"Aluna ... aku tidak tahu apa saja yang kamu lakukan selama di Belanda sana. Maukah kamu cerita padaku?" Awan memang tidak tahu apa saja aktivitas wanita itu berapa tahun yang lalu. Jujur, dia ingin tahu itu.
Aluna berbalik menatap Awan. Jarak mereka dekat sekali. Tatapan mereka beradu, membuat Aluna merasa semakin canggung menatap mata teduh itu di balik selimut. Tidur pun mereka berada dalam satu selimut. Dalam semalam mereka yang awalnya hanya sebatas senior dan junior di kampus sekarang tidur seranjang sebagai pasangan suami istri. Aluna kira ia bisa bersikap biasa saja. Rupanya sulit sekali menghadapi Awan saat di ranjang.
"Aku ... aku hanya berkutat dengan buku saja selama tinggal di sana." Aluna menarik pandangan dari mata Awan, lantas beralih menatap d**a bidang Awan yang membuatnya berdesir halus.
Awan tersenyum tipis, rupanya ia berhasil menarik perhatian Aluna. Berhasil membuatnya bercerita sampai malam. Aluna, juga bertanya padanya Apa saja aktivitas Awan belakangan ini. Terlihat Aluna menguap dengan mata yang berair, membuat Awan menyudahi percakapan mereka.
"Bila mau aku tunjukkan koleksi buku bagus di toko, besok."
"Ya, aku belum pernah berkunjung ke tokomu. Sepertunya toko bukumu punya koleksi banyak buku menarik."
"Ya, kamu pasti tak akan kecewa setelah melihatnya."
"Awan, mataku berat sekali."
"Tidurlah." Detik itu juga Aluna memejam mata. Mungkin karena terlalu lelah atau ngantuk berat sampai dia tak sempat beralih posisi memunggungi Awan.
Sedangkan Awan. Dia belum bisa tidur. Ini kali pertamanya bagi pria pemilik alis tebal ini tidur bersama seorang wanita, meski tidak melakukan apapun. Bersama kekasihnya dulu hubungannya biasa saja, tak sampai ada kontak fisik atau selebihnya. Tapi karena tidak sejalan, dia putus.
"Aluna ... aku harap kamu akan benar-benar menjadi istriku." Awan menatap lekat gadis berambut cokelat panjang ini. Pelan ia usap lembut pipi Aluna yang bak porselen dengan tangan gemetar.
Sungguh, bisa menyentuh seseorang yang benar-benar dicintai adalah sesuatu yang juga bisa membuatnya berdebar. Awan lantas memegang helaian ujung rambut Aluna, yang kemudian ia cium. Setelahnya dia tertidur.
Pagi hari, Aluna terbangun lebih dulu. Awalnya ia kaget ada Awan yang tidur di sampingnya, namun setelah kesadarannya terkumpul barulah dia ingat semalam dia sudah menikah dengan pria ini. Sejenak ia tatap Awan yang terpejam. Dadanya kembali berdesir melihat bulu panjang nan lentik di sana.
Kenapa aku malah mengamati Awan?
Aluna beringsut turun dari ranjang lalu keluar dari kamar meninggalkan Awan yang masih terpejam.
Di saat Awan bangun, Aluna tak ada di kamar. Ia pun terjangkit kaget. Padahal hari masih pagi dan dia tidak bangun kesiangan. Tapi Aluna sudah pergi saja. Ini membuatnya tak nyaman. Ia pun segera mencari kamar mandi untuk membersihkan diri.
Awan sendiri terbiasa on time di rumahnya sana. Dia terbiasa mandi pagi dan sudah rapi di pagi hari.
"Permisi, di mana kamar mandinya?" Awan bertanya pada pelayan yang berpapasan dengannya di luar kamar.
Dalam kamar Aluna sendiri tak ada kamar mandi pribadi. Baginya ini aneh, harusnya di rumah sebesar ini ada kamar mandi dalam. Tapi, itu tidak penting sekarang.
"Tuan, kamar mandinya ada di sana." Pelayan menunjuk ke sebuah arah.
"Terima kasih."
Awan kemudian menuju ke arah yang tadi ditunjuk oleh pelayan. Di saat Awan keluar dari kamar mandi, tak sengaja ia menatap ke sebuah arah, ruang makan.
Di sana terlihat dua wanita duduk di kursi, sedang menyantap hidangan sarapan pagi. Mereka memang Aluna dan Elga.
Lalu, bagaimana dengan sarapanku? Apa aku tidak diundang ke sana?
Awan agak lama berdiri menatap dua orang wanita itu menikmati sarapan pagi berhiaskan senyum di bibir mereka. Barulah di saat ia berbalik kembali ke kamar, Aluna datang.
"Awan, kamu sudah bangun rupanya."
"Sepertinya kamu terbiasa bangun lebih awal di sini? Kamu sudah sarapan?"
"Aku sudah sarapan. Oh, ya, kamu bisa sarapan sekarang. Biar pelayan yang meladenimu." Setelahnya Aluna memanggil pelayan untuk meladeni Awan, lantas ia sendiri masuk ke kamar meninggalkan Awan yang membeku, tak bisa berkata.
Ia benar-benar salah menilai Aluna. Ia pikir wanita itu akan bersikap lembut padanya setelah dia menjadi suami. Rupanya ia salah besar. Aluna dingin sekali padanya.
"Tuan Awan, silakan sarapan pagi." Pelayan datang sesuai dengan perintah Aluna.
"Ya, Bi." Awan kemudian mengikuti pelayan yang menuntunnya menuju ke ruang makan. Di sana hanya ada dirinya sendiri.
Rasanya kurang nyaman sarapan sendiri. Tapi ia bisa apa karena terikat kontrak pernikahan dengan banyak syarat di dalamnya. Awan makan sendiri. Ia mencoba bersabar dengan sikap Aluna yang dingin padanya.
Selesai sarapan, Aluna kembali bertemu Awan di depan kamar. Aluna membawa tas yang dia sampirkan pada bahu, sedangkan Awan akan bersiap untuk berangkat ke toko buku.
"Kamu mau ke mana?"
"Kamu sendiri?"
"Aku mau ke toko buku. Kamu mau ke sana dulu sebelum berangkat ke kantor?" Awan mencoba menepati janjinya semalam. Ia bukanlah pria yang ingkar janji.
"Sebenarnya aku mau ke kantor. Tapi bila sebentar saja tak masalah sepertinya."
"Kita berangkat sekarang bila begitu. Tunggu dulu." Awan masuk ke kamar lalu kembali dengan membawa kunci motor. Aluna yang melihat itu tersenyum tipis.
"Awan, sebaiknya kamu bareng aku saja. Taruh kembali motormu. Nanti aku antar kamu." Dengan berat hati Awan menaruh kembali kunci motor yang diambilnya ke kamar.
Padahal dia ingin membonceng Aluna dengan motornya. Bahkan, dengan ditandatanganinya kontrak semalam membuatnya tak punya hak untuk menolak atau mengatur wanita ini. Ia pun menurut saja, mengikuti Aluna masuk ke mobil. Beruntung sopir yang membawa mobil, bukan Aluna. Apa jadinya bila Aluna yang menyetir dan Awan duduk di sampingnya? Terlihat lawak sekali!
Mobil kemudian melaju menuju ke toko buku Awan. Aluna hanya sekilas melihat toko tersebut. Maka ia meminta pria itu menunjukkan arahnya pada sopir.
"Toko itu ada di kawasan Blok C, Pak."
"Baik, Tuan." Mobil kemudian melaju ke sana.
Awan dan Aluna tiba di lokasi. Sopir menunggu di mobil setelah dua orang itu turun.
Di toko buku, Awan mengajak Aluna berjalan-jalan melihat seisi toko. Ada banyak rak di sana yang berderet rapi. Toko itu lumayan luas dan lebih besar daripada gramedia. Di bagian paling ujung ada ruang sejenis kantin dan tersedia beberapa makanan di sana
Hanya saja di sana tak boleh membawa buku untuk dibaca, selain buku yang sudah dibeli.
"Toko ini nyaman sekali, membuat pengunjungnya betah berlama-lama di sini," puji Aluna.
"Menurutmu begitu?" Aluna mengangguk.
"Ini, buku bagus yang kumaksud. Mungkin kamu suka. Serinya lengkap dari seri pertama sampai seri akhir." Awan menunjukkan buku syair karangan salah satu penyair terkenal.
Awan ingat dengan jelas dulu Aluna suka membawa buku syair kemanapun dia pergi. Kala di kampus santai dan kegiatan kosong gadis ini membaca tumpukan buku syair.
"Astaga ... aku tak menyangka kamu masih ingat saja dengan kesukaanku." Aluna merasa tersanjung.
Ia menatap deretan buku syair pada rak di hadapannya. Ia tertarik pada buku soneta yang ada di deretan rak paling atas. Saat ia mengambil, tangannya tak sampai. Sampai ia jinjit untuk Mengambil buku yang berhasil dia dapatkan. Namun setelah itu tubuhnya oleng.
"Aluna, Awas!" Awan dengan sigap menangkap Aluna yang hampir jatuh. Ia meraih pinggang ramping wanita bermata bulat ini.
Untuk sesaat tatapan mereka bertemu, namun Awan segera menarik tangannya dari pinggang Aluna.
"Terima kasih." Aluna kembali berdesir dan merasa tak nyaman dalam jarak sedekat ini, lantas ia membuat jarak.
"Kamu bilang saja biar aku ambilkan."
"Ya." Aluna, kemudian mengalihkan perhatian dengan membaca buku yang sudah di bawanya.
Baru dua lembar halaman yang dia baca, telepon berdering. Dari nama penelepon muncul nama Niam.
"Halo, Ayah ada apa?"
"Kamu di mana sekarang? Aku tidak melihatmu di kantor. Kamu ke ruanganku sekarang."
"Aku sedang di luar. Baik, aku akan ke sana, Ayah." Setelahnya panggilan berakhir.
Aluna beralih menatap Awan. "Awan, aku harus kembali ke kantor sekarang. Apa kamu mau ikut denganku untuk menemui ayah?"