ZZ|02

1465 Kata
Kantin nampak begitu dipadati oleh siswa dan siswi SMA Bintang Bangsa yang tengah menikmati waktu istirahat. Zidan, Ilham dan Rafael memilih kantin untuk mengisi perut mereka yang tak sempat sarapan. Sedangkan Leon lebih memilih pergi ke warung jendela bersama Giffar. Giffar adalah salah satu anggota D’Zebra dari kelas XI. Selain Giffar, ada juga Farel, Praja, dan Dika. Dari dua puluh orang anggota D’Zebra yang bersekolah di SMA Bintang Bangsa, anggota dari kelas X lah yang paling banyak. Jumlahnya ada dua belas orang. Sedangkan dari kelas XII, tentu saja hanya Zidan, Ilham, Rafael dan Leon. Sebenarnya banyak sekali siswa di SMA Bintang Bangsa yang ingin bergabung dengan D’Zebra, namun syarat untuk masuk geng tersebut cukup sulit. Salah satu syarat yang paling memberatkan adalah harus memiliki banyak motor dengan jenis yang berbeda dan harganya yang selangit. Banyak dari mereka yang tak mampu untuk itu. “Tumben ayang lo belum nongol, Dan.” Rafael melihat seisi kantin berharap dapat menemukan sosok yang selalu berhasil mengacaukan hari temannya namun selalu berhasil menyegarkan matanya. Laki-laki mana yang tidak ingin disuguhi pemandangan indah bukan? “Maksud lo bidadari Zevania?” tanya Ilham yang juga menunggu kehadiran Zevania. Biasanya, setiap Zidan pergi ke kantin, Zevania pasti berada di kantin juga dengan memilih meja yang bersebelahan dengan Zidan. Bahkan, bila meja yang berdekatan dengan meja yang Zidan tempati sudah terisi, cewek bengal itu akan dengan senang hati mengusirnya secara terang-terangan. Zidan hanya mengendikkan bahunya tak peduli. Justru dengan tidak adanya Zevania itu akan memberi ketenteraman di waktu istirahatnya ini. Nampaknya keberuntungan tak berpihak pada Zidan. Baru saja ia merasa tenang, sosok pengacau harinya muncul bersama temannya yang tak ia ketahui namanya itu. Zevania berjalan dengan sumringah ketika melihat keberadaan Zidan di kantin. Apalagi meja di sampingnya juga kosong. Mungkin semua sudah tahu akan kebiasaannya mengusir siapa saja yang berada di dekat meja Zidan. Zevania menarik tangan Nadine yang datang bersamanya. Nadine adalah teman satu organisasi Zevania, yakni Pramuka. Itulah mengapa mereka begitu akrab meski tidak duduk di kelas yang sama. Nadine kelas XII IPS 3, sedangkan Zevania seperti yang sudah diketahui ia kelas XII IPA 4. Setelah sampai di meja samping Zidan, Zevania memutar kursinya agar menghadap pada Zidan dan kedua temannya. Sebenarnya ia bisa saja duduk satu meja dengan Zidan, namun ia tak mau melakukan itu karena selalu melihat Zidan terganggu jika ia melakukan itu. Sebenarnya, dengan berada di sekitar Zidan saja itu sudah mengganggu kenyamanannya, namun ia tak perduli akan hal itu. “Zidan, kamu di sini pasti karena belum sarapan kan? Besok aku bawa makanan deh buat kamu,” ucap Zevania seraya menunjukkan senyum terbaiknya. Jika dihadapkan dengan Zidan, Zevania seakan menjadi sosok yang labil. Contoh kecilnya adalah dalam penggunaan bahasa. Terkadang ia menggunakan ‘aku-kamu’ terkadang pula ‘lo-gue’. Berbeda ketika ia berbicara dengan orang lain, ia konsisten menggunakan ‘lo-gue’. “Gak perlu.” Zidan meminum tegukan terakhir jus alpukat dari gelasnya. Ia tak sedikitpun menatap cewek yang terang-terangan menatap wajahnya. “Ih, lo tuh gimana sih. Gue itu kan perhatian sama lo.” Terbukti, Zevania mengubah kembali gaya bahasanya. “Kalau Zidan gak mau, gue mau banget malah.” Ilham tampak antusias dengan tawaran Zevania. Mendapatkan makanan gratis dan dari Zevania pula, siapa yang akan menolak? Tentu saja, Zidan jawabannya. “Sorry, gak minat!” Zevania menjulurkan lidahnya kearah Ilham yang hanya dibalas dengan tawa. Zevania memutar tubuhnya kembali menghadap Nadine. Ternyata temannya itu sudah memesan makanan untuk dirinya dan juga untuk Zevania. “Wah, makasih. Lo emang paling ngerti perut gue.” Dengan semangat membara Zevania memakan makanannya. Nadine mendengus kesal. “Lagian lo sibuk mulu sih sama kekasih tak sampai lo itu.” “Sampai kok.” Zevania memutar kembali kursi dan tubuhnya. Ia memegang tangan Zidan dengan erat agar ketika Zidan menghempaskannya tak akan lepas. “Tuh liat, sampaikan?” Zevania tersenyum bahagia. Dapat menyentuh Zidan adalah salah satu suplemen dalam hidupnya. “Tangannya sih sampai, tapi hatinya sejauh langit dan bumi,” tutur Rafael yang seketika melunturkan senyum dan semangat Zevania. “Tahu ah!” Zevania kembali ke posisi semula dan melahap makanannya dengan kasar. Benar apa yang dikatakan Rafael. Ia bisa menyentuh tangannya, tapi tidak dengan hatinya. 0o0 Belajar kimia di jam pelajaran terakhir bukanlah ide bagus. Oh ayolah, untuk dapat memahami senyawa-senyawa dengan segala bentuk hitungannya itu dibutuhkan kejernihan otak tingkat tinggi. Pagi hari di jam pertama misalnya, jadi otak belum terbebani materi apapun. Kecuali masalah hidup, tentunya. Seorang guru wanita berkacamata itu asik mencorat-coret papan tulis putih dengan tinta hitam. Mulutnya tak henti memberi penjelasan pada apa yang ditulisnya, padahal tak satupun kalimat yang keluar dari mulutnya itu dimengerti oleh para pelajarnya. “Haduhh, mumet pala berbi.” Gista melanjutkan aksi menggambar di halaman terakhir buku tulisnya. Tidak hanya Gista yang seakan punya dunia sendiri. Hampir seluruh orang yang ada di kelas ini mempunyai kegiatannya masing-masing. Hanya mereka yang duduk paling depan sajalah yang memperhatikan penjelasan Lina—guru mata pelajaran kimia. Itu pun mereka hanya sekedar memperhatikan karena posisi duduk mereka yang membuat Lina begitu mudah mengawasi mereka. Tania sibuk dengan ponselnya yang ia sembunyikan di kolong meja. Reynaldi mulai lelap dalam tidurnya. Sedangkan Zevania, tengah bahagia dengan khayalannya mengenai Zidan. Membayangkan Zidan tentunya lebih menarik baginya dibandingkan coretan tangan Lina di papan tulis. Kimia adalah pelajaran yang dibencinya. Baiklah, sebenarnya Zevania tak menyukai satu pun pelajaran yang berbau IPA. Bahkan sebenarnya, tiga bulan pertama masa sekolahnya di sini Zevania tercatat sebagai siswi di kelas X IPS 1. Namun setelah bertemu Zidan dalam acara Penerimaan Tamu Ambalan, ia memutuskan untuk pindah jurusan dengan harapan dapat mendapat kelas yang sama dengan cowok idaman itu. Sayangnya, ia tidak berhasil untuk itu meski sudah pindah jurusan. Suara bel pulang seakan menjadi angin segar bagi mereka. Akhirnya, waktu yang mereka tunggu telah tiba. “Siapa yang belum catat?” Tanya Lina melihat satu per satu muridnya. Cekrek ... “Difoto aja Bu, nanti disalin di rumah.” Zevania menunjukkan hasil jepretan kamera ponselnya. Ia sudah sering melakukan ini, padahal tak satupun foto yang ia salin di rumah. Justru ia akan menghapus foto-foto itu karena merasa hanya memenuhi memori internalnya saja. “Kirim ke grup, Van.” Reynaldi berucap dengan wajah bantal, untung saja Lina tak menyadari itu. “Yasudah, silahkan baca doa dulu.” Titah Lina. Setelah selesai membaca doa dengan nada khas anak sekolahan, tahu kan? Zevania kini tengah berjalan ke tempat parkir. Bukan untuk mengambil kendaraannya, karena sekarang ia bukanlah orang kaya yang mampu membeli barang tersebut. Zevania hanya menemani Gista dan Tania saja untuk menuju mobil mereka. Juga ada satu hal yang harus ia lakukan. Langkah kaki Zevania bertambah cepat ketika melihat Zidan yang akan sampai pada tempatnya menyimpan motor. “Hai, kamu mau pulang?” Tangan Zevania melingkar sempurna di lengan kokoh Zidan. “Hemm,” balas Zidan. Hanya beberapa langkah saja mereka sudah sampai di depan motor si ketua geng. “Kamu gak niat anterin aku pulang gitu?” Zevania terpaksa melepaskan tangan Zidan karena cowok itu sudah menaiki motornya dan tengah memakai helm. “Gak!” Zidan mulai menyalakan motornya dan melaju perlahan. “Yaudah, hati-hati di jalan. Dadah Zidan,” teriak Zevania karena Zidan sudah mulai menjauh. “Temen lo tuh yang nge-bucin.” Suara Gista membuat Zevania memutar tubuhnya. “Giliran yang jeleknya aja dibilang temen gue!!” kesal Tania “Lo tuh kenapa gak cari cowok lain aja sih? Gak guna tahu gak, dia gak respon gitu. Dingin gitu kayak es nong-nong,” tutur Gista untuk kesekian kalinya ia mengutarakan ketidaksukaan terhadap Zevania yang masih saja mengejar cinta Zidan. Bukan hanya Gista, tapi Tania dan Reynaldi juga tidak mendukungnya. Hanya Nadine saja yang memberi dukungan terhadapnya. Untuk Reynaldi, ia tidak mendukungnya hanya karena alasan Zidan adalah teman Leon. Jadilah ia tak menyukai Zidan pula. Padahal, tidak ada sangkut pautnya sama sekali. “Tahu nih, susah sih kalau udah berhadapan sama makhluk bucin semodel lo sama si Rey,” timpal Tania menyetujui. Zevania tak tersinggung sama sekali. Ia sudah kebal dengan dua sahabatnya ini. “Kalau gue sih ya, selama Zidan gak nyuruh gue buat berhenti, gue gak akan berhenti,” ujar Zevania. Zevania memang sudah bertekad dalam hatinya ia akan terus memperjuangkan cintanya pada Zidan. Kecuali Zidan sendiri yang memintanya untuk berhenti, maka ia akan berhenti. Toh, selama ini Zidan tak pernah menolaknya secara terang-terangan. Entah menghargai, atau tak ingin mempermalukan Zevania, atau mungkin terlalu malas untuk meladeni. Yang pasti, Zidan tak pernah menolak kehadiran Zevania secara gamblang. Meski terkadang cowok itu menunjukkan kesan tidak nyaman ketika bersama Zevania. “Halah, belum kelar nih bucin satu, udah nongol satu lagi.” Tania menatap tak suka kedatangan Reynaldi dan Farah. Entah apa yang merasuki Reynaldi. Padahal ia sudah jelas-jelas diselingkuhi, namun tetap enggan untuk melepas Farah. Mungkin ini yang dinamakan cinta tak ada logika.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN