Bab 4. Babak Baru Yang Penuh Api

1118 Kata
Sementara itu di ruang meeting yang telah kosong, Indira masih duduk sendirian. Tangannya meremas buku catatannya. Ia tak menangis. Tapi dadanya sesak. “Kenapa kamu harus muncul lagi, Mas Adnan?” gumamnya begitu lirih. “Haruskah aku tetap bertahan di sini?" Namun sebelum ia sempat bangkit, ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal masuk. "Indira, kamu pikir sudah jadi hebat!! Tapi permainan ini baru dimulai." Indira mengernyit. Bibirnya mengatup rapat. Ia tahu, ini akan jadi babak baru dalam hidupnya. Babak yang lebih keras, lebih menyakitkan, tapi juga kesempatan untuk membuktikan dirinya bukan Indira yang lemah seperti dulu. “Pesan dari siapa ya? Perasaan aku nggak punya musuh di kantor. Atau Jangan-jangan—“ Indira tidak mau berspekulasi, apalagi menuding mantan suaminya yang mengirim pesan. Indira menutup buku catatannya perlahan, mencoba menenangkan degup jantung yang masih belum stabil usai presentasi tadi. Ia hendak meminum air putih di mejanya saat ponselnya kembali berdering. Nama Sherly muncul di layar, dengan nada sambung formal dari jaringan internal kantor. Dengan firasat yang tidak enak, ia mengangkat. “Halo?” “Mbak Indira, Pak Adnan meminta Anda ke ruangannya sekarang,” ucap Sherly cepat, suaranya datar, tanpa basa-basi. Indira menghela napas dalam. Sejujurnya, ia berharap interaksinya dengan CEO baru itu bisa seminimal mungkin. Tapi kini, setelah presentasi yang tanpa rencana itu, ia harus berhadapan langsung dengannya. “Baik. Saya ke sana, Mbak Sherly,” balasnya singkat. “Buat apa aku dipanggil, apa masih kurang mengetesku.” Ia berdiri, menyambar map berisi catatan laporan, meski tidak yakin itu akan dibutuhkan. Langkahnya mantap namun berat menuju ruang paling ujung di lantai eksekutif. Koridor panjang itu terasa dingin, senyap, dan asing—hampir seperti perasaannya terhadap pria di ujung sana. Setibanya di depan pintu kaca berornamen kayu gelap, Indira mengetuk pelan. “Masuk,” terdengar suara dari dalam. Dalam, datar, dingin. Indira melangkah masuk. Sherly berdiri sebentar lalu pamit keluar tanpa menatap siapa pun. Kini hanya mereka berdua di ruangan itu. Adnan duduk bersandar di kursinya, kedua tangan menyilang, matanya memindai Indira tanpa ekspresi. “Kamu cepat juga sampai,” ucapnya datar. “Duduk.” Indira menahan desahan napasnya dan duduk, menjaga bahasa tubuh tetap netral. “Ada yang bisa saya bantu, Pak Adnan?” tanyanya dengan nada formal. Adnan menoleh ke layar laptopnya sejenak, lalu menekan tombol interkom. “Regan, bawa masuk semua berkas laporan keuangan perusahaan Jakarta. Sekarang.” Tak lama kemudian, Regan masuk sambil membawa dua map tebal dan satu laptop tambahan. “Ini semua datanya, Pak. Sudah disusun sesuai periode.” “Letakkan di sini. Dan beri tahu Sherly, batalkan semua jadwal saya sampai pukul delapan malam,” ucap Adnan tanpa menoleh. Regan sempat melirik Indira sekilas, seperti ingin bicara, namun akhirnya hanya mengangguk dan pergi. Adnan mendorong map ke arah Indira. “Saya ingin kamu selesaikan ini semua hari ini. Sebelum jam tujuh. Softcopy dan hardcopy. Lengkap.” Indira memandangi tumpukan dokumen itu. Dahi berkerut halus. “Hari ini, Pak?” tanyanya, tetap menjaga nada. “Ya. Masalah?” Adnan menjawab cepat, seperti menantang. Indira menarik napas, lalu menatap pria itu. “Ck, ternyata benar dugaanku, dia belum puas ingin mengujiku,” batin Indira. “Saya rasa ini pekerjaan yang biasa dikerjakan tim dalam dua atau tiga hari. Bahkan, pastinya perusahaan di Jakarta memiliki tim internalnya sendiri untuk laporan-laporan ini.” “Kalau kamu merasa tidak mampu, katakan saja. Saya bisa cari orang lain,” jawab Adnan tajam. Ucapan itu seperti tamparan halus yang disengaja. Indira menahan nada ketusnya, memilih berbicara tenang. “Saya tidak bilang tidak mampu. Saya hanya ingin memastikan ekspektasi Bapak tetap realistis.” Adnan menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya sulit dibaca. “Tadi kamu cukup percaya diri di ruang rapat. Sekarang kamu terlihat ragu. Saya hanya ingin tahu ... mana yang sebenarnya Indira Febriana?” Indira tersenyum tipis. Senyum profesional yang tidak menyentuh mata. “Keduanya. Karena saya manusia, bukan mesin.” Adnan mendadak tertawa. Pelan dan dingin. “Bagus. Kalau begitu, buktikan hari ini. Selesaikan laporan ini. Dan tunjukkan kalau kamu memang pantas duduk di lantai ini.” Indira berdiri perlahan, tangannya meraih map. “Baik. Akan saya usahakan selesai sebelum pukul delapan.” “Bukan ‘usahakan’. Saya minta hasilnya. Hari ini,” balas Adnan cepat. Indira tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dan melangkah keluar. Namun sebelum ia menyentuh gagang pintu, suara Adnan kembali terdengar. “Indira.” Langkahnya terhenti. Tapi ia tidak menoleh. “Saya tidak memintamu keluar dari ruangan ini! Kamu kerjakan tugas itu di sini!” Indira memejamkan mata sejenak, “benar-benar keterlaluan nih orang!” Ingin sekali ia memaki pria itu, tapi hanya bisa menahan di dalam hatinya saja. “Kalau kamu keluar, berarti kinerja kamu yang dianggap kompeten oleh Pak Wisnu itu hanya omong kosong saja!" Wanita muda itu menarik napasnya dalam-dalam, kemudian membalikkan badannya. “Di mana tempat saya bekerja? Di meja Bapak, kah? Atau di meja meeting itu?” Suara Indira terdengar tegas. Pria itu tersenyum miring. “Kamu bisa mengerjakan di mana pun, bahkan kamu mau duduk di lantai pun tidak masalah. Yang terpenting kamu kerjakan di ruangan ini.” Sudut bibir Indira melengkup tipis, suara ketukan sepatu stilettonya kembali terdengar. Ia menaruh map tebal yang sempat ia bawa ke atas meja Adnan dengan hentakan kerasnya. “Boleh saya pinjam laptopnya, atau perlu saya kembali ke ruangan untuk mengambil laptop sendiri?” tanya Indira sembari melirik laptop yang ada di meja tersebut. “Terserah,” jawab Adnan dengan mengedikkan bahunya, seolah-olah sedang meremehkan wanita itu. Tanpa banyak bertanya lagi, Indira duduk berseberangan dengan Adnan, lalu mengambil laptop tersebut. Adnan menarik napasnya dalam-dalam, hawa dingin yang sejak tadi ia rasakan mendadak panas. Dan, Indira mulai tenggelam dengan pekerjaan yang menurutnya tidak wajar. *** Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 wib. Indira semakin sibuk dengan membolak balik berkas keuangan lalu menatap laptop dengan jemarinya begitu lincah menguasai tuts keyboard. Sementara Adnan pun tidak bergerak di kursi kebesarannya, bahkan ia pun sibuk dengan memeriksa beberapa laporan dari semua divisi. Tidak ada perbincangan di antara mereka berdua. Namun ... “Buatkan saya kopi.” Tiba-tiba saja Adnan bersuara. Namun sayangnya, tidak ada tanggapan dari Indira. “Kamu dengar saya, Indira!” seru Adnan yang sudah bersabar dalam beberapa detik menanti jawaban. “Eh, maaf Pak, ada apa ya?” tanya Indira dengan mengerjapkan matanya berulang kali, seakan baru menyadari jika pria di hadapannya berbicara padanya. “Saya minta kopi!” “Oh, kopi, tunggu sebentar Pak, Saya pinjam line teleponnya.” Indira dengan sikap tenangnya memiringkan tubuhnya sembari menggapai line telepon yang berada dipojok sebelah kiri. Bola mata Adnan mengikuti gerakan mantan istrinya. “Halo Mbak Sherly, Pak Adnan minta dibawakan kopi. Teri—“ Adnan langsung meraih gagang telepon dari tangan wanita itu dan menutup keras, hingga Indira terkesiap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN