Bab 2. Perempuan Itu Cantik

1053 Kata
“Kamu pikir ... setelah kamu memberikan tubuhmu, aku akan jatuh cinta padamu! Tidak akan, Indira! Aku hanya terpaksa menikahimu karena permintaan nenekku. Aku sudah punya calon istri, dan bulan depan aku akan menikahinya. Ingat, pada saat itu nanti kamu tanda tangani surat perceraian itu. Aku tidak sudi punya istri kampungan kayak kamu! Dan, hanya Priscilla istriku satu-satunya.” “Dan, ini uang 200 juta buat tubuhmu itu. Aku tidak mau punya hutang padamu! Kelak, jangan pernah menagih ganti rugi apa pun padaku. Aku tidak pernah meminta tubuhmu, tapi kamu sendiri yang menawarkan padaku!” “Baik Mas, aku akan menandatangani. Tidak perlu menunggu bulan depan, sekarang juga Mas Adnan bisa menalakku!" Indira meremas kertas kerja yang ada di mejanya. Hatinya terasa sesak mengingat kejadian empat tahun yang lalu. Pernikahan yang baru berusia dua bulan akhirnya kandas begitu saja. Pernikahan yang dilandaskan perjodohan, tidak bisa dipertahankan walau mahkota yang ia miliki telah diberikan pada suaminya. Ia tak berarti untuk Adnan Rahadian. Ia dibuang begitu saja bak benda tak berharga. “Kenapa kami dipertemukan lagi! Seharusnya jangan dipertemukan kembali!” Indira mengeram pelan sembari mengusap ujung matanya yang mulai berair. *** Satu jam telah terlewati, Indira melewati jam makan siangnya demi menyelesaikan laporan yang harus ia berikan pada Wisnu. Namun, apa daya perutnya terasa perih, lantas ia bergegas ke kantin yang berada di lantai satu. Baru saja masuk pintu lift yang terbuka, langkah kakinya kembali mundur ketika melihat sosok Adnan dengan pria yang ia kenal. Pandangan mata mereka sempat bertemu, dagu Adnan kembali terangkat, dan pintu lift tersebut masih terbuka. “Loh, bukannya itu—“ Pria yang berada di samping Adnan terkejut, namun dalam hitungan detik berikutnya ia tampak tenang. “Sekarang cantik sekali, beda dengan yang dulu,” batin pria itu memuji. “Mbak-nya jadi mau masuk atau tidak?” tanya pria tersebut, berpura-pura tidak mengenal. Indira tersenyum getir. “Tidak, nanti saja, saya menunggu lift selanjutnya saja,” tolaknya dengan mengatup tangannya di dadaa. “Masuk! Jangan menghabiskan waktu menunggu!” tegas Adnan tampak tidak suka dengan penolakan Indira. Pria yang bernama Regan tersenyum getir dengan memainkan bola matanya pada Indira, berharap wanita muda itu untuk segera masuk. Dengan tarikan napas dalam-dalam, Indira akhirnya masuk lift dan mengambil posisi berdiri di sudut pojok, belakang Aidan. “Regan, istri saya sudah kasih kabar, kah?” Dalam keheningan yang tercipta, tiba-tiba saja Adnan bersuara. “Iya, Pak Adnan. Tadi pas acara penyambutan Bu Priscilla sempat telepon saya, katanya nanti sore baru tiba di sini,” jawab Regan. “Oke, nanti tolong kasih tahu resepsionis kalau istri saya langsung diantarkan ke ruangan saja. Dia pasti kecapean datang dari Jakarta.” Entah mengapa suara Adnan saat berbicara agak meninggi, seakan-akan orang yang diajak berbicara posisinya jauh. Padahal asistennya ada di sebelahnya. Atau, mungkinkah disengaja agar Indira mendengarnya kalau mantan suaminya telah menikah. Bodo amat, ini kalimat yang ada di batin Indira. Ia tidak peduli dengan status mantan suaminya tersebut, meski ia tidak munafik hatinya masih sakit. Pintu lift akhirnya terbuka di lantai satu, Aidan keluar terlebih dahulu, lalu disusul oleh asisten pribadinya, setelah itu barulah Indira keluar. Ia langsung berbelok ke arah belakang di mana kantin karyawan berada. Namun baru saja berbelok, langkah kakinya tertahan oleh tubuh Adnan yang rupanya menghalangi jalannya. “Kamu seharusnya tahu, jika di jam kerja semestinya kamu berada di ruangan. Bukannya keluyuran,” tegur Adnan dengan wajahnya yang begitu dingin. Indira mengatur napasnya terlebih dahulu, kemudian mendongak, menatap pria itu dengan tatapan dinginnya. “Saya mohon izin Pak Adnan, tadi saya melewati jam makan siang karena menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu. Dan, sekarang saya ingin mengisi perut, hanya 15 menit saja ... tidak akan lama. Jika sekiranya Pak Adnan keberatan memberikan izin, silakan potong saja gaji saya. Ketimbang maag saya kambuh, lalu pingsan di sini. Pastinya Pak Adnan tidak mau kan punya karyawan sakit-sakitan,” balas Indira dengan sopannya tapi tegas. “Ck.” Pria itu berdecak kesal sembari memalingkan wajahnya. Pada kesempatan itu, Indira bergerak ke samping meninggalkan Adnan yang belum menyadari wanita itu pergi. “Huft ... mimpi apa aku semalam bisa begini keadaannya. Semoga aku tidak banyak berinteraksi dengannya,” gerutu Indira kesal. Sementara Adnan yang kembali menolehkan wajahnya, terhenyak mendapati Indira tidak ada di hadapannya. “Oh, sudah mulai berani dia sama aku. Mentang-mentang dia bekerja. Lihat saja Indira, aku tidak akan tinggal diam begitu saja,” batin Adnan kesal. “Maaf Pak Adnan, kita jadi mau ke ruangan atau ada keperluan lain di sini?” tanya Regan sangat hati-hati. Mengingat semula mereka akan ke ruangan yang telah disiapkan untuk Adnan di lantai delapan. Namun, entah bagaimana malah justru ikutan turun ke lantai satu. “Hmm.” Adnan hanya berdeham sembari menarik ujung jas abu-abunya. Begitu pintu lift terbuka ia masuk kembali. Alis mata Regan naik sebelah, baru paham tujuan bosnya ikutan turun ke lantai satu. “Perempuan tadi itu, Indira bukan, Pak?” Dari pada penasaran Regan bertanya langsung. “Jangan sebut nama perempuan itu, Regan!” sentak Adnan tanpa menolehkan wajahnya. Hampir saja Regan bergidik. “Maaf Pak, saya hanya memastikan saja. Karena wajahnya sangat mirip sama mantan istri Bapak, tapi yang ini sangat cantik, tidak terlihat cul—“ “Tutup mulut kamu, Regan. Jangan mengungkit-ungkit masa lalu. Saya tidak pernah memiliki mantan istri. Istri saya hanyalah Priscilia. Sekali lagi kamu ungkit-ungkit, saya tidak akan segan-segan memindahkan kamu ke pabrik Sidoarjo!” tegas Adnan dengan menajamkan mata elangnya. “Maaf Pak.” Regan menundukkan pandangannya. Lebih baik diam, dari pada ia kehilangan jabatannya. “Nanti kamu ke bagian HRD, minta semua CV karyawan yang menjabat sebagai direktur, manajer, dan asisten manajer. Jangan sampai terlewatkan,” perintah Adnan masih dalam keadaan geramnya, bersamaan pintu lift terbuka di lantai delapan. “Baik Pak Adnan.” *** Sherly sebagai sekretaris CEO menyambut hangat kedatangan pengganti Prayoga, bahkan saat tadi jam istirahat ia sudah mengaplikasi make up yang super super tebal agar terlihat semakin menarik di depan Adnan. Namun sayangnya, usaha untuk mendapatkan perhatian pemilik baru tersebut tak berhasil. Pria tampan itu terlihat dingin dan datar wajahnya. “Mbak Sherly lain kali dandannya biasa saja, jangan sampai ada niatan yang di luar nurul. Pak Adnan sudah punya istri,” tegur Regan sambil lalu, mengikuti langkah Adnan. “Oh, udah punya istri. Tapi ... belum punya simpanan, kan?” Sherly mengerlingkan matanya seraya menatap punggung Adnan yang begitu gagah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN