Aluna terlihat tenang, berbeda dengan Awan yang terlihat gemetar setelah terungkap fakta yang sebenarnya dia menikah kontrak dengan Aluna. Pantas saja jika semuanya terasa mudah tanpa halangan berarti sedikitpun. Rupanya ini maksudnya. Seandainya saja Awan tahu. Tapi semuanya sudah terjadi dan tak bisa diputar ulang kembali. Seandainya bisa, ia akan perjelas, pernikahan macam apa yang dia ikuti? Bila tahu jadinya seperti ini ia akan menyarankan pernikahan resmi atas dasar saling suka bukan pernikahan kontrak seperti ini.
Awan masih tercenung menatap lembaran dokumen di hadapannya dengan tangan gemetar. Sedangkan Aluna dengan sabar menunggu pria itu memberikan jawaban. Dia tidak mendesak karena dia tahu seperti apa rasanya, kurang menyenangkan.
Aluna sendiri sengaja baru mengeluarkan kontrak pernikahan setelah pernikahan usai, juga menjelaskannya di akhir seperti ini untuk menghindari penolakan. Bila semuanya sudah terjadi, sulit untuk menolaknya. Ia tak ingin ada penolakan. Semuanya harus sesuai yang direncanakan. Perusahan Niam harus jatuh ke tangannya, bukan Abian.
"Aluna ... ini ... kenapa jadi pernikahan kontrak?"
"Maaf, bila aku tak menjelaskannya di awal padamu. Ini karena mendesak. Waktuku tak banyak untuk mengungkapnya. Aku sangat senang sekali bila kamu bersedia membantuku." Aluna mencondongkan tubuhnya maju, mendekat pada Awan. Membuat jantung pria itu berdebar hebat.
Kecewa jelas, rupanya pernikahan ini tak seperti yang Awan bayangkan. Apa yang bisa dia lakukan setelah nya? Dia terikat beberapa aturan di sini. Padahal dia sudah membayangkan juga bersiap dengan malam pertamanya ini. Mendadak dia lemas seketika.
Aluna tentu bisa melihat itu dengan jelas gurat kecewa di muka Awan. Tapi mau bagaimana lagi, pernikahan ini memang sekadar bisnis bagi Aluna. Bukan maksudnya untuk menyakiti Awan. Tapi, dia terpaksa melakukan ini karena Abian.
"Ya, aku sudah baca semua persyaratannya. Mungkin semuanya berawal dari sebuah pernikahan kontrak, tapi pasti ada kesempatan untuk menjadi pernikahan sungguhan." Aluna terdiam sejenak sebelum menjawab.
Dia tidak tahu pasti Awan kenapa bicara begitu? Apakah Pria itu mulai merayunya atau bagaimana? Apapun itu, ia tak peduli. Yang ada saat ini kontrak harus disetujui kedua belah pihak.
"Jadi, kamu setuju dengan kontraknya? Ini hanya persyaratan dariku, bila kamu ingin menambahkan untuk menyempurnakan, silakan."
"Kurasa belum ada. Nanti bila ada aku akan memberitahukan padamu." Awan menjawab dengan berat hati.
Meski kecewa, ia berharap seiring berjalannya waktu Aluna akan berubah pikiran dan menjadikan pernikahan ini pernikahan selamanya bagi mereka.
"Nona Aluna, mobil sudah menjemput di depan." Christin datang dan masuk ke ruangan.
Di depan sana memang ada mobil pengantin yang sudah dipersiapkan untuk membawa pengantin, mengantarnya pulang.
"Ya, terima kasih kami akan segera ke depan."
Aluna beranjak dari tempat duduk, Awan mengikuti berdiri kemudian bergeser di samping Aluna. Masih tertinggal rasa kecewa juga sedih di lubuk hatinya sana. Dia membesarkan hatinya sejak tadi.
Awan, tak ada jalan pintas dan mudah untuk meraih sesuatu. Terlebih untuk mendapatkan sesuatu yang besar. Ada sesuatu yang harus dikorbankan juga diperlukan upaya yang keras untuk mendapatkannya.
"Awan, kita pulang sekarang."
"Ya, Aluna." Awan mengikuti Aluna keluar dari ruangan menuju ke mobil yang terparkir di depan yang sudah menunggu mereka sejak beberapa menit yang lalu.
Mereka berdua duduk di kursi belakang, berdampingan sebagai pengantin baru. Meski jarak duduk mereka dekat, namun Awan bisa merasakan jarak di antara mereka.
Mobil berhiaskan bunga mawar merah di bagian depan itu kemudian melaju dengan pelan menuju ke rumah Aluna. Bisa dilihat, Aluna tersenyum tiada henti. Ini berarti dia menang, perusahaan Niam akan diwariskan padanya, bukan Abian. Tak ada yang perlu ia khawatirkan lagi. Hanya tinggal menunggu waktu saja perusahaan itu akan berada dalam genggamannya.
Sedangkan Awan hanya memerhatikan senyum Aluna di tengah rasa kecewanya yang masih belum sembuh. Berharap ini semua hanya mimpi dan tak akan menjadi pernikahan neraka baginya nanti. Meski dia pun sebenarnya ada misi dari ayahnya.
"Awan, aku harap kamu kerasan tinggal di rumah ini bersamaku," cicit Aluna tanpa rasa bersalah sedikitpun pada Awan, turun dari mobil.
Awan dalam mobil masih diam tak bergeming, membuat Aluna sampai menarik tangan Awan, menariknya turun dari mobil. Di depan sana terlihat Elga sudah menunggu kedatangan mereka berdua.
"Aluna ... Awan ... kalian berdua segera masuk, ini sudah malam."
"Ya, Ibu." Bahkan setelahnya dengan cepat Aluna melepas tangan Awan.
Awan masih membeku dan mencoba beradaptasi dengan apa yang dilakukan oleh Aluna padanya. Sekali lagi ia coba tepis dan usir rasa resah yang mulai merayap di hatinya. Dia pun jalan di belakang Aluna menuju ke kamar pengantin.
Kamar ini bahkan juga dihias selayaknya kamar pengantin sungguhan. Ada kelopak mawar merah bertebaran di lantai juga tempat tidur berseprai putih. Membuat suasananya kian romantis. Sayang, ini semua bukan sungguhan.
"Awan, kamu terlihat lelah. Apa kamu perlu sesuatu?"
"Tidak." Awan kemudian duduk di tepi kasur, menjelajahkan pandangan ke seisi kamar, yang kini menjadi kamarnya. Entah, Aluna tidak tahu atau memang tutup mata kala melihat gurat sedih di muka Awan. Ia tak lagi bertanya atau meminta pria itu mempermudah dirinya sendiri selama berada di sini.
Aluna yang merasa gerah seharian mengenakan baju pengantin kemudian melepas baju itu. Tepat di tengah, resleting yang dia buka berhenti tak bisa ditarik lagi. Ia pun terus menarik namun tetap saja, posisinya tak berubah.
Hiss!
Awan memerhatikan itu. Ia pun refleks berdiri bergeser ke sisi Aluna. Tanpa diminta pun, dia memegang resleting Aluna.
"Biar aku bantu saja." Suara Awan lirih di telinga Aluna.
Sejenak Aluna membeku kala merasa sapuan napas Awan yang terasa tak hanya meniup daun telinga tapi juga lehernya. Rasanya ia kaku tak bisa bergerak.
Awan sejenak memerhatikan leher jenjang Aluna. Membuatnya mereguk saliva dengan berat. Dia tak bisa menyentuh sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya ini. Namun, tanpa sengaja hidung menjulang Awan menyentuh leher Aluna, yang membuat Aluna semakin membeku dengan deru napas yang menderu.
"Awan ... apakah kamu bisa menarik resletingnya?" Suara berat Aluna memecah kesunyian di antara mereka.
"Oh, bisa." Awan pun menarik hidungnya dari leher Aluna dengan cepat. Lantas ia tarik resleting gaun pengantin itu sampai terbuka sepenuhnya.
"Terima kasih, Awan." Setelahnya Aluna bergeser ke lemari yang sudah terbuka pintunya untuk berganti baju di sana.
Posisi pintu lemari yang terbuka persis berada di depan Awan, menutupi pandangan pria itu menembus tubuh polosnya. Aluna berganti baju dengan cepat dengan piyama. Setelahnya ia menarik pintu dan menutupnya kembali. Membuat Awan menghela napas berat melihat tampilan Aluna sekarang yang terbungkus di balik setelan baju panjang ini. Tak seperti yang diharapkannya. Dimana pengantin baru biasanya memakai baju tempur seksi di depan pasangannya.
Tapi kabar baiknya, mereka tidur seranjang di bed king size ini.
"Awan, kamu tidak ganti baju?"
"Ya, aku akan ganti baju sekarang." Awan sudah membawa baju dalam koper ke rumah ini sebelumnya. Dan entah siapa yang menata semua bajunya dengan rapi di lemari. Yang jelas, dia bergeser ke sana untuk mengambil baju.
Di saat Awan melepas baju di hadapan Aluna, wanita itu memejamkan mata untuk menghindari menatap tubuh Awan.
Awan selesai ganti baju setelah melepas baju pengantin. Dia hanya memakai celana pendek dan bertelanjang d**a. Di rumahnya sana, dia terbiasa tidur dengan d**a polosnya.
"Aluna, boleh aku tidur di sampingmu?" Aluna membeliak kala melihat d**a bidang Awan.
"Kamu tidak pakai atasan?"
"Aku tak bisa tidur dengan sehelai baju menutup bagian atas."
"Oh, begitu." Aluna tak berani menatap lama d**a bidang Awan. Dia menarik pandangan kemudian memunggungi Awan yang kini berebah di sampingnya. Sungguh, suasana terasa canggung sekali.
Awan menatap punggung Aluna.
Aluna ... kenapa kamu memunggungiku begini? Bagaimana caranya aku membuatmu menatapku?
Awan putar otak untuk menarik perhatian Aluna.
Hiss!