalian mau apa?” tanya Yuta panik saat salah satu pelayan itu menyentuh bahunya, sementara pelayan lainnya meraih kancing gaun tidur yang masih dia kenakan. “Katanya Mbak Yuta harus mandi,” ujar pelayan yang tengah memegang bahu Yuta. “Saya bisa mandi sendiri!” tolak Yuta ngeri. “Tapi kami ditugaskan untuk memandikan Mbak Yuta..” “Saya enggak mau!” Yuta memegang kancing gaun tidurnya erat-erat. Kedua pelayan itu melangkah mundur, sementara salah satu pelayan yang sedang berada di kamar mandi segera berlari ke luar. Tidak lama berselang Dani masuk bersamanya. “Aduh, lo tuh ya!” Dani mendekat sembari berkacak pinggang dan mengoceh jengkel. “Udah dibilang nurut aja. Kenapa sih susah amat?” Yuta tidak menanggapi omelan Dani, dia hanya berdiri diam dengan tatapan nanar. “Tinggal duduk anteng-anteng, terima beres aja.” Dani kembali melanjutkan omelannya, “Semua kebutuhan lo bakal dilayani. Gitu aja repot!” Akhirnya, Yuta pasrah dan memilih diam saja ketika para pelayan itu membantunya menanggalkan pakaian. Dia juga diam ketika mereka membantunya mandi. Seumur hidup, Yuta belum pernah menerima perlakuan seperti ini. Tidak pernah terbayang olehnya akan merasakan kemewahan yang luar biasa ini. Mandi berendam di dalam kolam berbentuk lingkaran, di tengah kamar mandi yang luas, dengan air hangat bertabur wewangian. Rasanya sungguh sangat dimanjakan. Begitu selesai mandi, para pelayan itu membantu Yuta mengeringkan tubuh dan rambut, juga merias tipis wajahnya. Setelah selesai, baru Yuta diminta berganti dari jubah mandi dengan pakaian yang telah disiapkan. “Pakaian siapa ini?” tanya Yuta saat melihat sebuah gaun berwarna biru langit yang tampak cantik dan anggun. “Enggak usah banyak tanya, Gusti!” desis Dani yang kebetulan baru kembali ke kamar. “Tinggal pake aja, nanya mulu!” “Aku berhak tahu pakaian siapa yang aku pakai,” balas Yuta berani. Dani segera mencibir, “Kalo gue jadi lo, mending gue langsung pake daripada enggak ada baju sama sekali. Lo mau polosan aja?” Cepat-cepat Yuta menggeleng panik. “Amit-amit!” Melihat kepanikan Yuta, sontak Dani tergelak puas. “Makanya pake!” Di tempat berbeda, Lauritz sedang menemui Fadi. Begitu meninggalkan hotel, dia langsung mencari sepupunya. Cukup sulit menghubungi Fadi karena pemuda itu habis mabuk-mabukan sampai pagi. Namun, Lauritz bisa melacak jejaknya dengan mudah. Sepupunya itu melewatkan malam di sebuah hotel, bersama perempuan lain. Ketika Lauritz datang, perempuan yang menemani Fadi semalam masih ada. Perempuan itu tentunya ingin bertahan lebih lama di sana, tetapi Fadi segera mengusirnya. Dia tahu jika kakak sepupunya tidak suka berada satu ruangan dengan sembarang orang. “Gimana semalam?” tanya Fadi setelah mereka tinggal berdua saja. Lauritz langsung mengangguk senang. “Luar biasa.” Fadi terbelalak kaget. “Serius, Mas?” “Bisa lihat gimana muka gue, ‘kan?” “Lo beneran cocok sama dia?” tanya Fadi tidak percaya. Setelah bertahun-tahun melihat Lauritz selalu berganti perempuan hampir setiap minggu, jawaban sepupunya hari ini sungguh terdengar mengejutkan. “Sempurna,” gumam Lauritz puas. Fadi menggeleng tidak percaya. “Gue enggak nyangka lo bisa menaklukan dia dalam semalam.” “Emang lo enggak bisa?” balas Lauritz heran. Setahu Lauritz, Fadi adalah petualang hebat yang tidak pernah mendapat penolakan dari perempuan mana pun. “Selama ini dia selalu jual mahal sama gue, Mas,” sahut Fadi jengkel. Penolakan Yuta adalah penyebab utama Fadi merasa bosan kepada gadis itu. “Mau numpang tidur di kosnya aja susah banget. Ternyata kalau sama orang beken dan tajir dia mau-mau aja. Dasar cewek!” Lauritz sadar jika Fadi salah paham, tetapi dia tidak berniat meluruskannya. Dia malah berkata santai, “Gue mau ambil dia buat seterusnya, Di. Bukan cuma pinjam semalam doang.” Fadi berdecak kagum. “Enggak sangka servisnya luar biasa.” “Boleh, enggak?” desak Lauritz tidak sabar. Wajah Fadi sama sekali tidak terlihat keberatan. Dia malah bertanya dengan senang, “Utang gue lunas, ‘kan?” Lauritz langsung mengangguk membenarkan. “Sesuai janji gue.” “Utang lagi boleh?” tanya Fadi tidak tahu diri. “Bisa dipertimbangkan,” sahut Lauritz santai. “Mantap,” desah Fadi puas. “Jadi, boleh nih?” Fadi mengangguk tanpa beban. “Enggak ada masalah.” “Terus hubungan lo sama dia gimana?” tanya Lauritz blak-blakan. Dia tidak mau ada masalah di kemudian hari. “Putus aja, susah amat,” ujar Fadi tidak peduli. Sama sekali tidak ada raut sedih di wajahnya. “Kalau gitu, gue mau tanya-tanya tentang dia.” “Soal apa?” “Kelemahan dia.” “Maksudnya kelemahan gimana nih?” balas Fadi dengan tatapan kurang ajar. “Titik-titik sensitif, hal yang bikin dia senang, atau apa?” “Bukan yang begitu, Di!” hardik Lauritz jengkel. “Maksud gue, hal apa yang bisa dipakai buat mengancam dia? Bikin dia enggak berkutik dan pasti bakal menuruti semua kata-kata gue.” Untuk beberapa saat Fadi berpikir-pikir, kemudian senyum licik menghiasi wajahnya. “Kayaknya gue tahu.” Fadi segera menceritakan fakta mengenai Yuta yang dia ketahui secara mendetail. Usai bercerita, dia bertanya bangga, “Gimana, apa itu bisa lo pakai buat jadi kartu kunci?” “Sempurna!” puji Lauritz puas. “Gue yakin dia enggak akan bisa menolak tawaran gue.” “Emang penawaran apa yang bakal lo kasih ke dia, Mas?” tanya Fadi penasaran. Namun, Lauritz menggeleng penuh arti. “Cukup gue dan dia aja yang tahu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN