Kehidupan pernikahan macam apa?

3155 Kata
Jam kini sudah menunjukkan pukul 04:00. entah kenapa di waktu itu adalah waktu di mana tidur akan terasa makin nyenyak. Entah karena bisikan setan atau memang cuacanya yang mendukung. Sama seperti pria yang kini tetap setia tidur di ranjang mahalnya. Sedangkan di kamar Annisa, suara lantunan ayat-ayat Allah terdengar merdu memenuhi semua ruangan. Hingga para pelayan yang mendengar menghentikan langkahnya di depan pintu kamar Annisa untuk mendengar ayat-ayat yang dibacakan oleh Annisa. Suara merdu Annisa sampai di kamar Darel. “Suara siapa?” guman Darel, kakinya secara otomatis melangkah ke sumber suara. Saat kakinya tepat di kamar Annisa, dia mengernyitkan keningnya melihat para pelayan yang kini berkumpul di depan pintunya. “Apa yang kalian lakukan?” Seketika para pelayan terkejut serentak. Keringat dingin mulai membasahi mereka. “Aku tanya kenapa?!” Darel menatap mereka semua dengan tatapan ingin membunuh. Darel pria yang sangat disiplin. “Ka ... Kami ...” Suara kepala pelayan seperti tertahan di tenggorokan saat melihat mata Darel yang berkilat tajam. “Sepertinya, kalian memang sudah tak ingin bekerja di sini lagi.” Darel bersuara santai namun mampu membuat mereka bergetar ketakutan. Kata-kata Darel mungkin bermakna bahwa organ mereka akan dijual. Bekerja menjadi pelayan di rumah Darel memang memiliki gaji yang sangat luar biasa mahal. Dalam sebulan mereka digaji setara dengan pegawai di perusahaan biasa. Tapi inilah risikonya, harus rela kehilangan nyawa tiba-tiba. “Baiklah, Rob ...” Perkataan Darel terhenti saat suara merdu Annisa yang sedang membaca Al-Qur’an kembali terdengar. Seperti terhipnotis, Darel membuka kamar Annisa. Annisa tampak khusuk dengan kitab Al-Qur’an di depannya. Bahkan dia tak sadar kalau Darel kini tengah memperhatikan setiap inchi wajahnya yang tengah membaca. Tepat di bacaan terakhirnya Annisa mencium Al-Qur’annya dan mendongak, matanya terkejut melihat Darel dan para pelayan tengah menatapnya. “Maaf, apabila saya menganggu Anda?” Annisa menundukkan kepalanya. Darel tergagap seketika. “Ehmm!!” Darel menormalkan dirinya yang entah kenapa beberapa menit lalu terasa ada hawa berbeda di dalam dirinya. “Kau ... Ehmm maksudku kamu ... Hah! Terserahlah !!” Darel berlalu cepat dari sana, entah ke mana semua kata-kata hebat yang sering keluar dari bibirnya itu. Para pelayan yang menyaksikan itu mengerutkan kening heran, tak biasanya tuan mereka melepaskan mereka begitu saja. Sedangkan Annisa, hatinya dilanda rasa takut dan merasa tak enak. ‘Dia sangat terganggu denganku? Ya.’ itulah yang dipikirkan oleh Annisa. Hingga perasaan tak enak itu menyinggapi hatinya. Annisa berjalan ke arah dapur, dia berniat memasak untuk Darel mungkin sebagai permintaan maaf. “Permisi, Tuan Darel biasanya memakan apa sebagai sarapan?” pelayan yang Annisa tanyai berhenti lalu mulai menjelaskan menu makanannya. Setelah cukup mengerti Annisa memasak bersama dengan para pelayan yang lain. Saat jam menunjukkan jam 07:00 tepat semuanya telah selesai. Saat Darel memasuki ruang makan, matanya dikejutkan saat Annisa berdiri bersama para pelayan. ‘Dia bukan pelayan seperti itu, tapi pelayan dalam artian berbeda,’ batin Darel masih dengan menatap Annisa intens. “Kau, duduk di sampingku,” ucap Darel dingin. Annisa yang ditunjuk, berjengkit kaget. Dan dengan perlahan duduk di samping Darel dengan kepala tertunduk. Darel mulai memakan makanan yang tersaji di depannya, dia berhenti saat suapan pertama masuk ke dalam mulutnya. “Apa kalian mulai malas?! Kenapa memesan masakan dari hotel hah?!!” Para pelayan dan Annisa sendiri mulai menunduk ketakutan. “Maaf, apa ada yang salah?” tanya Annisa lembut karena semua makanan hampir semuanya dia yang memasak. “Sudah aku bilang, mereka memesan sarapan kali ini di restoran hotel,” ulang Darel sambil menatap Annisa yang kini makin menunduk. “Maaf, Tuan, tapi kami tidak–” “Jangan berbohong! Aku tau mana makanan yang kalian masak dan mana makanan restoran. Dan masakan ini aku yakin kalian mem—” “Maaf, tapi saya yang memasak,” potong Annisa melihat para pelayan nampak pucat seperti tak ada darah lagi di wajah mereka. Mendengar perkataan Annisa, wajah Darel berubah seketika. Marah, tak percaya, heran, aneh, tapi yang paling mendominasi adalah malu. Malu karena secara tidak langsung dia memuji masakan Annisa. Ah ayolah, sejak kapan iblis Amerika ini mulai memuji makanan orang lain? Dia hanya memuji di hati, itu pun kalau makannya benar￾benar enak. Tapi kini dia memuji dengan terang-terangan. Terlepas dari semua itu, Darel benar-benar memuji kalau masakan yang dibuat Annisa sangatlah lezat. “Saya pikir, saya bisa membantu para pelayan di sini dan juga sebagai permintaan maaf karena telah menganggu Anda tadi pagi.” Darel memperhatikan Annisa. Tentu saja dia tidak terganggu dengan suara merdu Annisa tadi pagi. ‘Terganggu apanya, aku bahkan ingin mendengarnya tiap hari,’ batin Darel. Sedetik kemudian dia menggelengkan kepalanya sendiri. ‘Ada apa dengan diriku ini?’ Itulah pertanyaan yang ada di otak Darel semenjak dia mulai memperhatikan Annisa. “Baiklah.” Hanya kata itu yang keluar dari bibir Darel selama lima menit berpikir. Saat Darel kembali menyuapkan makanan ke mulutnya dia mengakui bahwa makanan itu sangatlah lezat. “Makanlah. Setelah kau selesai temui aku di ruang kerjaku.” Darel berdiri meninggalkan Annisa yang masih tetap menunduk. {} Di sinilah Annisa sekarang, di ruangan yang penuh dengan rak buku dan dokumen yang didominasi dengan warna hitam. Ruangan ini tampak sesak dan menakutkan. “Maaf ... Ada perlu apa Tu ... Tuan memanggil saya?” tanya Annisa dengan suara bergetar. “Ehm ... Kita akan menikah seminggu dari sekarang.” Annisa membelalakkan matanya mendengar pernyataan Darel. “Apa?! Tapi kenapa? Karena apa? Dan bagaimana ??” racau Annisa heran. “Kau akan tinggal di sini untuk waktu yang lama, bukankah dalam agamamu lelaki dan perempuan tidak bisa tinggal berdua kalau tidak ada ikatan pernikahan?” “Tapi, bukankah aku pelayanmu? Aku bisa tinggal di sini sama seperti para pelayan,” terang Annisa dengan kening berkerut. “Kenapa kau sangat keras kepala? Kau itu budakku bukan, jadi turuti perintah tuanmu ini!” bentak Darel mulai emosi. “Dalam agama saya pernikahan tidak bisa dilakukan bila agama kita berbeda,” terang Annisa mulai ragu. Darel melempar sebuah kartu ke arah Annisa. Dan terlihat agama Darel adalah Islam. ‘Jadi dia beragama Islam?’ “Aku baru masuk Islam,” terang Darel. Annisa mengangguk-anguk mendengar itu. “Sebenarnya, aku ingin menikahimu karena ... Mommyku,” ucap Darel santai. Tangannya terkepal erat saat menyebutkan nama mommynya. “Ken—” “Dia sakit jantung, aku harus menikah,” terang Darel santai. “Karena aku malas mencari kekasih, jadi aku ambil saja salah satu dari pelayanku, dan kau yang paling cocok. Karena ... Dia tidak mengenalmu.” Dusta darel sangat mulus. Annisa mengangguk-anguk percaya. “Baiklah, aku hanya memberitahu ini. Aku hanya memberi tahu, kau tidak ada pilihan untuk menolak.” Darel berdiri, melangkah ke arah tempat kerjanya. Annisa berjalan sambil menunduk ke arah kamarnya. ‘Ya Allah, cobaan apalagi ini?’ Annisa berjalan lesu. {} Seperti ucapan Darel beberapa waktu lalu, pernikahan itu kini benar-benar terjadi. Pernikahan Darel dan Annisa diliput semua media bahkan sampai mancanegara. Pernikahan termewah abad ini, dengan gaya garden party. Pernikahan yang mengundang hampir seluruh orang terkemuka di New York. Karena pernikahan ini, Annisa disebut-sebut sebagai Cinderela yang berada di negeri dongeng. Mungkin iya. Annisa menjadi Cinderela. Namun perbedaannya, di cerita Cinderela pangerannya orang baik hati, sedangkan di hidup Annisa, pria kejam, berjiwa psikopatlah yang ia nikahi. Annisa menggunakan gaun pengantin rancangan desainer terkenal. Gaun yang bertabur emas di pinggirnya. Gaun yang hanya satu di dunia. Khusus untuk Annisa. Melihat gaun itu, para tamu undangan yang melihatnya sangat iri dan memaki kenapa ada orang seberuntung Annisa? Namun kenyataanya, apakah Annisa seberuntung itu? Kini, Annisa tengah duduk di kamarnya menunggu Darel mengucapkan ijab kabul. Lalu dia akan keluar bertemu suaminya dan menyaliminya. “Kau, sangat beruntung bisa menikah dengan pria sekaya dia.” Annisa mendongak melihat Carry yang menatapnya sinis, terdapat nada tak suka di perkataan Carry. “Apa yang kau berikan padanya?” Annisa sontak mengernyitkan keningnya bingung mendengar pertanyaan Carry. “Maaf, maksud Kakak apa?” tanya Annisa lembut. “Hahahaha, ayolah, Annisa, jangan pura-pura polos. Orang sekaya dan setampan Darel, tidak akan mungkin mau menikahimu dengan cuma-cuma. Apa kau menggodanya? Memberikan tubuhmu padanya?” “Astaghfirullahhaladzim, Kak! Annisa tidak berbuat seperti itu!” tegas Annisa tak terima. “Hmm, who know?” Annisa hanya menggelengkan kepalanya tak percaya pada Carry. “Kau benar-benar licik, Annisa, seharusnya aku yang menikah dengan Darel. Kau merebutnya dariku.” Annisa makin mengerutkan keningnya. “Bukankah, Kakak dan Bibi yang memintaku diserahkan pada Tuan Darel? Lalu apa salahku di sini?” “Salahmu, kenapa kau harus hidup dengan kami. Kalau saja kau tidak ada, aku bisa menikah dengan Darel tapi dengan caraku. Tapi kau lagi-lagi mengambil semuanya dariku. Annisa hanya menunduk mendengarkan ucapan Carry yang melantur ke mana-mana. “Tapi tak apa, akan lebih menarik kalau begini.” Carry menampilkan senyum yang tak Annisa mengerti yang pasti itu senyum kejam. “Maaf, Kak, sep—” Perkataan Annisa terhenti saat suara pamannya terdengar. “Saudara Darel Ardiaz, aku nikahkan dan kawin kau dengan anakku, Annisa Faiha binti Endrawan Rahendra dengan mas kawin 200 gram emas dibayar tunai.” “Saya terima nikah dan kawinnya, Annisa Faiha binti Endrawan Rahendra dengan mas kawin tersebut dibayar tunai...” SAH! Setelah sekian lama menunggu, akhirnya akadnya terlaksana dengan baik Darel membacanya dengan satu tarikan napas. Tepat di kata sah, Annisa meneteskan air mata. ‘Inilah awal hidupku yang baru dengannya. Semoga Allah selalu memberikan kemudahan.’ Doa Annisa dalam hati. Annisa diantar Carry keluar dari ruangannya untuk menemui Darel. Diiringi sinar blitz kamera Annisa menundukkan kepalanya menuju Darel. Para tamu undangan melihat Annisa dengan tatapan beragam macam. Tepat di hadapan Darel, Annisa mendongakkan kepalanya dan menatap tepat di mata Darel. Kejadian itu pun tak lupa diabadikan para pemburu gambar yang berada di sekitar sana. Sedangkan Annisa maupun Darel, mereka terpaku di tempat, menatap ke mata pasangan masing masing. Annisa yang lebih dulu tersadar segera mencium tangan Darel. ‘Akhirnya, dialah yang ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi imamku. Semoga Allah memberkati pernikahan kami ini sampai kami hanya terpisah oleh Allah.’ Itulah doa yang diucapkan Annisa saat dia mencium tangan Darel. ‘Sudah aku katakan bukan, kalau kau akan menjadi istriku, menjadi milikku dan akan bertekuk lutut di kakiku.’ Senyum kejam Darel seketika menjadikan ruangan itu terasa kelam. {} Setelah resepsi yang tak bisa dihitung megahnya itu, sama seperti pengantin wanita lainnya Annisa memasuki kamar yang kini dihias sedemikian rupa. “Selamat menikmati, Adikku. Nikmati saja sebelum semuanya beralih ke tanganku.” Carry tersenyum sinis ke arah Annisa lalu segera pergi keluar meninggalkan Annisa yang mengerutkan keningnya. ‘Ada apa dengan kak Carry?’ Annisa menggelengkan kepala dan mulai menatap ke sekeliling kamar. Pipi Annisa merona seketika. Kakinya melangkah ke arah koper yang terletak di dekat sofa panjang berwarna hijau. Annisa membuka kopernya dan mengambil sebuah foto yang di frame dengan indah. Senyum manis terbit di wajah Annisa saat dia melihat potret keluarga bahagia di foto itu. “Annisa sekarang sudah besar, Pa, Ma. Annisa sudah menikah hari ini, Annisa janji apa pun yang terjadi nanti, Annisa akan mempertahankan rumah tangga Annisa dan menjadi yang terbaik buat ... Darel.” Annisa berhenti saat mengucapkan kata Darel. Harus dengan apa dia memanggil Darel kini? Tidak mungkin dia akan memanggil nama terus pada Darel itu sangat tidak sopan. Apa dia harus mulai memanggil Darel dengan sebutan Kak? Ah tidak, itu akan sangat aneh. Mas? Itu sangat menunjukkan jawa dan dia bukan orang jawa. Annisa mengeleng-gelengkan kepalanya sendiri. ‘Aku akan bertanya dengannya nanti, dia mau dipanggil apa.’ Cklek! Annisa terperanjat dari duduknya, tangannya seketika saling remas saat Darel dengan gagahnya memasuki kamar mereka. “Kau tidak mandi?” “Eh ... I ... Iya.” Annisa buru-buru pergi ke kamar mandi. Darel menatap Annisa yang pergi ditelan pintu. ‘Kenapa kalian sangat sama?’ Darel memejamkan matanya seolah menahan rasa sakit yang teramat dalam. Saat Annisa selesai dia bersiap keluar dengan pakaian lengkap, bahkan dia belum membuka kerudungnya. Baru dia akan melangkah keluar suara Darel terdengar di telinganya. “Iya, Sayang, kenapa? ‘Dengan siapa Darel bicara?’ batin Annisa heran. “Ah, tidak masalah, itu hanya status.” “.....” “Tidak mungkin dia memarahimu, dia hanyalah b***k beruntung yang aku nikahi. Sudahlah lupakan soal dia. Aku akan menemuimu sekarang. Siapkan dirimu, mungkin kita tidak akan tid—” Cklek! Annisa membuka pintu dengan sedikit keras hingga Darel menatap ke arahnya, dengan menunduk Annisa tetap diam di tempat. Otaknya beku seketika, lidahnya ingin bertanya banyak hal pada Darel dan juga dia bingung pembicaraan apa yang dia harus mulai. “Darel—” Dengan tergesa-gesa dan tanpa mengucapkan apa pun Darel keluar dari kamar mereka dan pergi entah ke mana. Meninggalkan Annisa yang terpaku di tempat. Menatap sedih ke arah di mana Darel menghilang. ‘Ya Allah, cobaan macam apa ini?’ Ting! Annisa terperanjat mendengar suara handphone di sofanya dengan tergesa dia mengambil handphone tersebut. Dia kira itu dari keluarganya ternyata ... From Darel : Aku ada urusan. Hanya itu, tiga kata yang tak menjelaskan apa-apa dan tak menjawab apa pun dari berkecamuknya pertanyaan di kepala Annisa. Annisa terduduk di lantai. Air matanya mengalir dengan deras. Dia bahkan tak tau apa yang dia tangisi sekarang, yang pasti rasa sesak dan sakit bagai ditikam belati kini memenenuhi hatinya. Adakah pengantin baru yang lebih menyedihkan dari dirinya? Pengantin wanita yang baru menjadi seorang istri beberapa jam lalu namun sudah mendengar suaminya berselingkuh? Pengantin yang ditinggalkan di malam pertama mereka? Drtt! Drtt Dengan lemah Annisa membuka handphonenya, tulisan paman tertera di layar handphonenye. Annisa membersihkan air matanya dan mulai menormalkan suaranya. “Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, Paman.” Annisa mengucap salam dengan pelan berusaha menyamarkan suaranya yang serak. “Waalaikumusalam warohmatullahi wabarokatuh, Nak. Bagaimana dengan—” “Baik, Paman. Semuanya baik-baik saja.” “Paman sangat takut dia menyakitimu, Nak.” Aditama terdengar khawatir di sebrang sana. “Tidak, Paman. Dia ... Dia sangat baik. Sudah ya, Paman, Darel sudah—” “Ah ... Iya iya paman mengerti, maaf menganggu kalian, Nak. Paman senang kalau kamu baik-baik saja.” Aditama terdengar sedikit lega. “Iya,” balas Annisa lemah dan menutup sambungan telepon mereka. Air matanya lagi lagi menetes. “Aku tidak baik-baik saja, Paman.” Annisa terus menangis dengan kepala di atas sofa hingga ketiduran. {} Matahari mulai bersinar dengan terang mengalahkan semua sinar yang dibuat manusia. Sangking terangnya hingga mampu menembus gorden hitam tebal yang membayangi gadis manis yang kini tengah tidur dengan posisi duduk dan bersandar di sofa. Merasa terusik, Annisa membuka matanya perlahan. Dengan linglung Annisa menatap ke sekitar kamarnya. ‘Astaghfirullah, di mana aku sekarang?’ Pikiran kalut mulai memenuhi hati Annisa. “Kau sudah bangun.” Darel menatap Annisa datar. Pikiran Annisa langsung sadar kalau dia sudah menikah dan semalam—. “Ma ... Kak ....” “Panggil saja dengan nama. Aku jijik dengan pangilan lain.” Annisa makin menundukkan kepalanya. “Cepat bersihkan dirimu dan turun ke bawah, kita makan bersama.” Annisa kembali menganggukkan kepalanya. Sekilas dia menatap Darel yang tampak sangat rapi dan bersih. ‘Ke mana dia semalaman? Annisa melangkah pelan ke arah kamar mandinya. Saat dia hendak memasukkan bajunya ke keranjang cucian kotor matanya terpaku menatap banyaknya noda lipstik di kemeja Darel. Tanpa Annisa sadari, air matanya mulai menetes dengan deras. Benar dugaannya semalam kalau Darel pergi ke tempat wanita lain. Apa dirinya begitu hina hingga Darel tak bersedia menyentuhnya? Atau dia sangat menjijikkan di mata Darel? Kalau dia wanita biasanya, sudah sepastinya dia akan berteriak dan memukuli Darel dengan membabi buta. Tapi Annisa, dia hanya menangis dalam kesendiriannya. Menormalkan sedikit hatinya, Annisa mulai mandi dan bersiap turun ke meja makan. Dia tak ingin membuat Darel terlalu lama menunggu. {} Meja makan ini terlihat dingin, walaupun para pelayan berjejer di belakang mereka itu, tetap saja tak menambah kehangatan. Hanya terdengar suara sendok dan gelas yang beradu. Annisa yang merasa asing dengan situasi ini duduk dengan tidak nyaman. “Aku selesai, kalau kau sudah selesai makan, temui aku di ruang kerjaku.” Annisa mengangguk patuh. Tanpa menunggu waktu lama, Annisa segera pergi ke ruangan Darel. Di sinilah dia sekarang, ruangan yang didominasi warna hitam hingga membuat ruangan ini tampak begitu misterius. “Aku ingin mengatakan sesuatu.” Annisa mendongakkan kepalanya sedikit mendengar suara Darel. Mata cokelat indahnya menatap tepat di mata biru Darel. Dalam hitungan menit tatapan mereka mengunci satu sama lain, menyelami dunia masing-masing lewat tatapan mata. Hingga Annisa memutus kontak mata mereka duluan dan mengucap lirih. “Ehm!....” Darel berdeham cukup keras untuk membersihkan tenggorokannya. “Aku menikahimu karena bisnis.” Annisa mengerutkan keningnya seketika mendengar pernyataan Darel tapi dia tetap diam, bukankah dia bilang karena ibunya? Melihat Annisa tak bereaksi seperti bayangannya dia mulai berdeham kembali dan mulai bicara. “Kau pasti tahu, dalam bisnis kerja sama akan lebih mudah dicapai saat kau sudah menikah. Alasan konyol dan klise memang, tapi begitulah kenyataanya. Untuk itu aku menikah,” terang Darel santai sambil terus memperhatikan Annisa yang tetap tertunduk. ‘Kenapa dia tak bereaksi?’ batin Darel kesal. Dia berharap Annisa akan menangis karena sakit hati ataupun menjerit dan meneriakinya. “Bukankah Anda bilang ... Anda menikahi saya karena ibu Anda?” tanya Annisa pelan hingga seperti berbisik. Hanya kata itulah yang dikeluarkan dari ribuan kata yang berkeliaran di kepalanya. “Dan kau percaya?” Darel menyeringai. Yang membuat Annisa memejamkan matanya. Inilah yang diinginkan Darel, membuat wanita itu berharap akan bahagia lalu dihempaskan ke neraka. “Alasan sebenarnya ya karena BISNIS, Karena aku malas mencari perempuan lain, dan aku malas menikahi seorang perempuan yang ada di luar sana karena mereka akan sangat merepotkan, bahkan mungkin mereka hanya menginginkan uangku. Tapi denganmu, aku bisa berbuat apa pun karena kau, Bu-dak-ku,” jawab Darel dengan mengeja dan menekankan kata b***k di akhirnya. Annisa mengangguk seolah mengatakan kalau dia mengerti. “Saya mengerti, permisi.” Annisa berdiri dan beranjak keluar dari ruangan yang terasa begitu menyesakkan itu di dalam hatinya. Harusnya, Annisa memarahi Darel sekuat tenaga, harusnya Annisa memukuli Darel atas kekejaman pria itu. Tapi, Annisa sadar kalau dia hanya b***k di sini. Annisa berlari cepat ke arah kamarnya. Dia terus berlari hingga sampai di kamar mandi. Annisa menghidupkan shower kamar mandinya sederas mungkin dan mulai menangis di bawahnya dia menangis sekeras-kerasnya karena dia tahu kalau sekeras apa pun dia menangis tak akan didengar oleh orang. “Apa aku memang ditakdirkan hanya untuk menjadi b***k? Bukan seorang istri atau anak? Apa aku tak pantas bahagia?” Pertanyaan itu meluncur di bibir Annisa. Pertanyaan yang sejak semalam dia pendam di ujung lidahnya. Sungguh dia lelah dengan hidupnya. Sejak kecil dia tak punya keluarga, dia hidup di atas kebencian kakak sepupu dan bibinya. dan bertahan dengan kenangan masa bahagianya. Salahkan bila dia bahagia saat pernikahannya dan membentuk keluarga bahagia? Annisa terus menangis dan menjerit di bawah shower yang turun dengan deras. Dia tak ingin menangis saat dilihat banyak orang karena dia tak ingin terlihat lemah. Terkadang, seseorang butuh menangis untuk meluapkan semua emosi di hati yang tak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Saat itu terjadi padamu, maka menangislah karena menangis, bukanlah sebuah dosa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN