Eps. 10 Terkuak Alasan Menikah Kontrak

1228 Kata
Awan auto refleks meraih tangan Aluna lalu menggenggamnya. Membuat Aluna nyaris menarik tangannya, namun ia urungkan, karena Awan membawa tangan Aluna masuk ke saku hangat bajunya. "Awan, aku tidak apa-apa." "Aku tahu kamu tidak seperti yang kamu ucapkan. Biarkan begini sebentar saja sampai kamu tenang kembali." Entah, perkataan lembut Awan seolah mampu menyihir Aluna dan membiarkan tangannya berada di sana. Pintu lift terbuka. Saat itu Aluna menarik tangannya dari saku baju Awan. Mereka berjalan seperti sebelumnya, tanpa berpegangan tangan. "Di lantai lima ini adalah ruangan divisi umum." Aluna menunjukkan sebuah ruangan besar yang disekat dibagi menjadi beberapa bagian. Awan hanya mengangguk merespons. Setelahnya Aluna kembali turun di lantai bawahnya. Di sana ada ruang khusus untuk divisi R&D. Setiap lantai di perusahaan ini ditempati divisi yang berbeda dari lantai lainnya. Ia menunjukkan semua lantai pada Awan hingga pada lantai akhir, berakhir di basement. "Awan, sepertinya kita sudah cukup berkeliling untuk hari ini. Kita kembali saja." "Ya." Baru saja melangkah, terlihat Abian muncul kembali di depan mereka. Tentu emosi yang tadinya padam seolah mencuat kembali ke permukaan. Aluna menatap kesal Abian. Kembali Awan menarik tangan Aluna, menggenggamnya erat. Dia tahu Aluna emosi menatap saudara tirinya ini. Jangan sampai hal seperti tadi terulang kembali. "Kalian berdua lagi. Kenapa kalian berdua muncul lagi di depanku?" protes Abian menatap tajam Awan dan Aluna. "Kami yang seharusnya bertanya begitu padamu. Melihatmu masih berada di sini itu sangat mengganggu." Aluna menantang tatapan Abian. "Mengganggu? Lucu sekali! Kuperingatkan kamu setelah ini untuk bersiap. Akan kurebut perusahaan ini darimu. Siap-siap saja kamu menerima kekalahan!" "Kekalahan? Dari bocah ingusan seperti kamu? Masih perlu belajar seribu tahun lamanya bagimu untuk bisa mengalahkanku." "Aluna, jangan ladeni dia." Awan tak mau Aluna lebih terseret lagi dalam perseteruan. Aluna hanya menatap Awan tanpa suara. "Kamu, setidaknya hormati Kakakmu yang lebih senior darimu. Kurang pantas bagimu bicara demikian." "Jangan mentang-mentang sekarang kamu menjadi suami Aluna ya, merasa kamu juga menjadi pemilik perusahaan ini. Lihat saja, perusahaan ini akan berpindah ke tanganku!" Abian malas berdebat lagi. Ia putar badan sembari menghentakkan kaki keras ke lantai menuju ke mobil yang kemudian meluncur dengan cepat setelahnya. "Aluna, kamu tak apa?" "Aku tak apa. Bisa dibilang sudah terbiasa seperti ini dengannya sejak lahir. Mungkin sejak masih kecil kami sudah bersaing." Aluna berdecak lalu masuk ke mobil bersama Awan. Mobil meluncur menuju ke toko buku milik Awan. Awan membuka pintu mobil lalu turun dari sana. Sedangkan Aluna masih duduk di dalam. "Kamu tidak mampir dulu di sini?" "Tidak Awan. Aku akan kembali ke kantor." Terlihat gurat emosi yang masih tersisa di sana. Mungkin itu karena bertemu Abian tadi. Pintu tertutup setelahnya. Aluna yang menutup pintu dari dalam. "Jalankan mobilnya, Pak," pintanya pada sopir. "Baik, Nona." Mobil kembali melaju meninggalkan Awan yang masih berdiri menjulang di sana. "Aluna hati-hati. Sampai ketemu di rumah." Tentu Aluna tak membalasnya. Awan melangkah masuk ke toko buku miliknya. Dia langsung menuju ke ruang kerjanya. Ia tak memberitahu Aluna bila di toko buku ini ada ruangan khusus rahasia yang dijadikannya sebagai ruangan kerjanya dimana di sana dia bisa memantau perusahaan keluarga Fitz. Dia bisa tetap menjalankan toko bukunya ini sembari bekerja. Awan mengambil laptop dari laci kemudian menyusun punggungnya duduk dengan nyaman di kursi kerjanya. Terdengar suara ponsel berdering. Awan mengambil gawai yang baru saja dia taruh ke meja. "Telepon dari Ayah." Awan menekan tombol hijau pada layar. "Halo Awan, bagaimana pernikahanmu dengan putrinya Niam? Apakah berjalan lancar? "Lancar Ayah. Hanya saja Aluna rupanya bukan resmi menikahiku dan ternyata pernikahan ini adalah sebuah pernikahan kontrak." Terdengar suara tawa dari sambungan telepon. Entah apa yang pria itu tertawakan. "Dia memang putrinya Niam yang cerdik. Wajarlah dia bila menggelar pernikahan secepat ini dan hanya sebuah pernikahan kontrak saja. Kuharap putraku tak akan kalah dirinya. Apakah kamu mendapatkan sesuatu di sana?" "Ya, Ayah. Aku akan kirimkan pada Ayah setelah ini data itu. Aku kerjakan laporannya dulu." Panggilan berakhir setelahnya. Awan menaruh gawai kembali ke meja. Sewaktu di ruangan Aluna tadi, Awan sempat mengambil beberapa foto dokumen penting di sana yang bisa dijadikan referensi untuk perusahaan ayahnya. Ia gulir layar gawai yang masih berpendar itu. Data yang ada di ponselnya kemudian ia pindahkan ke laptop. Setelahnya dia kirim data tersebut pada ayahnya. Terdengar notifikasi pesan masuk setelahnya. [Ayah] : Kamu luar biasa Awan. Kamu mendapatkan data penting ini. Ini bisa kita jadikan bahan untuk perusahaan kita. Kamu bisa diandalkan. Baru sehari kamu sudah mendapatkan ini. Bagaimana bila sebulan, apa saja yang sudah kamu dapatkan nanti? Awan menarik sudut bibirnya tipis ke samping membaca pesan dari ayahnya. Lalu membalasnya. [Awan] : Apa yang Ayah perlukan sudah kuberikan. Kurasa itu sangat membantu. Sekarang biarkan aku bersantai dengan toko buku ini. [Ayah] : Baiklah, karena kerjamu sudah lebih dari cukup maka Ayah izinkan kamu bersantai sekarang. Tak ada pesan yang masuk lagi dan Awan menaruh kembali gawai tersebut ke meja. Sebenarnya banyak dari data yang tadi ia foto dari kantor Aluna. Hanya saja, ia tak memberikan semua informasi itu pada ayahnya. Entah, rasanya hati dan pikirannya mulai tidak sinkron sekarang. Di satu sisi dia mengemban tugas dari ayahnya untuk menggali informasi sebanyak mungkin dari Aluna. Sebelumnya ia yakin bisa mentransfer semua informasi yang didapatkan. Tapi sekarang dia ragu. Tak dipungkiri, rasa suka pada Aluna yang dulu terpendam, kini bangkit kembali menjadi nyata. Ada rasa tak tega melakukan ini padanya. "Pak Awan, ada yang mencari koleksi buku psikologi lengkap. Di sini habis. Apa mungkin Anda punya stoknya?" Pelayan toko memanggilnya dari luar ruangan. "Ya, baik. Aku akan datang segera." Awan menegakkan tubuhnya keluar dari ruangan untuk melayani pembeli. Toko lumayan ramai hari ini. Biasanya siang, Awan sudah pulang tapi kali ini dia pulang sore. "Aluna, kamu juga barusan datang?" Awan datang bertepatan dengan Aluna. mereka bertemu di teras rumah. Aluna menyetir mobil sendiri kali ini, tidak diantar sopir. Tadi saat pergi dengan Awan memakai sopir, karena ia tak mau menghabiskan tenaganya bolak-balik di jalan. "Bagaimana di kantor? Kamu ketemu Abian lagi?" "Tidak, Awan. Dia tak berani muncul mungkin. Dia tidak punya posisi di sana bagaimana dia bisa muncul?" Awan senang, Aluna sudah terlihat tenang seperti sebelumnya lagi. Itu artinya memang tak ada masalah yang berarti. Aluna mengajak Awan masuk. Di kamar, Aluna duduk di kasur king size-nya. Awan masih berdiri. Dia berniat ganti baju. Namun Aluna masih ada di sana. Sedangkan menyuruhnya pergi juga tidak mungkin. Ini rumah siapa? Ini kamar siapa? Sedangiannia nanya menumpang. Awan kemudian membuka pelan kancing bajunya hingga semua terbuka. "Astaga! Awan, apa yang kamu lakukan?" pekik Aluna kala tak sengaja menatap Awan yang sejak tadi diam dan rupanya sekarang bertelanjang d**a. Tentu Aluna tak terbiasa melihat ini. "Ganti baju." Aluna kemudian semakin gugup setelah mengunci pandangan pada ujung batas pusar Awan. Apakah dia juga akan melepas itu di sini? Aluna membayangkan Awan akan melepas celana panjangnya itu, lalu tersingkap bagian dalamnya. Ini membuatnya panas dingin seketika. "Kamu ganti baju dulu. Aku akan minta pelayan untuk menyiapkan makan." Aluna cepat beranjak pergi dari sana sebelum dia pingsan di tempat. Agak lama barulah Awan keluar dari kamar dengan baju yang sudah ganti. Dia mencari Aluna. Tak sengaja dia mendengar gadis itu sedang ngobrol dengan mertuanya di dapur. "Aluna ... bagaimana di kantor, apa ada masalah?" "So far tidak ada, Bu. Ada Awan saja aku sudah terbantu banyak. Perusahaan akhirnya jatuh padaku setelah menikah. Tinggal menunggu peresmian saja penyerahan perusahaan itu padaku." Deg! "Jadi ... alasan menikah kontrak denganku hanya untuk mewarisi perusahaan? Salahkah aku berpikir demikian?" Awan syok mendengarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN