Suara Regan terdengar jelas di luar ruangan, karena agak berteriak, seakan-akan pemberitahuan itu sangat penting bagi Adnan. Perhatian Adnan yang sejak tadi jatuh pada Indira, mendadak buyar. Dan, pada kesempatan itu Indira menyikut bagian intim Adnan dengan salah satu lututnya.
“Akh!” Adnan terjatuh ke lantai dengan kedua tangannya menangkup bagian intimnya yang begitu perih.
“Indi—“ Suara Adnan tertahan, ia meringis kesakitan. Indira lantas bangkit dari sofa sembari merapikan blazernya, bersamaan itu pula pintu ruangan terbuka.
“Permisi, Pak—“ Regan tidak melanjutkan katanya, melihat bosnya terduduk di lantai buru-buru menghampirinya.
“Pak Adnan kenapa ... mari saya bantu?” tanya Regan seraya membungkukkan tubuhnya, setelah beradu pandang dengan Indira.
“Assalamualaikum, Mas.” Suara yang begitu lembut terdengar. Indira menatap wanita yang begitu teduh wajahnya, penampilannya pun begitu anggun dan mewah, berbeda jauh dengan dirinya.
“Waalaikumsalam, Sayang,” balas Adnan, wajahnya tampak menahan sakit saat dipapah oleh Regan untuk duduk di sofa.
“Maaf, Pak Regan, tadi Pak Adnan terpeleset dan kayaknya ... anu-nya kepentok ujung meja sofa,” ujar Indira berusaha terlihat tidak terjadi apa-apa di antara mereka berdua. “Tadi, saya mau bantu duduk, tapi ditolak, katanya minta dipanggilkan Pak Regan,” lanjut kata Indira, penuh dusta.
Dibalik rintisannya, ujung mata Adnan masih sempat-sempatnya menajam saat menatap mantan istrinya.
“Ya ... ampun, Mas. Sebaiknya kita ke rumah sakit aja,” ajak Priscilla tampak khawatir.
“Sebaiknya begitu ... dibawa ke rumah sakit aja Bu. Takutnya kenapa-napa, nanti bisa bahaya kalau efeknya buruk.” Indira mengompori permintaan Priscilla. Dan, semakin melototlah Adnan.
“Tidak perlu, Cilla. Aku butuh istirahat sebentar saja untuk meredakan rasa sakitnya. Regan, tolong ambilkan saya air hangat saja,” balas Adnan, sembari menarik tangan istrinya dan mengecup tangan Priscilla.
“Baik Pak.” Regan gegas mengambil minum dari dispenser yang tersedia di ruangan tersebut.
Indira berbalik badan ketika Adnan menunjukkan sikap mesranya bersama istrinya. Ia buru-buru mengutip map file yang tadi terjatuh di lantai. Kemudian, merapikan berkas yang ada di atas meja.
“Pak Adnan, saya pamit melanjutkan pekerjaannya di ruangan. Semoga lekas sehat dan keadaannya baik-baik saja,” ucap Indira dengan sikap sopan dan hormatnya, tidak ada kemarahan yang sempat diluapkannya.
“Siapa yang menyuruh kamu keluar? Siapa yang menyuruh kamu mengerjakan di ruangan?” Sayangnya, Adnan tidak bisa berkata seperti itu. Kata hardikan itu tertahan di tenggorokannya.
“Oh, silakan Mbak. Maaf, dengan Mbak siapa namanya?” tanya Priscilla begitu ramah.
“Saya dengan Indira, Bu. Asisten manajer finance di sini, kalau begitu saya undur diri.” Indira pun menjawabnya dengan ramah, dan gegas meninggalkan ruangan direktur, tidak peduli dengan tatapan mantan suaminya yang semakin menajam.
“Kali ini kamu bisa lepas dariku, Indira. Tapi lihat saja besok,” batin Adnan penuh dendam.
***
“Huft, akhirnya keluar juga dari kandang macan,” gumam Indira. Ia menghempaskan tubuhnya ke kursi kerja, lalu menghela napas panjang.
Ia menatap map file yang harus ia kerjakan, tapi setelah dipikir-pikir ia sudah tidak peduli dengan ancaman mantan suaminya. “Apa aku harus cari pekerjaan di perusahaan lain?”
Beberapa saat kemudian, ia baru menyadari sesuatu, diambillah ponsel dibalik saku blazer. Keningnya mengerut melihat ponselnya tidak aktif. “Perasaan baterainya full kok, Kenapa bisa mati hpnya.”
Begitu ponselnya menyala, banyak panggilan telepon dari ‘My Love'. “Sebaiknya aku pulang, buat apa aku kerjakan kerjaan yang bukan kerjaanku,” gerutu Indira sembari merapikan meja kerjanya dan mengambil tasnya.
Namun, baru saja ingin beranjak dari duduknya. Ada pesan masuk diponselnya dan nomor yang tidak dikenal.
“Jangan pikir kamu bisa bebas begitu saja, Indira. Kerjakan tugas yang saya minta itu. Selesaikan hari ini juga. Dan, satu lagi ... kamu harus bertanggungjawab atas kelakuan kamu barusan!”
Alis mata Indira bertautan, jemarinya langsung lincah membalas pesan tersebut. “Masih untung saya menutupi kelakuan Anda yang telah menghina dan melecehkan saya pada istri Anda, Pak Adnan. Jadi ... mohon maaf. Saya tidak bisa menjalankan perintah Anda yang tidak ada di jobdes saya. Terserah kalau Anda ingin memecat saya! Saya tidak peduli!” Pesan itu terkirim.
Wajah Adnan mengeras saat membaca balasan dari Indira. “Kamu nantang saya! Kita lihat apa yang akan saya lakukan padamu, Indira!” balas pesan Adnan.
“Bodo amat, saya tidak peduli! Saya tidak takut,” balasan Indira yang begitu cepat. Hati Adnan semakin meradang dibuatnya.
“Mas ....”
“Mas ...,” panggil Priscilla sembari menggoyangkan lengan Adnan yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.
“Eh, ya,” sahut Adnan langsung menoleh.
“Sibuk chatan sama siapa, aku tuh dari tadi nanya .... itu Mas masih sakit nggak? Kalau masih sakit sebaiknya kita ke rumah sakit?” tanya Priscilla menunjukkan perhatiannya.
“Aku nggak pa-pa, Cilla. Tidak sesakit tadi, tapi kalau dibawa jalan mungkin agak sakit. Kalau besok masih sakit baru aku ke rumah sakit,” jelas Adnan sembari menyimpan ponselnya ke dalam saku dalam jasnya.
“Ya udah, kalau begitu kita ke hotel yuk. Aku belum istirahat sama sekali.”
“Loh kok ke hotel?”
“Mas Adnan, lupa ya? Aku tidak mau tinggal di rumah keluarga Mas selama menginap di Surabaya. Mas, kan, tahu, nenek Mas tidak suka sama aku,” keluh Priscilla, wajahnya terlihat sedih.
Bukan tanpa sebab nenek Adnan tidak suka dengan Priscilla. Lebih tepatnya neneknya Adnan begitu kecewa saat mengetahui cucu pertamanya menceraikan jodoh pilihannya, lalu tak lama menikahi Priscilla. Priscilla sendiri tidak paham mengapa nenek suaminya tidak menyukainya. Sedangkan, untuk kedua orang tua Adnan terlihat biasa saja saat menerima Priscilla menjadi menantunya.
“Baiklah, tapi, kapan-kapan kita menginap di sana, Cilla. Mau bagaimana pun aku bisa berhasil seperti ini berkat nenek dan kakekku juga. Aku tidak mau dibilang cucu yang tidak tahu berterima kasih.”
Adnan tampak kecewa pada istrinya yang sejak dulu tidak mau membaur dengan keluarganya, jika ada acara keluarga pun seperti orang asing, Priscilla seperti menjaga jarak. Berbeda dengan Indira yang cepat membaur, bahkan bisa mengambil hati nenek dan kedua orang tuanya. Tapi, sebaik apa pun Indira di depan orang, tetap saja di mata Adnan penilaian buruk.
“Iya Mas. Kalau begitu ayo kita balik,” ajak Priscilla sembari menarik tangan Adnan. Pria itu langsung menurutinya, dengan menahan rasa sakit di pangkal pahanya ia berjalan perlahan-lahan.
Regan yang menyusulinya dari belakang ada perasaan janggal. “Apa iya pak Adnan sakit begitu karena kepentok sama ujung meja? Atau jangan-jangan sebenarnya ditendang sama Indira, uuy,” batin Regan kepikiran sambil membayangkan, bahunya bergidik membayangkan rasa gilunya.
Mereka bertiga masuk ke dalam lift, dan begitu tiba di lantai tujuh, pintu lift terbuka. Adnan dan Indira kembali beradu pandang.
“Ck, ketemu lagi sama tuh orang,” gerutu Indira dalam hatinya.
“Mari masuk Mbak Indira,” ajak Priscilla dengan ramahnya.
Dengan senyum getirnya, Indira menjawab, “Terima kasih, Bu.” Mau tidak mau, lebih tepatnya terpaksa wanita itu masuk.
Regan memberi ruang agar Indira masuk ke dalam kotak besi itu, dan begitu Indira melewati Adnan, tangan pria itu dengan gerakan halus menyentuh tangan Indira lalu digenggamnya erat-erat.
Seketika itu juga Indira menoleh ....