ZZ|15

1228 Kata
Zidan berdecak kesal ketika sudah lebih dari lima belas menit ia menunggu Zevania. Sebenarnya bisa saja Zidan pergi tanpa harus menunggu cewek pengganggu itu, namun Zidan bukan tipe cowok yang suka menebar janji palsu. Meski hanya janji pulang bersama, Zidan akan menepatinya. Dengan malas Zidan beranjak pergi menuju kelas Zevania, sepertinya menyusul Zevania ke kelasnya akan lebih baik daripada harus menunggu sendiri di parkiran sekolah yang sudah sepi. Sepanjang koridor sudah sepi, tapi kenapa Zevania belum pulang? Bahkan teman-temannya sudah melewati Zidan tadi. Pintu kelas Zevania tertutup seperti tidak ada kehidupan di dalamnya. Tapi Zidan tetap membuka pintu kelas itu hingga Zidan tertegun melihat seseorang yang ditunggunya sejak tadi tengah terisak dengan luka di sudut bibirnya dan juga tampak ada memar di pelipisnya. Zevania tersenyum samar dalam tangisnya ketika ia melihat kedatangan Zidan. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Zevania berlari ke arah Zidan yang tertegun di ambang pintu. Tanpa berpikir panjang jika saja Zidan akan menolak, Zevania menghamburkan dirinya ke pelukan Zidan dan kembali menumpahkan air matanya disana. Dapat Zevania rasakan tubuh Zidan sempat menegang sebentar, dan yang membuat Zevania nyaris memekik bahagia adalah ketika ia merasakan tangan Zidan bergerak dan membalas pelukannya. “Kenapa?” Suara Zidan begitu pelan, namun posisi intim mereka membuat Zevania masih dapat mendengar jelas perkataan Zidan. Zevania mendongak, menatap Zidan dengan sisa air di sudut matanya. Zevania menggelengkan kepalanya dan kembali membenamkan wajahnya di d**a bidang Zidan. Zidan menatap seisi kelas, tidak ada orang lain di dalamnya. Lalu siapa yang membuat Zevania terluka? Tidak mungkin bukan jika Zevania melukai dirinya sendiri? Jika dipikir, banyak orang yang tidak menyukai Zevania di sekolah ini mengingat tingkah dan kepopuleran yang dimiliki oleh Zevania, namun tentu saja rival terkuatnya adalah Wilona. Apalagi saat istirahat tadi keduanya terlibat sedikit percekcokan. Apa ini adalah ulah Wilona dan kedua dayangnya? Dan apakah Zidan penyebabnya? “Wilona?” tanya Zidan lagi, Zevania kembali menggeleng. “Om Harsen.” “Siapa itu?” Zevania memilih untuk tidak menjawab. Zidan menarik napas gusar kemudian melerai pelukan mereka. Kedua tangannya bertengger manis di bahu Zevania. “Ya udah ayok pulang!” Entah dorongan dari mana, yang pasti Zidan hanya mengikuti kata hatinya untuk menggerakkan tangannya menghapus jejak air mata di pipi mulus Zevania yang juga tampak memar. Zevania menatap Zidan dengan sendu, diperlakukan manis oleh Zidan membuat rasa sedih di hatinya kian muncul kepermukaan. “Tapi mau gak anterin aku ke suatu tempat?” Suara Zevania terdengar begitu serak, khas orang yang baru selesai menangis dengan waktu yang cukup lama. “Kemana?” “Suatu rumah,” jawab Zevania. Zidan nampak mengangguk dengan ragu. Ia berbalik dan berjalan meninggalkan kelas Zevania. Sebelum menyusul kepergian Zidan, Zevania berbalik terlebih dahulu untuk mengambil tasnya yang tertinggal di meja. Setelah itu Zevania keluar dari kelas dan menuju parkiran di mana Zidan pasti sudah menunggunya. Selama berjalan di koridor, Zevania tak tenang menatap sekelilingnya. Zevania takut jika orang yang membuatnya terluka seperti ini masih berkeliaran di sekolahnya. Zevania bernapas lega ketika sudah sampai di parkiran dan mendapati Zidan yang sudah naik motor vespa nya. “Aku duduknya nyamping?” Zevania menatap motor vespa Zidan yang sepertinya akan terasa tak nyaman bila ia duduk menyamping. Pasalnya, ada bagian yang menonjol besar di kedua bagian sisi motor. Zidan mendengus ketika melihat betapa pendeknya rok abu yang dikenakan oleh Zevania. Dengan raut wajah kesal, Zidan membuka jaket levis yang dikenakannya dan melemparkannya pada Zevania. “Tutup paha lo pakai jaket!” 0o0 Beban yang dipikulnya terasa hilang ketika Zevania duduk manis di belakang Zidan. Meski tak ada percakapan di antara mereka, hanya sesekali saja suara Zevania terdengar untuk menunjukkan jalan, namun Zevania merasa sangat senang. Meski tangannya tak diperbolehkan untuk melingkari pinggang Zidan, namun Zevania cukup puas dengan bisa duduk satu jok motor dengan Zidan. Perjalanan mereka terlihat membosankan bagi Zidan, sedari tadi ia hanya fokus pada jalan raya mengingat ia membawa nyawa lain di motornya. Zidan tidak mau ceroboh dalam mengendarai motornya, ia tidak mau harus bertanggung jawab bila sesuatu terjadi nantinya. “Stop disini, Dan.” Zevania menepuk bahu Zidan agar segera menghentikan motornya. Zidan melihat sekeliling, mereka kini ada di kawasan perumahan elit. Zidan berani bertaruh jika para penghuni di sini pastilah orang-orang yang berteman baik dengan uang dan kekuasaan. Tapi untuk apa mereka berhenti di sini? “Kenapa?” Zidan memutar tubuhnya, melihat Zevania yang kini menatap rumah super megah berwarna putih dengan beberapa bagian berwarna emas tak jauh dari tempat mereka berhenti. Zevania tiba-tiba saja bergerak memeluk erat Zidan dengan wajahnya yang ia simpan di bahu Zidan. Sehingga meski tampak bersembunyi, Zevania masih dapat melihat rumah itu dengan jelas. Zevania melakukan itu karena melihat seseorang keluar dari rumah itu. Zidan tentu saja merasa bingung, namun ia lebih memilih untuk melihat siapa yang keluar dari rumah itu dibandingkan harus bertanya pada Zevania. Tidak ada yang berbahaya, dari rumah itu hanya keluar seorang perempuan berumur empat puluhan yang tampak modis dengan perhiasan emas yang menghiasi leher dan pergelangan tangannya. “Itu Mama aku,” bisik Zevania, ia masih menyembunyikan wajahnya di bahu Zidan dengan mata yang tertuju pada perempuan yang ia akui sebagai ibunya “Mama?” tanya Zidan heran. Selama ini orang tua Zevania memang tidak diketahui. Perempuan paruh baya itu terlihat seperti orang kaya, lalu kenapa Zevania dan kakaknya harus hidup susah, menjadi pelayan pula, jika ibunya saja orang kaya? Zidan merasakan anggukan kepala Zevania di bahunya. “Yaudah, turun sana! Lo kesini mau ketemu sama nyokap lo kan?” Zidan berusaha melepaskan tangan Zevania di perutnya. Namun Zevania menggeleng keras, tangannya semakin erat memeluk pinggang Zidan. “Enggak, aku kesini Cuma mau liat Mama aja. Enggak usah ketemu.” Zidan merasa ucapan Zevania seperti sebuah lirihan. Suaranya pun terdengar bergetar. Sepertinya Zevania sedang berada di titik kesedihannya. Cewek yang biasanya ceria itu terlihat rapuh hari ini. “Yaudah, kita pulang ya?” Zidan berusaha lebih lembut, rasa simpati di hatinya tersentuh melihat kerapuhan di wajah cantik Zevania. Meski Zidan tidak tahu apa pun yang terjadi pada Zevania, tapi Zidan yakin itu bukanlah sesuatu yang baik. Tak mau berlama-lama menunggu jawaban cewek yang duduk di belakangnya, Zidan langsung saja melajukan motornya dengan kecepatan sedikit cepat. Lebih baik mereka segera keluar dari kawasan elit ini daripada Zidan melihat kerapuhan yang semakin kentara di wajah Zevania. Rintik hujan tak mempengaruhi laju motor ataupun mobil yang melintas di jalan raya. Setidaknya sampai hujan semakin deras dan Zidan memutuskan untuk berhenti di depan pertokoan yang tutup. “Turun dulu, hujan,” titah Zidan. Zevania turun dari motor Zidan dan segera berdiri di depan toko yang tutup. Rambut dan bajunya sedikit basah, jaket yang Zidan pinjamkan tadi untuk menutup pahanya pun sudah basah. Zidan berdiri di samping Zevania, matanya terfokus menatap jalanan yang kini basah oleh air hujan yang berjatuhan. Zevania menggosok kedua tangannya, bibirnya sudah terlihat pucat dan badannya sedikit bergetar karena rasa dingin yang terasa menusuk tulang-tulangnya. Tentu masih teringat jelas bukan jika Zevania sedikit sensitif dengan hawa dingin, seperti saat ia sakit sepulang kemah karena tak kuasa menahan rasa dingin di Puncak. “Jangan geer!” Zidan berucap dengan tangannya yang bergerak menarik tubuh Zevania ke dalam pelukannya. Wajah nampak datar tak menunjukkan ekspresi apapun. Bahkan matanya pun masih terfokus menatap jalanan. “Lo itu dingin-dingin menghangatkan, gue suka.” Zevania tersenyum seraya membalas pelukan Zidan dengan erat, menyesapi kehangatan yang melingkupi tubuhnya, juga hatinya. Jika seperti ini kejadiannya, bagaimana Zevania bisa untuk tidak merasa gede rasa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN