"Apa? Kenapa dia yang malah terpilih di antara kita?" protes lirih seorang peserta kandidat pada kendat lain di sampingnya.
Bukannya dia merendahkan Awan. Tapi pada kenyataannya, pria itu yang paling minus di antara kandidat lainnya. Hanya Awan satu-satunya kandidat di sana yang tidak memiliki background kuat seperti mereka. Tapi kenapa malah dipilih? Ini rasanya tak adil!
Sedangkan Awan terlihat berseri mukanya. Ia pikir Aluna tak akan memilihnya. Tapi sebelumnya dia sudah pesimis lalu berusaha keras untuk membuat wanita itu memilih dirinya. Tak sia-sia upayanya ternyata. Semua seperti yang ia harapkan juga inginkan.
"Baik, sekian pemberitahuan dariku. Bagi yang lain bisa menghadiri acara pernikahanku nanti, bila berkenan," ujar Aluna mengakhiri sesi.
Asisten kemudian meminta dengan baik para kandidat tadi meninggalkan ruangan ini dan hanya menyisakan Awan saja di ruangan. Itu atas permintaan Aluna. Ia juga meminta asisten tidak menunggunya di ruangan ini. Aluna ingin bicara empat mata saja dengan Awan.
Sekarang tinggal mereka berdua di ruangan ini. Awan menatap lekat Aluna.
"Aluna aku senang kamu memilihku, meski aku penasaran kenapa kamu memilih ku."
"Apakah perlu dijelaskan alasannya?"
"Tidak." Padahal bila diminta mejelaskan pun, Aluna tentu tak bisa menjelaskan dan tak mungkin dia menjelaskan alasan utamanya memilih Awan yang mungkin akan menyinggung pria ini.
Sedangkan Awan berpikir Aluna memilihnya karena pernyataannya tadi dan wanita ini membalas perasaannya. Salahkah bila dia berpikir demikian? Jadi, sepertinya tak perlu ditanyakan lagi. Semuanya sudah jelas.
"Lantas kenapa pernikahannya cepat sekali? Aku kira dalam beberapa bulan ke depan. Tapi pernikahan akan digelar tiga hari lagi. Apa ini tidak terburu-buru?"
"Tidak. Bukankah lebih cepat menikah lebih baik bagi kita?"
Lagi, Awan mengangguk dan merespons positif hal ini. Dia tak menyangka Aluna tak sabar ingin segera menjadi istrinya. Ini bagus, bukan?
"Bila tidak keberatan sekarang kita bahas bagaimana pernikahan kita setelah ini."
"Ya, Aluna, aku tidak keberatan sama sekali. Dimana kamu ingin melangsungkan pernikahan nanti?"
Aluna dan Awan mendiskusikan segala hal tentang pernikahan mereka. Mulai dari tempat, undangan dan lain sebagainya. Sampai hampir sore barulah itu usai. Tak lupa Aluna mencatat semuanya lalu menyerahkan itu pada asistennya. Tentu asistennya itu yang akan mengurus semuanya.
"Aluna. Ini sudah lewat jam makan siang. Kamu belum makan, apa kamu mau keluar dulu untuk makan siang bersamaku?" tawar Awan sebelum dia meninggalkan ruangan.
"Apa kamu punya banyak waktu senggang?"
"Tidak apa, bila kamu menolakku hari ini. Setelah ini kita juga akan sering bertemu untuk makan."
"Ya, aku setuju." Aluna bukannya kejam, menolak diajak makan siang. Tapi jujur saja, banyak hal yang harus dia urus. Urusan di kantor, juga urusan pernikahan kilatnya ini yang memerlukan perhatian ekstra dari yang lain.
Aluna dan Awan kemudian keluar dari ruangan setelah tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Setelahnya, mereka bertukar nomor. Tentu lawak bila mereka akan menjadi sepasang suami istri namun saling tidak mengetahui nomornya.
"Bye, Aluna. Bila ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan telepon aku saja." Awan kembali bicara setelah dia duduk di motor.
Aluna saat ini mengantarnya sampai ke depan rumah. Ralat. Bukannya dia mengantar, tapi Aluna sendiri mau masuk ke mobil, kembali ke kantor.
"Ya, Awan." Aluna Melambaikan tangan kala pria berambut hitam ikal itu sudah melajukan motor di jalanan.
***
"Aluna, Christin bilang kamu sudah mendapatkan suami untuk kamu nikahi apa itu benar?" cecar Elga kala Aluna masuk ke rumah.
Tadi pagi Elga tak ada di rumah. Dia keluar, ada acara bersama keluarga. Selain itu Aluna juga tak bilang padanya bila hari ini dia memilih calon suami. Seandainya tahu, sudah pasti ia akan ikut andil dalam sesi perekrutan ini. Sayang, dia tak diberitahu. Ini memang disengaja oleh Aluna. Ia tak ingin ibunya ini ikut campur dalam urusannya.
"Sudah, Ibu," jawabnya santai sambil duduk di sofa.
"Siapa yang kamu pilih? Ada fotonya?"
"Ada, Bu. Sebentar." Aluna menunjukkan berkas yang di bawanya pada Elga.
Di berkas itu ada data Awan langkap bersama fotonya.
"Kenapa kamu memilih dia?"
"Dia pria paling minim risiko sekaligus senior di kampus dulu, Bu. Aku mengenalnya. Sedangkan yang lain tidak."
"Semoga pilihanmu tepat dan bisa kamu ajak kerja sama dengan baik nantinya."
"Lalu kapan acara pernikahannya akan digelar?"
Aluna menerangkan bila acaranya akan digelar tiga hari ke depan. Dan semuanya sudah diurus Christin. Dia asisten pribadi Aluna di kantor juga di rumah. Elga merasa lega Aluna sudah menemukan calon suami.
Tentu berita mengenai pernikahan Aluna pada akhirnya terdengar juga oleh Abian dan Niam. Namun, mereka mendengar berita itu tepat di hari H pernikahan. Aluna sengaja menyetingnya sedemikian rupa, agar dua orang itu tak menggagalkan rencana pernikahannya.
Di altar pernikahan.
Berdiri di sana Aluna dan Awan berdampingan dengan disaksikan oleh penghulu yang melangsungkan ijab qobul pernikahan.
"Bagaiman pernikahannya? Sah?"
"Sah!"
Terlihat Awan tersenyum lega. Akhirnya dia bisa menikah dengan wanita yang dia impikan sejak dulu. Tak menyanggah saja prosesnya cepat dan begitu mudah, tanpa perjuangan yang berarti.
Aluna dan Awan beradu tatapan setelah saling menyematkan cincin di jari manis mereka. Terlihat tepuk tangan meriah diiringi doa dari para tamu undangan yang hadir. Begitu juga dengan Abian, adik tiri Aluna ini juga hadir dalam pesta pernikahan ini.
"Aluna ... kamu sudah punya Melvin di luar negeri sana tapi kenapa kamu menikah dengan orang asing di sini? Aku kira kamu sungguh gila. Aku tidak tahu bagaimana bila pria itu tahu kamu mengkhianatinya?" Abian tidak tahu syarat yang diajukan Niam pada Aluna. Dia berpikiran bila perusahaan itu akan tetap jatuh ke tangannya.
Berbeda dengan Niam yang juga menghadiri pernikahan sekaligus menjadi wali pernikahan. Sejak tadi, pria itu diam. Dia hanya bicara seperlunya saja. Dia benar-benar tak percaya Aluna bisa mematahkan persyaratan berat yang diberikannya dengan mudah.
Aluna, kamu benar-benar di luar ekspektasi.
Niam mereguk saliva dengan berat kalau melihat senyum lebar berkembang di bibir putrinya yang kini seolah menamparnya keras.
Pernikahan berlangsung dengan lancar. Hingga acara berakhir dan semuanya pergi meninggalkan Aluna dan Awan sendiri. Terlihat Aluna melingkarkan tangannya pada lengan kokoh Awan di balik baju pengantin yang pria itu kenakan saat ini, mengirimnya ke sebuah ruangan.
Aluna meminta Awan duduk, lantas ia menyodorkan sebuah berkas sembari duduk.
"Apa ini?"
"Kamu buka dan lihat isinya. Setelah selesai membaca baru tandatangani." Awan mengerutkan kening tak mengerti dengan apa yang diucap Aluna.
Barulah ia paham setelah membacanya dengan cermat sampai halaman terakhir dokumen yang ada di hadapannya.
"Jadi, kita hanya nikah kontrak?" pekik Awan dengan raut muka kecewa.
"Ya, selama setahun."