Bab 8. Interograsi

1485 Kata
“Gimana ceritanya kamu bisa bertemu dengan Arka dan sampai masuk rumah sakit segala?” Pertanyaan Amih pagi itu dimeja makan hanya membuat Lembayung merengut kesal. Hari Jumat kemarin ia mencoba mengeluarkan sisi liar dalam dirinya, keesokan harinya ia malah bermalam bersama Arka ditambah masuk rumah sakit, dan hari ini ketika ia berharap ibunya bertanya ia sakit apa? Apa yang ingin ia makan? Lembayung malah diinterogasi kenapa ia bisa bersama Arka. Tak adakah yang peduli padanya? “Memangnya kenapa? Mbak Mara juga bisa bertemu mas Raga, kenapa aku gak bisa bertemu mas Arka?” ucap Lembayung membalikan pertanyaan. Amih mendecakkan lidahnya kesal sebelum akhirnya ia menyadari bahwa Lembayung masih marah karena sang kakak mengambil pujaan hatinya. “Mama tahu kamu masih marah sama Mara dan Raga. Mama tahu kamu kecewa karena mereka berdua bersama, tapi kali ini mama minta tolong sama kamu untuk melihat ada masalah yang lebih besar lagi di dalam keluarga kita selain rasa kecewamu. Ada anak di dalam perut Mara yang harus kita pikirkan! Kamu pikir mama gak marah dan malu dengan kehamilan Amara?! Mama tuh rasanya kalau bisa mau ngusir Amara kalau perlu, tapi mama gak bisa! Semua sudah kejadian! Ini juga salah mama karena kurang keras menjaga kalian berdua! Jadi mama minta tolong sama kamu untuk bisa mengalah kali ini, dan bersabar. Mungkin memang bukan Raga jodoh kamu, mungkin kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari Raga,” ucap Amih mencoba bicara dari hati ke hati dengan anak bungsunya yang lagi ngambek. “Lembayung bukan gak mau ngerti, tapi Lembayung juga cuma perempuan biasa! Kenapa Lembayung harus pura-pura menerima hubungan mas Amara dan mas Raga?!” “Tapi Raga juga bukan pacar kamu, dek!” “Iya, Lembayung juga tahu mas Raga bukan pacar Lembayung! Lembayung juga tahu kalau mas Raga juga cuma ngegodain Lembayung doang! Tapi dirumah ini gak ada yang nanya perasaan Lembayung! Dirumah ini gak ada yang mencoba mengerti kalau Lembayung itu patah hati! Mama cuma sibuk sama pikiran mama sendiri kalau Lembayung halusinasi, Lembayung cuma kagum dan semua semua semua! Tapi gak ada yang peduli kalau Lembayung itu sedih! Sedih!” pekik Lembayung tak bisa lagi menyembunyikan isi hatinya. Tubuh Lembayung membeku ketika ia menoleh ke arah pintu ruang makan ternyata ada Amara dan Raga yang baru saja datang dan masuk ke ruangan yang sama, tentu saja mereka mendengarkan ucapan yang Lembayung ucapkan pada Amih. “Gadis! Tunggu! Mas Raga mau bicara sama kamu,” ucap Raga cepat menahan langkah Lembayung yang langsung berdiri dari kursinya dan beranjak pergi untuk kembali ke kamar. “Nggak! Lembayung gak mau bicara sama mas Raga! Buat apa? Buat menghibur perasaan Lembayung? Aku juga tahu mas Raga gak punya perasaan buatku, tapi aku juga gak pernah minta perasaan ini. Tenang saja, mulai saat ini Lembayung gak akan suka lagi sama mas Raga!” ucap Lembayung dingin lalu berjalan cepat untuk kembali ke kamarnya. “Gadis! Lembayung!” panggil Raga, tetapi Amara menahan Raga dan menggelengkan kepalanya perlahan. Raga pun hanya bisa diam dan menatap Amara juga Amih. Ia merasa sangat bersalah pada Lembayung. Mendengar ucapan Lembayung yang merasa terluka tetapi tak ada yang peduli membuat Raga benar-benar tak enak hati. Ia mengakui bahwa saat ini tak ada yang mempedulikan perasaan Lembayung, termasuk dirinya. Di dalam kamar, lagi - lagi Lembayung menangis karena sedih sekaligus marah. Ia marah kenapa ia bisa jatuh cinta itu pada pria yang tak pernah mencintainya dan hanya menganggapnya seperti anak kecil saja. Ia merasa sangat malu. Tak hanya Lembayung yang menangis pagi itu, di tempat lain ada Arka yang tengah terduduk dilantai dengan mata basah setelah semalaman ia duduk dilantai apartemen yang ia sewakan untuk Amara. Ia merasa marah dengan kehamilan Amara, ia merasa marah karena rasa cintanya pada Amara begitu besar dan hal ini membuatnya benar-benar kecewa dan hancur. Ia merasa marah karena Amara menggunakan ketidaksetujuan orang tua Arka sebagai alasan untuk bisa bersama Raga. Ia marah sangat marah! Ia berharap bisa sangat marah dan benci pada Amara, tapi nyatanya ia tidak bisa. Ia malah tak bisa membenci Amara sama sekali. Yang Arka lakukan malah sebaliknya, tadi malam ia bertengkar dengan sang ibu begitu hebat karena Ranita tak menyetujui hubungannya dengan Amara. “Pokoknya mama gak setuju! Perempuan seperti Amara gak cocok sama kamu, kalian bisa bertengkar terus kalau menikah nanti! Dia itu perempuan ambisius, dia punya rencananya sendiri, sedangkan kamu sudah ada hal yang harus kerjakan Arka! Andai saja Arga sehat, sudah tentu Mama dan Papa tidak akan menyerahkan tanggung jawab besar ini sama kamu, tapi nyatanya hanya kamu anak kami yang bisa kami minta tolong untuk membantu meneruskan usaha keluarga kita! Amara tidak bisa membantumu! Kamu butuh seseorang yang bisa membuatmu tenang dan semakin maju! Tapi bukan dia!” Ucapan sang ibu di telepon membuat Arka merasa muak. Ia ingin berkata bahwa ibunya sok tahu dengan apa yang terbaik untuk dirinya, sedangkan hidupnya adalah miliknya sendiri, bukan milik orang tuanya. Dan kini, ia kehilangan Amara. *** Amara berusaha untuk menguatkan dirinya untuk bangun pagi ini. Entah mengapa perutnya terasa tidak enak pagi ini. Seminggu yang lalu ia memeriksakan kandunganya bersama Raga. Kandungannya yang masih usia minggu terlihat sudah berkembang, tetapi posisinya terlalu berada dibawah sehingga jika tidak hati-hati ia bisa keguguran. Kini ia harus berada dirumah untuk bedrest agar tidak terjadi sesuatu apapun dengan dirinya dan janinnya. Amara menghela nafas panjang, padahal ia tengah meniti karir, posisinya di kantor sedang bagus-bagusnya. Amara yang terkenal minim sekali mengambil cuti, bahkan bekerja di hari liburnya kini terpaksa harus mengambil cutinya. Tapi pekerjaan Amara tak bisa membuatnya benar-benar cuti, sehingga perusahaan memberikannya kesempatan untuk wfh agar ia tetap bisa bekerja dari rumah. Di kantor belum ada yang tahu soal kehamilan Amara ini, ia pun baru memberitahu tentang kehamilannya pada ayahnya – Gatot beberapa hari yang lalu. Tentu saja sang ayah marah bukan kepalang, tapi saat mengetahui kondisi Amara yang melemah, Gatot menjadi diam walau ia masih marah pada anak sulungnya itu dan menyuruh Amara dan Raga untuk segera menikah. Amara baru saja keluar dari kamar tidurnya ketika melihat Lembayung yang juga keluar kamar tetapi kali ini ia sudah siap untuk berangkat kerja. “Sudah mau berangkat, dek? Ini masih terlalu pagi,” ucap Amara menyapa adiknya. “Hmm,” jawab Lembayung pendek. Amara menatap Lembayung yang tampak lebih kurus daripada biasanya. Ia masih belum bisa bertanya pada Lembayung mengapa ia bisa bersama Arka hari itu walau sudah hampir dua minggu berlalu. Sejak Arka mengetahui kehamilannya, mereka tidak ada komunikasi sama sekali. Amara sebenarnya merasa rindu pada Arka dan ingin menjelaskan keadaan yang sebenarnya tapi ia pun menahan diri. Kondisinya saat ini pasti menyakiti perasaan Arka, belum lagi Raga yang kini lebih intens berada bersamanya membuat Amara mengurungkan niatnya untuk berkomunikasi dengan Arka. “Aku berangkat ya mbak,” ucap Lembayung cepat berpamitan pada Amara tanpa menoleh. Amara hanya bisa mengangguk dan menatap adiknya sedih. Walau Lembayung tidak bersikap marah-marah lagi, tetapi adiknya itu seolah membatasi diri pada dirinya dan kedua orangtuanya. Lembayung yang biasanya ceria kini berubah menjadi Lembayung yang pendiam. Sedangkan Lembayung juga sebenarnya merasakan hal yang sama. Selalu berangkat pagi dan pulang lebih malam hanya sebagai pelarian perasaannya saja. Walau sudah mencoba menerima hubungan Amara dan Raga, ternyata Lembayung masih menyimpan perasaan pada Raga. Melihat Raga yang begitu antusias membahas pernikahan dengan Amara membuat hatinya sedih dan kejadian ini membuatnya kena mental sehingga Lembayung merasa tak ingin berhubungan dengan pria manapun, ia merasa tak terlihat dan tak pantas untuk dicintai. Lembayung tengah melamun di dalam busway menuju kantornya, ketika handphonenya berdering nyaring. Wajahnya tampak terkejut ketika melihat nama Arka disana, padahal ia tak pernah menyimpan nomor pria yang pernah menjadi kekasih kakaknya itu. Gadis itu segera me-reject panggilan Arka dan membalasnya dengan pesan. “Lagi di busway, males ngomong,” tulis Lembayung. “Kita harus ketemu!” balas Arka dalam hitungan detik. “Nggak, ah!” “Heh! Bayar hutangmu!” “Idih, mas Arka! Hutang apa?!” “Hotel dan biaya rumah sakit!” “Loh katanya mas Arka yang bayarin?! Jadi laki-laki kok pelit!’ “Loh, katanya kamu mau ganti semuanya?! Ya sudah, kalau mau lunas malam ini kita ketemu!” “Ck, bilang aja ngajak ketemuan! Pasti mau bahas mbak Mara,kan? Gak ah! Males!” “Kalau gitu bayar hutangnya!” “Oke, kita ketemu jam 7 di mall dekat kantorku ya,” “Nanti aku jemput kamu ke kantor, kamu share loc aja.” Lembayung hanya bisa mencibir sambil menatap handphonenya. “Pantes aja mbak Amara gak mau mau amat sama kamu, orangnya perhitungan!” gerutu Lembayung menatap nama mantan kekasih kakaknya itu. Lembayung kembali menerawang ke hari dimana ia dan Arka bersama, seharusnya sebagai kekasih kakaknya saat itu Arka bisa bersikap lebih baik pada Lembayung, tetapi pria itu tak bisa bersikap lembut. Tetapi sikap Arka yang tegas malah membuat mereka berdua berbicara begitu terbuka satu sama lain. Lembayung jadi teringat raut wajah Arka yang tampak syok dan sedih ketika mendengar Amara hamil. Pria itu tampak benar-benar terluka. *** Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN