ZZ|16

1327 Kata
Suasana sepi di sebuah rumah terasa semakin mencekam usai perdebatan dua kakak beradik yang tinggal di sana. Bagaimana tidak, seusai sarapan keduanya terlibat percekcokan yang cukup panjang mengenai keinginan sang adik yang ditentang keras oleh sosok kakaknya. Zevania Arasha, cewek yang populer dengan kebengalannya itu terus merengek agar Zevano, kakaknya itu mau menuruti permintaannya. “Kita pulang, Kak. Aku kangen sama Mama. Aku gak mau kita hidup susah terus kayak gini, kakak tahu? Aku dihina karena bekerja sebagai pelayan, aku dihina karena orang tua aku gak diketahui sama temen-temen di sekolah aku. Aku gak mau hidup kayak gini terus!!!” “LALU KAMU MAU HIDUP KAYAK GIMANA!? KAYAK DULU LAGI? IYA?!” bentakan Zevano membungkam mulut Zevania seketika. Zevania menggelengkan kepalanya pelan, tidak, Zevania tidak mau hidup seperti dulu lagi. Itu terlalu menakutkan bagi Zevania. Semua rentetan kejadian itu terekam dengan jelas di kepalanya, dan itu sangat menyakitkan. Zevania membenci kenyataan bahwa orang yang berperan dalam memori buruk itu adalah orang yang sangat ia sayangi. “Ak—aku gak mau, aku takut kayak dulu lagi. Hiks, aku enggak mau!!” lirih Zevania dengan air mata yang tak terbendung di matanya. Zevania beranjak untuk duduk di sebelah kanan Zevano dan segera memeluknya. Zevania tak peduli jika riasan wajahnya akan luntur karena air mata, dia juga tak peduli jika harus datang ke sekolah dalam keadaan mata sembab. Yang Zevania inginkan sekarang hanyalah menangis dan memeluk kakaknya, Zevano. “Kakak Cuma gak mau hal itu terulang lagi, kakak sayang sama kamu. Kakak janji, akan berusaha lebih keras lagi. Supaya kehidupan kita kayak dulu lagi meski gak tinggal sama mereka. Kamu mau kita hidup mewah kayak dulu kan?” Usapan lembut Zevano di puncak kepala Zevania salurkan sebagai ungkapan rasa sayangnya pada adik semata wayangnya itu. Gelengan kepala Zevania sebagai jawaban bagi Zevano. “Enggak, aku gak mau hidup mewah. Aku Cuma mau hidup sama orang tua. Kayak temen-temen aku yang lainnya.” Zevano menghembuskan napas gusar, dia mempererat pelukannya pada gadis manis yang merupakan adik kesayangannya. “Kalau itu, kakak gak bisa dan memang gak mau usahakan. Tapi Kakak janji, kamu akan bahagia.” Zevano melerai pelukan mereka, kedua tangannya menangkup pipi Zevania dengan lembut. Kedua ibu jarinya bergerak menghapus air mata di pipi mulus Zevania. Tin.. Tin.. Suara klakson motor menghentikan tangisan Zevania, itu pasti Reynaldi yang sudah berjanji akan menjemputnya. Zevania menunjukkan senyum terbaiknya sebelum bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Zevano yang nampak merenungi sesuatu. Zevania berlari menghampiri Reynaldi yang duduk di atas motor miliknya. Reynaldi nampak tampan dengan rambutnya yang masih berwarna coklat. Mungkin jika saja Zidan tidak ada di dunia ini maka Zevania pasti jatuh cinta pada Reynaldi. “Napa lo sembab gitu? Keduluan sama orang buat gebet Zidan?” tanya Reynaldi sembari menatap mata Zevania yang sembab. Jangan lupakan warna hitam akibat maskara yang digunakan Zevania luntur oleh air mata. “Jelek banget tahu gak!!” ejek Reynaldi seraya melempar tissue basah pada Zevania. Jangan heran, meski Reynaldi seorang cowok tulen, ia sangat menyukai yang namanya tissue basah beraroma khas bayi. “Gak papa jelek, asal Zidan nerimain!” balas Zevania saat tangannya menangkap tissue yang dilempar oleh Reynaldi. Ia segera menaiki motor dan akan membersihkan wajahnya di jalan saja. “Tumben duduknya nyamping?” “Udah jalan aja!” 0o0 Ilham menatap heran pada sosok Zevania yang duduk di meja samping, pasalnya selama mereka di kantin Zevania sama sekali tak mengganggu Zidan, bahkan tidak untuk sekedar menyapa. Jika dipikir, mungkin ini adalah kali pertama Zevania tak melirik Zidan sama sekali. Tak hanya Ilham, begitupun dengan Rafael dan Leon yang kini juga bersamanya. Hanya Zidan yang tampak santai dan tak peduli akan hal itu. “Bidadari Zevania kenapa murung gitu??” Rafael tak kuasa untuk menahan rasa penasaran, hingga ia dengan sengaja bertanya langsung pada sosok yang menjadi perhatiannya sejak tadi. Zevania hanya melirik sekilas, tidak sampai lima detik Zevania sudah mengalihkan pandangannya pada segelas jus jeruk di hadapannya. Di samping Zevania terdapat Nadine yang juga nampak bingung dengan sikap Zevania. Sudah datang