Ini pertama kalinya Zevania makan malam bersama keluarga Zidan. Rasanya, sudah sangat lama dari terakhir kalinya Zevania merasakan makan malam dalam kebersamaan. Sejak memutuskan untuk tinggal berdua dengan Zevano, mereka hanya kerap beberapa kali makan bersama di kafe. Dan mungkin sekarang Zevano juga tengah makan malam sendiri di kafe tempatnya bekerja.
Rasa canggung tentu saja mengusai Zevania saat ini, apalagi ini adalah pertama kalinya ia bertemu sosok Hermawan Husen yang tak lain adalah ayah dari Zidan. Hermawan menyambut baik, namun tetap saja Zevania segan dibuatnya.
“Kamu tinggal berdua sama kakak kamu?” Hermawan bertanya ramah pada Zevania.
Zevania tersenyum canggung dan mengangguk pelan. Ia duduk di antara Alda dan Aldi di sisi kiri meja, sedangkan Zidan duduk bersama Yulis di sisi kanan meja.
“Kapan-kapan ajak Kakak kamu kesini, kita makan bareng,” timpal Yulis dengan senyuman tulus.
Hati Zevania menghangat sekaligus sedih, andai saja ia mendapat perlakuan yang sama dari ibunya.
“Iya nanti Zevania ajak kalau libur, soalnya kakak Zevania kerja di kafe,” jelas Zevania yang dibalas anggukan oleh Yulis. Zevania melirik Zidan yang nampak tenang dengan kegiatan makannya.
Untungnya, rasa sakit kepala yang dideritanya tadi sudah sembuh. Mungkin itu terjadi berkat dirinya yang sempat tertidur lelap di kasur milik Zidan. Ah, Zevania jadi tersipu mengingat Zidan memberikannya izin untuk tidur di kamarnya.
“Kakak Jepania ini pacarnya Abang ya?” Suara cempreng Alda mengusik perhatian semuanya.
Zevania ingin sekali menjawab ‘ya’, namun mengingat keberadaan orangtua Zidan membuat ia mengurungkan niatnya. “Bukan, Kakak asisten Abangnya Alda.”
“Aldi juga mau dong punya asisten kayak Kakak Jepania!!” seru Aldi seraya memeluk lengan Zevania erat, sangat lucu dengan ekspresinya yang seolah memohon.
Namun itu bukan menjadi poin yang ditangkap Yulis melainkan, “Kamu asistennya Abang?”
Zevania bungkam, apakah ia baru saja keceplosan? Bagaimana jika Yulis marah dan meminta Zidan untuk memecatnya karena hanya menghamburkan uang saja bila Zidan memiliki asisten?
“Iya, dia asisten Abang,” jawab Zidan santai.
“Ngapain jadiin asisten? Mending jadiin istri!” Hermawan angkat bicara membuat Yulis tersenyum mendengarnya.
“Abang suka ya sama Zevania, makanya dijadiin asisten biar bisa deket?” goda Yulis membuat Zevania merasa malu, lain halnya dengan Zidan yang hanya diam saja namun, wajahnya terlihat memerah. Kenapa?
“Abang makan pakai sambal ya? Kok mukanya merah?” celetuk Aldi yang membuat Zidan menatap makhluk polos tak berdosa itu dengan tajam.
0o0
Zevania baru saja sampai di rumahnya pukul setengah sembilan malam, tadi ia diantar pulang oleh Hermawan. Betapa gugupnya Zevania tadi harus berada dalam mobil yang sama dengan ayah Zidan, dan hanya berdua.
Awalnya Zidan yang akan mengantarkan Zevania pulang, namun karena Hermawan hendak ada urusan di luar, jadi Hermawan berinisiatif untuk mengantarkannya. Zevania baru sadar ternyata nama ayah Zidan sama dengan nama pembina Pramuka di sekolahnya.
Zevania mengelus dadanya ketika mobil yang dikendarai Hermawan melaju meninggalkan pekarangan rumahnya. Lega rasanya bisa lepas dari jangkauan calon ayah mertuanya itu.
Zevania tidak berbohong, Hermawan itu mempunyai wibawa dan kharisma yang membuatnya segan hanya untuk mengangkat wajah.
“Gue demen anaknya, harus ya akrab sama bapaknya?” Zevania bertanya pada dirinya sendiri. Ia masih menormalkan detak jantungnya.
Melihat rumahnya yang masih gelap, Zevania segera berlari masuk dan menyalakan semua lampu. Sejak berhenti bekerja di Kafe Taria, Zevania mulai membiasakan dirinya untuk sendirian di dalam rumahnya pada malam hari.
Namun ternyata Zevania kini tidak benar-benar sendiri. Ketika ia ke dapur dan menyalakan lampu, ia melihat seseorang yang teramat ia benci tengah berdiri di depan kulkas dengan sebotol soda di tangannya.
Seseorang yang membuat ia dan Zevano memutuskan untuk pergi dan tinggal berdua. Sosok yang membuat keluarganya hancur.
“Ngapain Om kesini?” Zevania bertanya dengan waspada pada sosok yang ia sebut sebagai ‘Om’.
Pria di depannya menyeringai seraya berjalan mendekati Zevania setelah menyimpan botol soda di meja kompor.
“Melihat anak Om yang cantik mungkin?” Kekehan yang dikeluarkan oleh pria tersebut membuat Zevania merinding. Bagaimanapun ia takut pada sosok yang kini ada dalam jarak pandangnya.
Harsen Avino, suami kedua ibunya setelah bercerai dengan ayah kandung Zevania. Harsen berusia lebih muda dari ibunya, usianya bahkan belum mencapai tiga puluh tahun. Suami brondong ibunya itu berjalan semakin mendekat.
“Berhenti di sana!!!” Zevania berteriak seraya menunjuk wajah Harsen.
Harsen tertawa kecil, ia berhenti dan menatap Zevania dengan lekat.
“Kenapa baby? Kamu takut sama apa yang bakal Om lakukan? Kamu takut ibu kamu menuduh kamu menggoda suaminya?” Harsen tersenyum miring.
“Pergi lo dari sini!! Ngapain lo kesini hah? Belum cukup lo menghancurkan hubungan antara Ibu dan anak? b******n!!! b*****t lo!!” teriak Zevania nyalang, tak ada kata sopan untuk memperlakukan ayah sambungnya itu.
“No, baby. Bukan itu tujuanku, saat itu aku menyalahkanmu untuk menjaga posisiku. Tapi tujuanku adalah mendapatkanmu. Aku tidak tahu jika aku akan mendapat anak sambung secantik kamu.”
Zevania berdecih jijik dalam hati mendengar penuturan Harsen. Ayah sambungnya itu sudah gila dengan menyukainya yang notabennya adalah anak dari istrinya.
Harsen tiba-tiba saja mendekat sebelum Zevania menyadari gerakannya.
“Lepass!! Aaaaak!!! Tolong!!!” Zevania berteriak kencang ketika Harsen memeluknya dengan tiba-tiba. Tidak hanya itu, Harsen menyudutkannya di dinding.
Zevania mencoba memberontak, dia tidak ingin kejadian dulu yang membuat ibunya membenci Zevania terulang kembali.
Harsen mendesis geram, ia menampar Zevania kencang. Satu tangannya memegang kedua tangan Zevania agar tak memberontak. Sedangkan satu tangannya lagi tak henti menyiksa Zevania. Mulai dari menampar, menjambak rambut bahkan sampai memukul kepala Zevania.
Harsen tersenyum melihat Zevania yang mulai lemas dan menangis histeris. Itu memang tujuannya untuk membuat Zevania tak berdaya agar ia bisa menuntaskan hasratnya pada anak sambungnya itu.
Zevania terkesiap ketika Harsen mencium bibirnya dengan brutal, Zevania menggelengkan kepalanya untuk melepas pagutan antara keduanya. Zevania jijik pada Harsen, dan ia jijik pada setiap inci tubuhnya yang pernah tersentuh Harsen.
Zevania tak ingin pasrah, tapi ia tak lagi bisa melawan. Harsen terus melakukannya seolah pemberontakan yang Zevania lakukan tidaklah berarti. Zevania menangis histeris, hatinya menjerit pilu dan tubuhnya terasa remuk.