Eps. 8 Pensiun Dini

1232 Kata
Awan masih diam belum menjawab. Dia sedikit tersentak kaget dengan ajakan mendadak Aluna. Ia belum ada persiapan sama sekali untuk menemui Niam, mertuanya. Ralat! Mertua kontrak maksudnya karena pernikahan ini hanyalah sebuah pernikahan kontrak. "Kamu yakin aku harus ikut denganmu?" "Ya, tentu. Kamu suamiku sekarang. Kamu harus menemaniku kemana aku pergi. Terutama saat bertemu dengan ayah." Aluna menatapnya penuh harap, membuat Awan tak tega untuk menolak. "Ya, tunggu sebetar bila begitu. Aku akan beritahu pekerja ku untuk datang lebih awal sekarang." Awan kemudian menelepon pekerjanya, memberitahunya agar datang ke toko buku sekarang. Penting! Ini masalah rumah tangganya, meski hanya sebuah kontrak. "Pak Awan, Anda bisa pergi sekarang." Pekerja Awan, seorang wanita datang beberapa menit setelahnya. "Pagi, Bu Awan." Tak lupa wanita itu juga menyapa Aluna. Aluna agak rikuh mendengarnya dipanggil demikian. Bu Awan? Ini cukup menggelikan, memang. Tapi inilah adanya dirinya sekarang, menjadi istri Awan. Ia membalasnya dengan senyum tipis, mencoba untuk membiasakan dengan panggilan baru ini yang mungkin akan didengarnya lagi beberapa kali setelah ini. "Awan, ayo kita pergi. Ayah sudah menunggu sekarang," imbuh Aluna tak sabar. Menunggu lebih lama lagi mungkin akan membuat dirinya ditelepon lagi oleh Niam. Niam sendiri sangat perhatian dengan waktu. Ia tak segan menelepon lagi bila Aluna datang tidak tepat waktu. Dia tegas seperti itu bukan pada Aluna saja tapi juga pada seluruh staf yang ada. Jarang bahkan Hampir tak ada pekerja di perusahaannya yang datang terlambat setiap harinya. Semuanya datang lebih awal dari jam pekerja di perusahaan lainnya. "Ya, Aluna." Setelah menitipkan kunci pada pekerjanya, Awan masuk ke mobil bersama Aluna. Mobil melaju kemudian tiba di perusahaan. Awan turun terlebih dulu kemudian membukakan pintu untuk Aluna. "Terima kasih sudah memperlakuanku dengan baik." Aluna turun dari mobil bak seorang putri. Bersama Awan, ia kemudian masuk ke perusahaan. Mereka masuk ke sebuah lift khusus direksi menuju ke lantai tujuh, lantai di mana Niam berada. Perusahaan ini sendiri terdiri dari 20 lantai. Tak bisa dibayangkan setinggi apa pencakar langit ini. Aluna mengetuk sebuah pintu ruangan yang tertutup rapat. Awan hanya diam membisu di sampingnya. "Masuk." Aluna kemudian mendorong pelan pintu hingga terbuka. "Oh, kamu datang dengan suamimu." "Pagi, Ayah." Awan menyapa sopan Niam, masuk mengikuti Aluna. Niam hanya memanggil namanya di tengah senyum tipis alakadarnya. Ya, Niam belum mengenal menantunya ini. "Ya, Ayah." "Duduk." Awan dan Aluna kemudian duduk bersisihan di kursi, menghadap lurus Niam. "Berdasarkan kesepakatan kita sebelumnya, maka Ayah nyatakan dengan ini bila Ayah akan pensiun dini dan menyerahkan semuanya padamu Aluna dan Awan." Aluna tersenyum senang. Awan tersentak kaget. Pemilik tatapan teduh ini kemudian berpikir ke mana-mana. Menyebut kata kesepakatan, membuatnya berpikir bila pernikahan ini semata untuk bisnis saja. Pernikahan kontrak yang diadakan untuk mewarisi perusahaan Niam. Salahkah yang dia pikirkan? Meski ia belum yakin karena tak ada bukti. Tapi bila bisa ia tidak ingin memercayai motif Aluna menikah dengan dirinya hanya karena bisnis semata. Aluna bukan orang seperti ini. Awan mencoba menepis pikiran negatif yang ada saat ini. "Terima kasih, Ayah." Aluna benar-benar meraih kemenangan. Berbeda dengan Awan yang masih bingung. Sumpah dia tidak tahu harus berbuat apa? Ini suatu berkah atau musibah tiba-tiba saja dia disebut ikut mewarisi perusahaan tanpa usaha sedikitpun? Bagai mendapat durian runtuh saja! Manis sekali! Ini seperti sebuah cerita dalam novel saja. Apakah ini artinya aku bisa menjalankan misiku sekaligus dengan mudah? Kenapa jalanku dipermudah ya? Aku mendapatkan sesuatu yang kuinginkan beruntun tanpa kerja keras sedikitpun. "Awan, kamu siap, 'kan membantu Aluna?" Ucapan Niam membawa Awan kembali dari kesadaran. "Ya, Ayah. Aku akan sepenuh hati mendukung dan membantu Aluna sebagai istriku, meski aku tak yakin mampu atau tidak." Niam sendiri tak berpikiran panjang. Ia tak peduli seperti apa background Awan. Tapi ia sekedar memenuhi janjinya saja pada Aluna. Toh, background Awan juga tak penting. Ada Aluna yang bisa mengerjakan semua. Bisa dipastikan pasti putrinya ini yang akan memegang kendali. Niam kemudian keluar dari ruangan setelah bicara beberapa saat dengan mereka berdua. Kini, Aluna mengajak Awan masuk ke ruangannya yang ada di lantai delapan, satu lantai di atas lantai lantai Niam. "Awan, kamu mau minum apa? Biar aku panggil pelayan ke sini." "Air putih saja bila ada." Aluna kemudian menekan tombol speaker pada telepon yang ada di meja. Tinggal bicara saja pesan air putih dan s**u hangat. Tak lama setelahnya seseorang datang mengetuk pintu dan masuk dengan membawa minuman yang disebut tadi. "Terima kasih." Awan bicara pada pelayan yang kemudian pergi. Dia tidak begitu terkejut melihat apa yang dilakukan Aluna sebelumnya di rumah. Wanita ini apa saja memanggil pelayan untuk melakukan suatu hal mulai dari hal terkecil. Ini sisi lain yang baru Awan tahu dari Aluna. "Awan, kamu mau membantuku?" "Apa yang bisa kubantu untukmu?" Awan bergeser mendekat pada Aluna. Ia berdiri di samping wanita yang saat ini sedang duduk. "Ini pekerjaanku setiap hari. Aku akan tunjukkan padamu." Aluna bahkan memberitahukan kode sandi laptopnya pada Awan, karena ia kira pria ini bebas dari modus apapun padanya. "Kamu hafal dengan sandi yang baru ku tunjukkan padamu?" "Ya." Awan sudah merekam itu dalam ingatan tanpa perlu disuruh oleh Aluna. Lagi, Tuhan memberikan jalan kemudahan untuknya dalam menjalankan misi dari keluarga. Tidakkah ini suatu keberuntungan baginya? Terlepas dari rasa yang ada di hatinya untuk Aluna. Aluna memberitahu sedikit apa saja yang dia kerjakan pada Awan. Bukan maksudnya untuk meremehkan atau menyindir Awan yang hanya sebagai pemilik toko buku saja. Tentu ini berbeda jauh antara menjalankan sebuah toko dan perusahaan. Tapi meskipun begitu, Awan sedikit banyak harus menguasai ini. Mungkin suatu saat ia benar-benar akan meminta pria itu membantunya, entah itu jadi asisten atau lainnya. Aluna kemudian beranjak dari kursinya bergeser ke kursi untuk menyesap s**u hangat yang keburu dingin bila dibiarkan lebih lama. Saat itu Awan menerima pesan di ponsel. Sejenak ia lihat pesannya. Ayah: Bagaimana, kamu sudah masuk ke perusahaan Niam? Awan : Sudah Ayah, aku sekarang bersama Aluna di ruangannya. Ayah tahu ... Pak Niam juga mewariskan perusahaan ini padaku untuk dikelola. Dan lagi, aku mendapatkan password komputer di sini dengan mudah. Ayah: Kamu memang anak Ayah yang bisa diandalkan. Baiklah lanjutkan misimu di sana. Jangan lupa gali informasi sebanyak mungkin dari Niam. Awan: Baik, Ayah. Setelah telepon terputus Awan kemudian masuk ke folder yang ada di laptop dan membacanya satu per satu dengan cepat tanpa sepengetahuan dari Aluna. Kali ini dia tak langsung beraksi, sekadar melihat-lihat saja. Ini terlalu cepat baginya untuk beraksi, bukan? Masih banyak waktu baginya untuk bergerak. Jadi, ia tenang saja. Dari kejauhan Aluna, beberapa kali menatap intens Awan, namun pria yang ditatapnya terlihat sibuk menatap monitor tanpa rasa curiga dari Aluna. Jangan lupakan senyum tipis di bibir Aluna saat ini. Awan ... dia tidak paham dengan banyak hal menyangkut urusan dengan perusahaan ini kan? Kenapa aku melihatnya dia berbeda sekali saat menatap monitor? Awan kini terlihat seperti seseorang yang paham dan mengerti tentang urusan kantor. Tapi mungkin ini hanya perasaan Aluna saja dan langsung ia kesampingkan rasa itu. Di lain tempat, terlihat seorang pria yang berjalan menemui Niam kemudian membawanya duduk di sebuah ruangan kosong. "Abian, ada apa kamu datang kemari?" Abian merupakan saudara tiri dari pernikahan kedua Niam. Dari kecil mereka berdua tak pernah akur sampai sekarang. "Ayah, aku datang kemari tentu saja untuk menyambut penyerahan perusahaan ini padaku." "Abian, sayang sekali kamu datang terlambat. Perusahaan ini sepenuhnya aku wariskan pada Aluna." "Ayah, bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah sebelumnya Ayah bilang akan mewariskannya padaku?" "Aku sudah mewariskannya pada Aluna karena dia berhasil memenuhi persyaratan dariku." Abian terlihat syok mendengar keputusan yang baru di ketahuinya ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN