"Ayah tidak sedang bercanda, 'kan?" Abian masih tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Baru beberapa saat yang lalu Niam memberitahukan perusahaan ini akan diwariskan padanya. Tapi kenapa secepat ini berbeda lagi dan parahnya itu jatuh pada Aluna? Secara, Abian tahu bila ayahnya ini lebih mengedepankan dirinya dalam hal apapun, sejak dulu sampai sekarang.
"Apa terlihat senyum di wajah Ayahmu sekarang ini?" Niam menampilkan wajah seriusnya, yang membuat Abian tak lagi menanyakan itu.
"Kenapa Ayah mewariskan perusahaan ini begitu saja pada Aluna?" cecarnya tak terima. Jangan lupakan urat di rahangnya yang terlihat mulai mengeras. Tatapannya pun menajam melihat Niam.
Sejenak Niam tertunduk, dengan satu tangan menyangga tubuhnya pada meja. Pelan ia tegakkan lehernya. Ini juga bukan kemauannya berbuat demikian. Apalah daya dia terperangkap pada perkataannya sendiri. Ia yakin akan mematahkan Aluna, nyatanya ia harus rela masuk ke perangkapnya sendiri. Apa yang terucap tak bisa ditarik lagi.
"Abian, kamu tak bisa protes selain menerimanya saja. Ini memang salah Ayah. Mungkin Ayah bisa bangunkan perusahaan lain untukmu."
"Apa? Perusahaan baru? Ayah, Aku hanya ingin perusahaan ini." Menurut Abian, perusahaan baru pasti membutuhkan kerja ekstra untuk membuatnya sampai ke posisi atas. Dan itu diperlukan waktu yang lama, tidak dalam hitungan satu atau dua tahun saja.
Sedangkan Abian sendiri tipe pria yang tidak mau berusaha keras. Dia tipe yang mau langsung enak, mau instan saja. Sebut saja dia tupai besar pemalas! Itu lebih pantas untuknya!
"Kenapa Ayah berikan perusahaan baru untuk Aluna saja dan perusahaan ini untukku?" Abian masih bersikukuh ingin memiliki perusahaan ini. Dia benar-benar tak bisa menerima keputusan sepihak dari Niam. Aluna tak bisa memiliki perusahaan ini!
"Abian, lebih baik kamu selesaikan studimu dulu baru kamu pikirkan perusahaan." Perkataan ini semakin membuat Abian meradang.
"Ayah, aku tetap bisa kuliah dan mengurus perusahaan. Aku mau perusahaan ini tetap jatuh padaku."
Ini benar-benar membuat kepala Niam berdenyut hebat. Masalah ini semakin bertambah pelik saja. Dia berada di tengah, terjepit. Bila terus didesak seperti ini, mungkin dia akan benar-benar stres.
"Abian. Ayah sudah serahkan perusahaan ini pada Aluna. Dan keputusan ini tak bisa ditarik lagi, kecuali dengan satu hal."
"Katakan Ayah, apa itu?" Abian terlihat antusias sekali.
"Ambil sendiri perusahaan ini dari tangan Aluna." Setelahnya Niam keluar dari ruangan. Ia tak mau bicara lebih lama dengan Abian, karena pasti tak akan ada habisnya juga ujungnya.
Kepergian Niam, meninggalkan kekesalan Abian yang semakin mendalam pada Aluna. Niam tidak tahu bila dari sinilah
Aluna dan Abian akan terus berseteru yang akan membuat hidupnya semakin tidak tenang.
Abian menghempas tubuhnya kasar ke kursi. Ia masih tak tahu alasan sebenarnya dia mewariskan perusahaan ini pada Aluna. Tapi itu tak penting sekarang, yang lebih penting ia harus memikirkan sebuah cara untuk merebut kembali perusahaan ini dari tangan saudari tirinya ini.
***
"Awan, kamu paham dengan apa yang barusan kamu lihat?" Aluna kembali ke sisi Awan yang masih menatap monitor.
Awan yang masih membaca informasi dari perangkat canggih di hadapannya itu pasang tampang bodoh di depan Aluna untuk menutupi apa informasi penting barusan dia dapat.
"Sebenarnya aku kurang begitu paham. Tapi aku akan mempelajarinya." Aluna bahkan tak curiga sedikitpun pada Awan. Padahal Awan saat ini akan mengirim pesan pada ayahnya. Terpaksa ia cancel dulu.
"Ini, minum dulu." Aluna malah memberikan segelas minuman dingin pada Awan dari kulkas. Di ruangan ini ada sebuah lemari es. Isinya minuman dingin. Aluna suka pada semua jenis minuman yang dingin, itu sebabnya ada kulkas di ruangan.
"Terima kasih." Awan menerima jus sirsak instan, meski dia kurang suka, namun ia minum juga sampai separuh.
Mereka berdiri bersebelahan dengan jarak dekat sekali. Namun Aluna bersikap seperti biasa. Malah Awan yang sedikit gugup.
"Apa agendamu setelah ini?"
"Mengajakmu berkeliling perusahaan ini."
"Sekarang?"
"Kapan lagi?"
Aluna kemudian keluar dari ruangan, menunggu di depan pintu. Sedangkan Awan masih membeku di tempat. Ia tak percaya saja, Aluna akan menunjukkan seluk beluk perusahaan ini padanya dengan cepat. Ini berarti misi tugas yang diembannya akan semakin lancar saja, tanpa dia perlu banyak bergerak.
"Awan, kamu masih lama?" Terpaksa Aluna memanggil lagi karena yang dipanggil masih saja diam mematung, entah kenapa.
Awan tersadar dari lamunan. Ia mengayunkan langkah panjang kakinya bergeser cepat ke sisi Aluna.
"Kamu mau membawaku ke mana? Butuh pegangan?" Awan memberikan tangannya. Jangan lupakan senyumnya yang menghanyutkan yang mampu membuat Aluna menerima tangan besar itu.
Aluna menyelipkan tangan pada lengan Awan. Dari jarak sedekat ini sejenak dia menghirup aroma parfum Awan, chamomile begitu fresh di hidung dan menenangkan. Namun, saat ini bukan saatnya untuk menikmati aroma tersebut. Dia harus segera mengajak keliling Awan, memperkenalkannya pada yang lain sebagai suaminya. Meski sejenak dia sempat tergoda pada Awan, namun Aluna menepis jauh-jauh pikiran tersebut.
Aku hanya menikah kontrak dengannya sampai beberapa waktu saja. Sudah ada Melvin di sana yang menungguku.
Kemungkinan kami akan menikah tahun depan. Aku tidak boleh jatuh hati padanya.
"Kenapa Aluna kamu menatapku begitu, apa ada sesuatu di wajahku?"
"Tidak." Aluna yang menatap muka Awan, segera menarik pandangan. "Aku akan Tunjukkan semua ruangan yang ada di sini padamu."
"Kamu yakin mau menunjukkan semua ruangan padaku? Kamu tak akan menyesal?"
"Apa yang kamu bicarakan ini?" Awan hanya merespons dengan senyum kecil.
Aluna kemudian mulai berjalan menuju ke ruangan lain yang masih selantai. Dia menunjukkan pantry pada Awan, juga ruangan asisten di sini. Setelahnya, mereka menuju ke lift.
Pintu lift terbuka, namun dalamnya sudah ada seseorang yang masuk lebih dulu. Ada Abian di sana. Saat tatapan matanya beradu dengan Aluna, ia segera menarik pandangan. Tak hanya itu saja, dia melipat kedua tangannya bersedekap.
Aluna berhenti sejenak selama beberapa detik. Enggan masuk ke sana, dan mau keluar lagi, pindah ke lift lain, lift biasa bukan lift untuk para eksekutif daripada harus selift dengan Abian. Namun Awan sudah melangkah masuk duluan, membuat Aluna tak ada pilihan lain selain ikut masuk dalam lift.
Dia kan ... Abian, adiknya Aluna. Kenapa dia dingin begini? Apa keluarga Niam semuanya bertemperamen dingin?
Awan tentu tahu siapa Abian ini. Meski ini kali keduanya bertemu setelah di pernikahan mereka, sebelumnya dia juga sudah mencari informasi tentang adik tirinya Aluna ini.
"Halo, kamu ada di sini juga?" sapa Awan sebagai kakak ipar yang baik. Abian hanya meliriknya saja dengan malas tanpa menjawab. Bila Aluna menurutnya dingin, Abian ini seperti bongkahan es batu. Seratus kali lipat lebih dingin daripada Aluna.
"Abian, dia kakak iparmu. Sapalah dia dengan baik." Aluna akhirnya bersuara.
"Halo ... aku adalah adiknya Aluna, saudara tirinya. Begitu maksudmu?" Abian sedikit meninggikan suaranya lalu beralih menatap remeh Aluna.
Aluna hanya diam saja. Sungguh, ia tak mau bertikai dengan saudara tirinya yang gila ini di ruangan sempit begini. Terlebih ada Awan bersamanya. Ia tak mau saja meladeni kegilaan Abian. Bisa-bisa tak ada habisnya nanti bila terus diladeni.
"Apa kamu puas sekarang karena kamu mewarisi perusahaan ini? Jangan senang dulu." Abian berdecih.
Awan tersentak kaget mendengarnya. Dia baru tahu seperti apa hubungan dua bersaudara ini. Tapi menurutnya wajar saja karena mereka bukan saudara seibu. Yang saudara kandung saja masih bisa berseteru, apalagi saudara tiri. Dia sendiri tidak tahu kenapa Abian juga menatapnya penuh kebencian setelah menatap Aluna dengan sorot mata yang sama.
"Tak perlu menyapaku bila kamu sibuk, adik ipar." Awan mencoba menenangkan situasi yang ada.
"Kamu, jangan pernah memanggilku adik ipar lagi. Ingat itu. Telingaku rasanya gatal dipanggil demikian. Aku bukan saudaranya! Jadi, kamu bukanlah kakak iparku!" Abian memperingatkan. Malahan dia menekan tombol buka, meski belum sampai tujuan. Begitu pintu terbuka dia langsung keluar dari lift tersebut.
Awan menatap Aluna yang diam dengan tubuh gemetar dan tangan terkepal erat di bawah sana.