dengan mata sembab, Zevania pun tak ceria seperti biasanya. “Maaf, lama!” Suara Antonio membuat Zevania duduk tegak seketika. Zevania memang sudah membuat janji untuk bertemu dengan Nadine dan Antonio ketika istirahat, mereka akan membahas kegiatan kemah yang akan mereka adakan sabtu mendatang. “Iya, gak papa. Langsung aja ya, proposal udah di acc. Tapi dana belum cair, paling lusa katanya. Sementara kita pakai uang kas Pramuka aja dulu buat beli barang-barang kayak banner,” jelas Zevania tanpa basa-basi. Sejak perdebatan yang dilakoninya bersama sang kakak pagi tadi membuat suasana hatinya tidak begitu baik. “Bagus deh kalau udah diterima, iya kita pakai uang kas aja. Ada berapa?” Antonio mengalihkan pandangannya pada Nadine, si pemegang uang organisasi Pramuka. Nadine nampak berpikir sejenak, “Mungkin sekitar satu juta dua ratus lah. Pasti cukup kok, kan buat dana awal aja ya?” Antonio mengangguk, membenarkan apa yang dikatakan oleh Nadine. Konsentrasi ketiganya terganggu ketika mendengar suara Rafael yang ikut nimbrung percakapan mereka. “Wah, akhirnya kelas dua belas kemah juga. Seneng banget Gue, nanti kita bobo satu tenda ya, Van?” pekik Rafael dengan tatapan jahilnya pada Zevania. Zevania mendengus, matanya melirik Zidan yang entah mengapa sedang menatapnya. Rasa senang di hati Zevania membuncah seketika. “Enggak, makasih. Gue tidur sama Zidan aja,” ucap Zevania seraya melirik Zidan dengan senyum manisnya. Zidan tersenyum miring, ia berdiri dan beranjak dari duduknya untuk pergi. Kejadian langka terjadi, Zidan tidak meninggalkan kantin sendirian. Melainkan bersama Zevania. Tidak, ini bukan kemauan Zevania, tapi Zidan yang tiba-tiba saja menarik tangannya membuat seisi kantin memperhatikan mereka. Zevania tidak tahu Zidan akan membawanya kemana, ia hanya mengikuti Zidan dengan langkah cepat. “Kita mau ke mana?” tanya Zevania dengan napas yang sedikit memburu. Langkah kaki panjang Zidan membuatnya sedikit kewalahan untuk mengimbangi. “Perpus,” jawab Zidan singkat. “Ngapain?” Zevania heran, namun tetap mengikuti Zidan yang katanya ingin pergi ke perpustakaan. Tapi anehnya, perpustakaan sudah terlewati sepuluh langkah dan Zidan masih terus menarik tangannya. “Dan, perpusnya udah kelewat.” Zidan menghentikan langkahnya. “Emang gue bilang mau masuk ke perpustakaan? Gue Cuma bilang perpus yang artinya tadi memang tempat itu yang bakal kita lewati.” Jawaban Zidan membuat Zevania melongo. “Kita ke kelas kosong, gue mau ngobrol.” Setelah itu mereka kembali melanjutkan langkah. Zevania tak hentinya berpikir untuk apa mereka mendatangi kelas kosong? Bukankah itu menakutkan? Setelah ruang kesehatan, kelas kosong adalah tempat kedua yang terkenal angker di sekolahnya. Mereka sampai di dalamnya, Zidan menutup pintu kelas kosong itu membuat rasa takut semakin mendera. Kelas itu kotor, banyak bangku rusak di dalamnya. Jendelanya bergerak karena tiupan angin, dan menutup pintunya membuat suasana semakin menyeramkan. “Zidan aku takut,” cicit Zevania seraya memeluk lengan Zidan, ini bukan modus karena Zevania benar-benar merasa takut sekarang. Zidan mendelik sebelum merangkul bahu Zevania dan membawanya untuk duduk di atas meja guru, satu-satunya barang yang terlihat kokoh di sini. “Lo kenapa?” tanya Zidan setelah keduanya duduk di atas meja. Zevania menoleh, ia bingung dengan sikap Zidan yang berubah. Biasanya Zidan akan sulit didekati, tapi hari ini? Bahkan Zidan yang menarik tangannya ke sini. “Aku berantem sama Kakak,” jawab Zevania yang sudah tahu maksud pertanyaan dari Zidan. “Soal?” “Aku mau pulang ke rumah Mama,” lirih Zevania. Zidan menghela napas kasar, ia menarik Zevania untuk bersandar di bahunya. Zidan tidak mengerti apa yang terjadi dengan keluarga Zevania, mungkin dia akan menanyakannya lain waktu pada Zevania. “Zidan, kenapa kamu sekarang peduli sama aku?” Zidan terlihat menegakan tubuhnya, ia juga mendorong bahu Zevania agar tak bersandar lagi padanya. Matanya menelisik seisi kelas itu seolah mencari alasan untuk pertanyaan Zevania. Kenapa peduli? Bahkan Zidan tak mempunyai jawaban, ia hanya mengikuti kata hatinya saja. “Gak papa, kasian aja selama ini lo selalu ngejar gue.” “Berarti kamu juga bakal kasian gini ya sama Wilona?” tanya Zevania dengan cemberut. “Enggak, udah lah. Sana balik ke kelas.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN