Jam kini sudah menunjukkan pukul 04:00. entah kenapa di waktu
itu adalah waktu di mana tidur akan terasa makin nyenyak. Entah
karena bisikan setan atau memang cuacanya yang mendukung. Sama
seperti pria yang kini tetap setia tidur di ranjang mahalnya.
Sedangkan di kamar Annisa, suara lantunan ayat-ayat Allah
terdengar merdu memenuhi semua ruangan. Hingga para pelayan
yang mendengar menghentikan langkahnya di depan pintu kamar
Annisa untuk mendengar ayat-ayat yang dibacakan oleh Annisa.
Suara merdu Annisa sampai di kamar Darel.
“Suara siapa?” guman Darel, kakinya secara otomatis melangkah
ke sumber suara.
Saat kakinya tepat di kamar Annisa, dia mengernyitkan keningnya
melihat para pelayan yang kini berkumpul di depan pintunya.
“Apa yang kalian lakukan?”
Seketika para pelayan terkejut serentak. Keringat dingin mulai
membasahi mereka. “Aku tanya kenapa?!” Darel menatap mereka semua dengan
tatapan ingin membunuh. Darel pria yang sangat disiplin.
“Ka ... Kami ...” Suara kepala pelayan seperti tertahan di
tenggorokan saat melihat mata Darel yang berkilat tajam.
“Sepertinya, kalian memang sudah tak ingin bekerja di sini lagi.”
Darel bersuara santai namun mampu membuat mereka bergetar
ketakutan. Kata-kata Darel mungkin bermakna bahwa organ mereka
akan dijual.
Bekerja menjadi pelayan di rumah Darel memang memiliki gaji
yang sangat luar biasa mahal. Dalam sebulan mereka digaji setara
dengan pegawai di perusahaan biasa. Tapi inilah risikonya, harus rela
kehilangan nyawa tiba-tiba.
“Baiklah, Rob ...” Perkataan Darel terhenti saat suara merdu Annisa
yang sedang membaca Al-Qur’an kembali terdengar.
Seperti terhipnotis, Darel membuka kamar Annisa. Annisa
tampak khusuk dengan kitab Al-Qur’an di depannya. Bahkan dia tak
sadar kalau Darel kini tengah memperhatikan setiap inchi wajahnya
yang tengah membaca.
Tepat di bacaan terakhirnya Annisa mencium Al-Qur’annya dan
mendongak, matanya terkejut melihat Darel dan para pelayan tengah
menatapnya.
“Maaf, apabila saya menganggu Anda?” Annisa menundukkan
kepalanya. Darel tergagap seketika.
“Ehmm!!”
Darel menormalkan dirinya yang entah kenapa beberapa menit
lalu terasa ada hawa berbeda di dalam dirinya.
“Kau ... Ehmm maksudku kamu ... Hah! Terserahlah !!” Darel berlalu
cepat dari sana, entah ke mana semua kata-kata hebat yang sering keluar dari bibirnya itu.
Para pelayan yang menyaksikan itu mengerutkan kening heran,
tak biasanya tuan mereka melepaskan mereka begitu saja.
Sedangkan Annisa, hatinya dilanda rasa takut dan merasa tak
enak.
‘Dia sangat terganggu denganku? Ya.’ itulah yang dipikirkan oleh
Annisa. Hingga perasaan tak enak itu menyinggapi hatinya.
Annisa berjalan ke arah dapur, dia berniat memasak untuk Darel
mungkin sebagai permintaan maaf.
“Permisi, Tuan Darel biasanya memakan apa sebagai sarapan?”
pelayan yang Annisa tanyai berhenti lalu mulai menjelaskan menu
makanannya.
Setelah cukup mengerti Annisa memasak bersama dengan para
pelayan yang lain.
Saat jam menunjukkan jam 07:00 tepat semuanya telah selesai.
Saat Darel memasuki ruang makan, matanya dikejutkan saat
Annisa berdiri bersama para pelayan.
‘Dia bukan pelayan seperti itu, tapi pelayan dalam artian berbeda,’
batin Darel masih dengan menatap Annisa intens.
“Kau, duduk di sampingku,” ucap Darel dingin. Annisa yang
ditunjuk, berjengkit kaget. Dan dengan perlahan duduk di samping
Darel dengan kepala tertunduk.
Darel mulai memakan makanan yang tersaji di depannya, dia
berhenti saat suapan pertama masuk ke dalam mulutnya.
“Apa kalian mulai malas?! Kenapa memesan masakan dari hotel
hah?!!” Para pelayan dan Annisa sendiri mulai menunduk ketakutan.
“Maaf, apa ada yang salah?” tanya Annisa lembut karena semua
makanan hampir semuanya dia yang memasak. “Sudah aku bilang, mereka memesan sarapan kali ini di restoran
hotel,” ulang Darel sambil menatap Annisa yang kini makin menunduk.
“Maaf, Tuan, tapi kami tidak–”
“Jangan berbohong! Aku tau mana makanan yang kalian masak
dan mana makanan restoran. Dan masakan ini aku yakin kalian
mem—”
“Maaf, tapi saya yang memasak,” potong Annisa melihat para
pelayan nampak pucat seperti tak ada darah lagi di wajah mereka.
Mendengar perkataan Annisa, wajah Darel berubah seketika.
Marah, tak percaya, heran, aneh, tapi yang paling mendominasi adalah
malu. Malu karena secara tidak langsung dia memuji masakan Annisa.
Ah ayolah, sejak kapan iblis Amerika ini mulai memuji makanan
orang lain? Dia hanya memuji di hati, itu pun kalau makannya benarbenar enak. Tapi kini dia memuji dengan terang-terangan.
Terlepas dari semua itu, Darel benar-benar memuji kalau masakan
yang dibuat Annisa sangatlah lezat.
“Saya pikir, saya bisa membantu para pelayan di sini dan juga
sebagai permintaan maaf karena telah menganggu Anda tadi pagi.”
Darel memperhatikan Annisa. Tentu saja dia tidak terganggu
dengan suara merdu Annisa tadi pagi. ‘Terganggu apanya, aku bahkan
ingin mendengarnya tiap hari,’ batin Darel. Sedetik kemudian dia
menggelengkan kepalanya sendiri.
‘Ada apa dengan diriku ini?’ Itulah pertanyaan yang ada di otak
Darel semenjak dia mulai memperhatikan Annisa.
“Baiklah.” Hanya kata itu yang keluar dari bibir Darel selama lima
menit berpikir. Saat Darel kembali menyuapkan makanan ke mulutnya
dia mengakui bahwa makanan itu sangatlah lezat.
“Makanlah. Setelah kau selesai temui aku di ruang kerjaku.” Darel berdiri meninggalkan Annisa yang masih tetap menunduk.
{}
Di sinilah Annisa sekarang, di ruangan yang penuh dengan rak
buku dan dokumen yang didominasi dengan warna hitam. Ruangan
ini tampak sesak dan menakutkan.
“Maaf ... Ada perlu apa Tu ... Tuan memanggil saya?” tanya Annisa
dengan suara bergetar.
“Ehm ... Kita akan menikah seminggu dari sekarang.”
Annisa membelalakkan matanya mendengar pernyataan Darel.
“Apa?! Tapi kenapa? Karena apa? Dan bagaimana ??” racau Annisa
heran.
“Kau akan tinggal di sini untuk waktu yang lama, bukankah dalam
agamamu lelaki dan perempuan tidak bisa tinggal berdua kalau tidak
ada ikatan pernikahan?”
“Tapi, bukankah aku pelayanmu? Aku bisa tinggal di sini sama
seperti para pelayan,” terang Annisa dengan kening berkerut.
“Kenapa kau sangat keras kepala? Kau itu budakku bukan, jadi
turuti perintah tuanmu ini!” bentak Darel mulai emosi.
“Dalam agama saya pernikahan tidak bisa dilakukan bila agama
kita berbeda,” terang Annisa mulai ragu.
Darel melempar sebuah kartu ke arah Annisa. Dan terlihat agama
Darel adalah Islam.
‘Jadi dia beragama Islam?’
“Aku baru masuk Islam,” terang Darel.
Annisa mengangguk-anguk mendengar itu.
“Sebenarnya, aku ingin menikahimu karena ... Mommyku,”
ucap Darel santai. Tangannya terkepal erat saat menyebutkan nama
mommynya. “Ken—”
“Dia sakit jantung, aku harus menikah,” terang Darel santai.
“Karena aku malas mencari kekasih, jadi aku ambil saja salah satu
dari pelayanku, dan kau yang paling cocok. Karena ... Dia tidak
mengenalmu.” Dusta darel sangat mulus. Annisa mengangguk-anguk
percaya.
“Baiklah, aku hanya memberitahu ini. Aku hanya memberi tahu,
kau tidak ada pilihan untuk menolak.” Darel berdiri, melangkah ke arah
tempat kerjanya.
Annisa berjalan sambil menunduk ke arah kamarnya.
‘Ya Allah, cobaan apalagi ini?’
Annisa berjalan lesu.
{}
Seperti ucapan Darel beberapa waktu lalu, pernikahan itu kini
benar-benar terjadi. Pernikahan Darel dan Annisa diliput semua media
bahkan sampai mancanegara.
Pernikahan termewah abad ini, dengan gaya garden party.
Pernikahan yang mengundang hampir seluruh orang terkemuka di
New York.
Karena pernikahan ini, Annisa disebut-sebut sebagai Cinderela
yang berada di negeri dongeng. Mungkin iya. Annisa menjadi
Cinderela. Namun perbedaannya, di cerita Cinderela pangerannya
orang baik hati, sedangkan di hidup Annisa, pria kejam, berjiwa
psikopatlah yang ia nikahi.
Annisa menggunakan gaun pengantin rancangan desainer
terkenal. Gaun yang bertabur emas di pinggirnya. Gaun yang hanya
satu di dunia. Khusus untuk Annisa. Melihat gaun itu, para tamu
undangan yang melihatnya sangat iri dan memaki kenapa ada orang seberuntung Annisa? Namun kenyataanya, apakah Annisa
seberuntung itu?
Kini, Annisa tengah duduk di kamarnya menunggu Darel
mengucapkan ijab kabul. Lalu dia akan keluar bertemu suaminya dan
menyaliminya.
“Kau, sangat beruntung bisa menikah dengan pria sekaya dia.”
Annisa mendongak melihat Carry yang menatapnya sinis,
terdapat nada tak suka di perkataan Carry.
“Apa yang kau berikan padanya?”
Annisa sontak mengernyitkan keningnya bingung mendengar
pertanyaan Carry.
“Maaf, maksud Kakak apa?” tanya Annisa lembut.
“Hahahaha, ayolah, Annisa, jangan pura-pura polos. Orang
sekaya dan setampan Darel, tidak akan mungkin mau menikahimu
dengan cuma-cuma. Apa kau menggodanya? Memberikan tubuhmu
padanya?”
“Astaghfirullahhaladzim, Kak! Annisa tidak berbuat seperti itu!”
tegas Annisa tak terima.
“Hmm, who know?” Annisa hanya menggelengkan kepalanya tak
percaya pada Carry.
“Kau benar-benar licik, Annisa, seharusnya aku yang menikah
dengan Darel. Kau merebutnya dariku.”
Annisa makin mengerutkan keningnya.
“Bukankah, Kakak dan Bibi yang memintaku diserahkan pada
Tuan Darel? Lalu apa salahku di sini?”
“Salahmu, kenapa kau harus hidup dengan kami. Kalau saja kau
tidak ada, aku bisa menikah dengan Darel tapi dengan caraku. Tapi
kau lagi-lagi mengambil semuanya dariku. Annisa hanya menunduk mendengarkan ucapan Carry yang
melantur ke mana-mana.
“Tapi tak apa, akan lebih menarik kalau begini.” Carry menampilkan
senyum yang tak Annisa mengerti yang pasti itu senyum kejam.
“Maaf, Kak, sep—”
Perkataan Annisa terhenti saat suara pamannya terdengar.
“Saudara Darel Ardiaz, aku nikahkan dan kawin kau dengan
anakku, Annisa Faiha binti Endrawan Rahendra dengan mas kawin 200
gram emas dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya, Annisa Faiha binti Endrawan
Rahendra dengan mas kawin tersebut dibayar tunai...”
SAH!
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya akadnya terlaksana
dengan baik Darel membacanya dengan satu tarikan napas. Tepat di
kata sah, Annisa meneteskan air mata.
‘Inilah awal hidupku yang baru dengannya. Semoga Allah selalu
memberikan kemudahan.’ Doa Annisa dalam hati.
Annisa diantar Carry keluar dari ruangannya untuk menemui
Darel. Diiringi sinar blitz kamera Annisa menundukkan kepalanya
menuju Darel. Para tamu undangan melihat Annisa dengan tatapan
beragam macam.
Tepat di hadapan Darel, Annisa mendongakkan kepalanya dan
menatap tepat di mata Darel. Kejadian itu pun tak lupa diabadikan
para pemburu gambar yang berada di sekitar sana.
Sedangkan Annisa maupun Darel, mereka terpaku di tempat,
menatap ke mata pasangan masing masing. Annisa yang lebih dulu
tersadar segera mencium tangan Darel.
‘Akhirnya, dialah yang ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi imamku. Semoga Allah memberkati pernikahan kami ini sampai kami
hanya terpisah oleh Allah.’ Itulah doa yang diucapkan Annisa saat dia
mencium tangan Darel.
‘Sudah aku katakan bukan, kalau kau akan menjadi istriku,
menjadi milikku dan akan bertekuk lutut di kakiku.’ Senyum kejam
Darel seketika menjadikan ruangan itu terasa kelam.
{}
Setelah resepsi yang tak bisa dihitung megahnya itu, sama seperti
pengantin wanita lainnya Annisa memasuki kamar yang kini dihias
sedemikian rupa.
“Selamat menikmati, Adikku. Nikmati saja sebelum semuanya
beralih ke tanganku.” Carry tersenyum sinis ke arah Annisa lalu segera
pergi keluar meninggalkan Annisa yang mengerutkan keningnya.
‘Ada apa dengan kak Carry?’ Annisa menggelengkan kepala dan
mulai menatap ke sekeliling kamar. Pipi Annisa merona seketika.
Kakinya melangkah ke arah koper yang terletak di dekat sofa
panjang berwarna hijau. Annisa membuka kopernya dan mengambil
sebuah foto yang di frame dengan indah.
Senyum manis terbit di wajah Annisa saat dia melihat potret
keluarga bahagia di foto itu.
“Annisa sekarang sudah besar, Pa, Ma. Annisa sudah menikah
hari ini, Annisa janji apa pun yang terjadi nanti, Annisa akan
mempertahankan rumah tangga Annisa dan menjadi yang terbaik
buat ... Darel.” Annisa berhenti saat mengucapkan kata Darel.
Harus dengan apa dia memanggil Darel kini? Tidak mungkin dia
akan memanggil nama terus pada Darel itu sangat tidak sopan. Apa
dia harus mulai memanggil Darel dengan sebutan Kak? Ah tidak, itu
akan sangat aneh. Mas? Itu sangat menunjukkan jawa dan dia bukan orang jawa. Annisa mengeleng-gelengkan kepalanya sendiri.
‘Aku akan bertanya dengannya nanti, dia mau dipanggil apa.’
Cklek!
Annisa terperanjat dari duduknya, tangannya seketika saling
remas saat Darel dengan gagahnya memasuki kamar mereka.
“Kau tidak mandi?”
“Eh ... I ... Iya.” Annisa buru-buru pergi ke kamar mandi. Darel
menatap Annisa yang pergi ditelan pintu.
‘Kenapa kalian sangat sama?’ Darel memejamkan matanya seolah
menahan rasa sakit yang teramat dalam.
Saat Annisa selesai dia bersiap keluar dengan pakaian lengkap,
bahkan dia belum membuka kerudungnya. Baru dia akan melangkah
keluar suara Darel terdengar di telinganya.
“Iya, Sayang, kenapa?
‘Dengan siapa Darel bicara?’ batin Annisa heran.
“Ah, tidak masalah, itu hanya status.”
“.....”
“Tidak mungkin dia memarahimu, dia hanyalah b***k beruntung
yang aku nikahi. Sudahlah lupakan soal dia. Aku akan menemuimu
sekarang. Siapkan dirimu, mungkin kita tidak akan tid—”
Cklek!
Annisa membuka pintu dengan sedikit keras hingga Darel
menatap ke arahnya, dengan menunduk Annisa tetap diam di tempat.
Otaknya beku seketika, lidahnya ingin bertanya banyak hal pada
Darel dan juga dia bingung pembicaraan apa yang dia harus mulai.
“Darel—”
Dengan tergesa-gesa dan tanpa mengucapkan apa pun Darel
keluar dari kamar mereka dan pergi entah ke mana. Meninggalkan Annisa yang terpaku di tempat. Menatap sedih ke arah di mana Darel
menghilang.
‘Ya Allah, cobaan macam apa ini?’
Ting! Annisa terperanjat mendengar suara handphone di sofanya
dengan tergesa dia mengambil handphone tersebut. Dia kira itu dari
keluarganya ternyata ...
From Darel : Aku ada urusan.
Hanya itu, tiga kata yang tak menjelaskan apa-apa dan tak
menjawab apa pun dari berkecamuknya pertanyaan di kepala Annisa.
Annisa terduduk di lantai. Air matanya mengalir dengan deras.
Dia bahkan tak tau apa yang dia tangisi sekarang, yang pasti rasa sesak
dan sakit bagai ditikam belati kini memenenuhi hatinya.
Adakah pengantin baru yang lebih menyedihkan dari dirinya?
Pengantin wanita yang baru menjadi seorang istri beberapa jam lalu
namun sudah mendengar suaminya berselingkuh?
Pengantin yang ditinggalkan di malam pertama mereka?
Drtt! Drtt
Dengan lemah Annisa membuka handphonenya, tulisan paman
tertera di layar handphonenye. Annisa membersihkan air matanya dan
mulai menormalkan suaranya.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, Paman.” Annisa
mengucap salam dengan pelan berusaha menyamarkan suaranya
yang serak.
“Waalaikumusalam warohmatullahi wabarokatuh, Nak.
Bagaimana dengan—”
“Baik, Paman. Semuanya baik-baik saja.”
“Paman sangat takut dia menyakitimu, Nak.” Aditama terdengar
khawatir di sebrang sana. “Tidak, Paman. Dia ... Dia sangat baik. Sudah ya, Paman, Darel
sudah—”
“Ah ... Iya iya paman mengerti, maaf menganggu kalian, Nak.
Paman senang kalau kamu baik-baik saja.” Aditama terdengar sedikit
lega.
“Iya,” balas Annisa lemah dan menutup sambungan telepon
mereka. Air matanya lagi lagi menetes.
“Aku tidak baik-baik saja, Paman.” Annisa terus menangis dengan
kepala di atas sofa hingga ketiduran.
{}
Matahari mulai bersinar dengan terang mengalahkan semua sinar
yang dibuat manusia. Sangking terangnya hingga mampu menembus
gorden hitam tebal yang membayangi gadis manis yang kini tengah
tidur dengan posisi duduk dan bersandar di sofa.
Merasa terusik, Annisa membuka matanya perlahan. Dengan
linglung Annisa menatap ke sekitar kamarnya.
‘Astaghfirullah, di mana aku sekarang?’ Pikiran kalut mulai
memenuhi hati Annisa.
“Kau sudah bangun.” Darel menatap Annisa datar. Pikiran Annisa
langsung sadar kalau dia sudah menikah dan semalam—.
“Ma ... Kak ....”
“Panggil saja dengan nama. Aku jijik dengan pangilan lain.”
Annisa makin menundukkan kepalanya.
“Cepat bersihkan dirimu dan turun ke bawah, kita makan
bersama.”
Annisa kembali menganggukkan kepalanya. Sekilas dia menatap
Darel yang tampak sangat rapi dan bersih.
‘Ke mana dia semalaman? Annisa melangkah pelan ke arah kamar mandinya. Saat dia
hendak memasukkan bajunya ke keranjang cucian kotor matanya
terpaku menatap banyaknya noda lipstik di kemeja Darel.
Tanpa Annisa sadari, air matanya mulai menetes dengan deras.
Benar dugaannya semalam kalau Darel pergi ke tempat wanita lain.
Apa dirinya begitu hina hingga Darel tak bersedia menyentuhnya?
Atau dia sangat menjijikkan di mata Darel?
Kalau dia wanita biasanya, sudah sepastinya dia akan berteriak
dan memukuli Darel dengan membabi buta. Tapi Annisa, dia hanya
menangis dalam kesendiriannya.
Menormalkan sedikit hatinya, Annisa mulai mandi dan bersiap
turun ke meja makan. Dia tak ingin membuat Darel terlalu lama
menunggu.
{}
Meja makan ini terlihat dingin, walaupun para pelayan berjejer di
belakang mereka itu, tetap saja tak menambah kehangatan.
Hanya terdengar suara sendok dan gelas yang beradu. Annisa
yang merasa asing dengan situasi ini duduk dengan tidak nyaman.
“Aku selesai, kalau kau sudah selesai makan, temui aku di ruang
kerjaku.”
Annisa mengangguk patuh.
Tanpa menunggu waktu lama, Annisa segera pergi ke ruangan
Darel. Di sinilah dia sekarang, ruangan yang didominasi warna hitam
hingga membuat ruangan ini tampak begitu misterius.
“Aku ingin mengatakan sesuatu.”
Annisa mendongakkan kepalanya sedikit mendengar suara Darel.
Mata cokelat indahnya menatap tepat di mata biru Darel.
Dalam hitungan menit tatapan mereka mengunci satu sama lain, menyelami dunia masing-masing lewat tatapan mata. Hingga Annisa
memutus kontak mata mereka duluan dan mengucap lirih.
“Ehm!....” Darel berdeham cukup keras untuk membersihkan
tenggorokannya.
“Aku menikahimu karena bisnis.”
Annisa mengerutkan keningnya seketika mendengar pernyataan
Darel tapi dia tetap diam, bukankah dia bilang karena ibunya?
Melihat Annisa tak bereaksi seperti bayangannya dia mulai
berdeham kembali dan mulai bicara.
“Kau pasti tahu, dalam bisnis kerja sama akan lebih mudah
dicapai saat kau sudah menikah. Alasan konyol dan klise memang, tapi
begitulah kenyataanya. Untuk itu aku menikah,” terang Darel santai
sambil terus memperhatikan Annisa yang tetap tertunduk.
‘Kenapa dia tak bereaksi?’ batin Darel kesal. Dia berharap Annisa
akan menangis karena sakit hati ataupun menjerit dan meneriakinya.
“Bukankah Anda bilang ... Anda menikahi saya karena ibu Anda?”
tanya Annisa pelan hingga seperti berbisik. Hanya kata itulah yang
dikeluarkan dari ribuan kata yang berkeliaran di kepalanya.
“Dan kau percaya?” Darel menyeringai. Yang membuat Annisa
memejamkan matanya. Inilah yang diinginkan Darel, membuat wanita
itu berharap akan bahagia lalu dihempaskan ke neraka.
“Alasan sebenarnya ya karena BISNIS, Karena aku malas mencari
perempuan lain, dan aku malas menikahi seorang perempuan yang
ada di luar sana karena mereka akan sangat merepotkan, bahkan
mungkin mereka hanya menginginkan uangku. Tapi denganmu, aku
bisa berbuat apa pun karena kau, Bu-dak-ku,” jawab Darel dengan
mengeja dan menekankan kata b***k di akhirnya.
Annisa mengangguk seolah mengatakan kalau dia mengerti. “Saya mengerti, permisi.” Annisa berdiri dan beranjak keluar
dari ruangan yang terasa begitu menyesakkan itu di dalam hatinya.
Harusnya, Annisa memarahi Darel sekuat tenaga, harusnya Annisa
memukuli Darel atas kekejaman pria itu.
Tapi, Annisa sadar kalau dia hanya b***k di sini.
Annisa berlari cepat ke arah kamarnya. Dia terus berlari hingga
sampai di kamar mandi. Annisa menghidupkan shower kamar
mandinya sederas mungkin dan mulai menangis di bawahnya dia
menangis sekeras-kerasnya karena dia tahu kalau sekeras apa pun dia
menangis tak akan didengar oleh orang.
“Apa aku memang ditakdirkan hanya untuk menjadi b***k? Bukan
seorang istri atau anak? Apa aku tak pantas bahagia?” Pertanyaan itu
meluncur di bibir Annisa. Pertanyaan yang sejak semalam dia pendam
di ujung lidahnya.
Sungguh dia lelah dengan hidupnya. Sejak kecil dia tak punya
keluarga, dia hidup di atas kebencian kakak sepupu dan bibinya. dan
bertahan dengan kenangan masa bahagianya.
Salahkan bila dia bahagia saat pernikahannya dan membentuk
keluarga bahagia?
Annisa terus menangis dan menjerit di bawah shower yang turun
dengan deras. Dia tak ingin menangis saat dilihat banyak orang karena
dia tak ingin terlihat lemah.
Terkadang, seseorang butuh menangis untuk meluapkan semua
emosi di hati yang tak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Saat itu terjadi
padamu, maka menangislah karena menangis, bukanlah sebuah dosa.