Istrimu atau budakmu?

2224 Kata
Sudah dua hari lamanya semenjak pengakuan Darel di hari pertamanya menjadi istri Darel. Selama itu pulalah Annisa menjauh dari Darel. tak sanggup rasanya saat dia menatap Darel terlalu lama. Perkataan Darel akan selalu terngiang di telinganya hingga membuatnya sakit kepala. Bila sudah begitu, Annisa akan lagi-lagi akan menangis seperti saat ini. Dia bahkan tak tau apa yang dia tangisi. Nasibnya? Kehidupannya? Atau Darel. Lama Annisa menangis, setelah dirasa cukup tenang Annisa membersihkan dirinya dan berusaha terlihat biasa saja. “Aku harus kuat, apa pun yang terjadi akan aku hadapi. Ya Allah mudahkanlah.” Annisa bergumam sendiri saat memakai pakaiannya. Itulah keputusan Annisa, setelah dia menangis beberapa jam lalu. “Sudah cukup masa berkabungnya, aku akan mengikuti alur dan takdir Allah yang digariskan kepadaku.” Tekad Annisa bulat. Setelah dirasa dia pantas untuk dilihat orang, Annisa berjalan menuruni tangga menuju dapur. Melihat Annisa keluar para pelayan menatap Annisa heran, pasalnya jarang sekali Annisa keluar kamar. Dia hanya keluar saat Darel memintanya turun untuk makan malam. “Apa Nyonya memerlukan sesuatu?” tanya salah satu pelayan memberanikan diri untuk bertanya. “Emm ... Saya ...” Annisa mulai mencari-cari alasan, dia bingung mau mengatakan apa. Niatnya turun ke bawah hanya untuk membunuh kebosanannya dan berusaha meredakan sakit di hatinya. “Apa Nyonya mau berkeliling di sekitar rumah ini?” Annisa tersenyum dan mengangguk semangat. Pelayan paruh baya itu ikut tersenyum menatap Annisa dan mulai mengarahkan Annisa untuk mengikutinya. Pelayan itu membawa Annisa ke taman belakang. Taman yang dipenuhi bunga mawar yang sangat merah. Wanita paruh baya tadi mengarahkan Annisa agar duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu yang terlihat sangat nyaman itu. “Indah bukan?” Annisa menoleh ke samping di mana wanita paruh baya tadi tersenyum menatap bunga mawar merah yang menyala itu. “Bunga mawar itu jadi tampak mengerikan kalau semerah itu,” komentar Annisa pelan yang menghadirkan kekehan kecil di bibir wanita itu. “Namaku Roseta, aku sudah sangat lama bekerja jadi pelayan di rumah ini,” ujar wanita itu mulai bercerita. “Apa Darel berlaku kejam padamu?” Roseta menatap tepat di mata Annisa yang membuat gadis itu gelagapan. ‘Kejam soal apa? Kalau kejam masalah fisik tentu saja tidak, tapi kalau soal emosi dan hati tentu saja dia sangat kejam,’ batin Annisa mengerutu. “Darel sebenarnya pria yang baik, namun dunia inilah yang membuatnya terlihat tampak kejam. Kau akan menyadari kebaikan dan kelembutan hatinya saat kau selalu bersamanya, Nak.” Annisa menoleh ke arah Roseta. “Nikmati senjamu, aku akan meminta pelayan untuk membawakan teh dan biskuit untuk menemanimu, Nyon—” “Jangan panggil aku Nyonya, panggil Annisa saja,” potong Annisa cepat. “Baiklah, Annisa,” ucap Roseta sambil tersenyum. Saat Roseta pergi, Annisa mulai menatap hamparan bunga mawar merah darah itu lagi. Perkataan Roseta terngiang di telinga. ‘Kau akan menyadari kebaikan dan kelembutan hatinya saat kau selalu bersamanya’ ‘Semoga saja itu benar, aku akan tetap bersamanya apa pun yang terjadi. Aku akan pergi saat aku sudah tak sanggup menanggung beban ini atau saat dia menjatuhkan talak padaku,’ tekad Annisa dalam hati. Di sisi lain, Darel menatap Annisa dengan tatapan datar. Entahlah dulu dia sangat ingin memiliki Annisa demi misinya tapi saat dia melihat wajah teduh gadis itu, keinginan kejam itu berangsur hilang dari hatinya. ‘Ayolah, Darel, jangan lemah seperti itu. Lakukan apa yang harus kau lakukan,’ Tekad Darel dalam hati. “Hai, Sayang. Kau di sini rupanya aku menunggumu lama di kamar.” Annisa sedikit terperanjat mendengar suara wanita di belakangnya. Refleks kepalanya menoleh ke belakang. 2 UFAlovera996 Dan saat itulah Annisa menyesali perbuatannya menoleh ke belakang saat melihat wanita dengan pakaian super pendek tengah bergelayut manja di lengan Darel. Darel menatap Annisa sejenak lalu tangannya mulai menarik gadis seksi itu ke pelukannya. Lalu menyambar bibir wanita itu. Annisa seketika membelalakkan matanya melihat adegan tak pantas itu di matanya. Namun anehnya tak ada niatan di hatinya untuk tidak memalingkan wajahnya. Otaknya mengatakan kalau seharusnya dia berlari pergi agar tidak melihat kejadian menjijikan itu, tapi entah kenapa tubuhnya tak ingin pergi dan ingin terus menyaksikan perbuatan tak senonoh Darel. Setelah dirasa cukup, Darel melepas pelukannya dan ciumannya dan menatap Annisa tajam. Pandangan mata mereka bertemu beberapa saat, namun setitik kobaran kemarahan memenuhi mata Darel saat dia tak melihat raut apa pun di wajah Annisa. Wajah itu terlihat tampak biasa di wajahnya. Dengan emosi penuh Darel pergi dari taman itu meninggalkan wanita seksi tadi. Sedangkan Annisa mulai meneteskan air matanya deras saat Darel sudah pergi. Udara terasa begitu sesak di sekitarnya. Entah kenapa air matanya senang sekali jatuh akhir-akhir ini. Belum cukup dengan rasa sakit yang diberikan Darel beberapa hari lalu, kini Darel menambahnya lagi. Bagaimana perasaanmu saat suaminya berselingkuh di depanmu dan kau tak bisa melakukan apa pun? Grep! Annisa membeku seketika. Tangan kekar seseorang melingkup tubuhnya, pelukan nyaman yang mampu menghentikan air matanya seketika. Lama Annisa terdiam. Dari tangannya dia tahu ini lelaki, tapi dia tak tau siapa yang memeluknya. Annisa membalikkan tubuhnya dan matanya membulat seketika, tubuhnya terasa kaku melihat siapa yang memeluknya kini. “Paman....” cicit Annisa sambil menundukkan kepalanya. Aditama menatap Annisa dengan emosi berganti-ganti. “Kenapa berbohong pada Pamanmu ini Nak? Kau bilang pria yang kau nikahi itu sangat baik, tapi nyatanya apa?! Kau anggap apa Pamanmu ini??!” Annisa menggelengkan kepala sambil bersimbah air mata. Lalu memeluk pamannya itu lagi dengan erat. “Ma ... Maafkan Annisa, Paman,” lirih Annisa sambil kembali membenamkan kepalanya di pelukan Aditama. “Jangan sembunyikan apa pun lagi, hmm.” Annisa menganggukkan kepalanya di pelukan Aditama. “Maafkan pamanmu ini, Annisa....” Aditama bersuara lirih. “Tidak, Paman, ini bukan sal—” BUGH ! “Paman!!” Belum sempat Annisa menyelesaikan ucapannya Aditama sudah tersungkur di tanah. BUGH! BUGH! Annisa membelalakkan matanya seketika saat melihat siapa yang sudah memukuli pamannya. Darel. Pria itu tampak kalap dan buta hingga tak melihat siapa yang tengah dihajar sekarang. “Darel, hentikan!” ucap Annisa mencoba menghentikan Darel. Saat Darel menghentikan aksinya, Annisa berusaha membantu Aditama untuk berdiri. Melihat itu, Darel mengenggam tangan Annisa erat, menariknya menjauh dari Aditama. “Kau! Dasar Perempuan Jalang! Beraninya kau memeluk pria lain!!” Annisa menatap Darel sedih, suaminya sendiri mengatakan dia jalang? “Dia....” “Apa?! Dia temanmu?! Dia selingkuhanmu?! Atau tuanmu, hah? Berapa yang dia bayar untuk tubuh busukmu ini? Apa kalian sudah sering melakuk—” “Ada apa denganmu? Dia pamanku.” Annisa bersuara pelan. Darel menghentikan ucapannya seketika dan menatap pria yang kini sudah bersimbah dengan darah. Benar, pria itu Aditama, paman Annisa sendri. Apa yang dia lihat tadi? Kenapa matanya melihat tadi kalau pria yang tengah memeluk Annisa tadi adalah seorang pria tampan??! Ada apa dengan dirinya. Seakan baru sadar, Darel menatap Aditama lekat mencoba meyakinkan kalau itu memang Aditama bukan pria tampan yang dia lihat tadi. Ada apa dengan matanya? Seperti orang linglung Darel pergi dari sana tanpa repot-repot meminta maaf dan membantu Aditama. ‘Aku harus memeriksakan mataku ke dokter mata,’ batin Darel. Annisa terus membersihkan luka di sekitar mulut Aditama dengan hati-hati. Annisa ikut meringis saat mendengar rintihan sakit dari pamannya. “Maafin ...” “Tidak apa-apa, Sayang. Pamanmu ini memang pantas mendapat pelajaran darinya. Paman jauh lebih menyakitimu daripada luka ini.” “Jangan bicara seperti itu.” Annisa mulai menangis dan memeluk pamannya lagi. Aditama balas memeluk keponakannya itu tak kalah erat, saat itulah Darel melewati mereka dengan gadis seksi di sampingnya. Darel menajamkan matanya. ‘Ah, itu Aditama,’ batin Darel. “Sayang,” Darel terperanjat saat tangan perempuan seksi tadi menyentuh dadanya. Dan saat bersamaan pula Annisa dan Aditama menoleh ke arah Darel dan perempuan yang entah siapa namanya itu. Melihat Annisa yang mengarahkan pandangannya Darel menggerakkan tangannya untuk memeluk pinggang perempuan di sampingnya. Tapi seperti biasa, Annisa menekan rasa sakitnya sendiri dan berusaha menunjukkan ekspresi biasa. Darel melangkah ke arah Annisa dan duduk di depan mereka. Darel melemparkan segepok dolar di atas meja tepat di hadapan Aditama. Annisa membelalakkan matanya melihat tingkah kurang ajar Darel. “Kurasa ini setimpal dengan beberapa lebam itu, lagipula kau ke sini hanya untuk ini, kan,” ucap Darel dingin dan mulai menjalankan tangannya ke sekitar tubuh gadis di sampingnya. Annisa menatap tak percaya atas kekurangajaran suaminya itu. “Tidak perlu, Tuan Darel. Saya permisi.” Aditama berdiri yang diikuti Annisa. Annisa mengantar pamannya sampai di depan pintu. “Maaf, Paman harus menyaksikan hal tak menyenangan ini dan harus mendapat perlakuan seperti ini.” Annisa bersuara pelan sambil menundukkan kepalanya. Aditama mengangkat dagu Annisa dan menangkup pipi putih itu. “Tak apa, Sayang. Jangan tutupi apa pun dari Pamanmu ini. Saat kau lelah, berbaliklah ke belakang Paman akan selalu ada untukmu.” Annisa menganggukkan kepalanya. Annisa menahan air matanya saat Aditama mulai berlalu pergi, rasa sakit menusuk ke hatinya melihat perlakuan tak sopan Darel pada pamannya. Di hidupnya yang ia punya hanyalah Aditama. Dia yang paling menyayanginya dan baik padanya. Menekan rasa sakitnya Annisa berjalan namun langkahnya terhenti saat melihat tingkah tak senonoh Darel pada perempuan yang kini sudah duduk di pangkuannya. ‘Astaghfirullahhaladzim. Lelaki macam apa yang aku nikahi?’ Mata Annisa memanas melihat kejadian itu. Menguatkan hatinya Annisa berjalan ke arah mereka dan mengambil alat P3K yang dia tinggalkan di sana. Saat melihat Annisa mendekat Darel makin menggila menyentuh perempuan yang tak halal baginya itu. Dia pikir, Annisa akan memarahinya atau memarahi perempuan di pangkuannya ini dengan kejam. Namun, sangat di luar dugaan, Annisa menutup matanya dengan sebelah tangan dan mengambil kotak P3K itu dengan cepat dan pergi dari sana buru-buru. “Hah! Kurang ajar!” Darel mendorong perempuan seksi hingga terjembab di lantai ke lantai. “Awwh!!” Darel menatap perempuan itu sekilas lalu melangkah dengan cepat ke arah kamarnya. “Kau...! Kenapa diam saja, Hah!!??” Annisa yang kini tengah menaikki kursi untuk mengambil gorden terdiam seketika, mata cokelat teduhnya menatap Darel dengan heran dan bertanya. Darel memperhatikan tingkah Annisa yang kini tengah menaiki kursi. “Kenapa kau naik-naik begitu?” tanya Darel datar. “Aku ... Sedang menganti gorden,” jawab Annisa santai. Raut marah tercetak di wajah Darel kini, entah ada apa dengan pria ini. “Kenapa kau tidak berteriak?!” bentak Darel keras hingga seperti berteriak. Annisa yang mendengar itu makin mengerutkan keningnya heran. Kenapa dia harus berteriak? “Dan kenapa kau tidak menjambak? Kenapa kau tidak menghajar? Kenapa kau diam!!!” Annisa sukses menganga mendengar pertanyaan tak teratur Darel kepadanya. “Apa maksudmu?” tanya Annisa bingung. “Jangan pura-pura bodoh, Annisa!” “Aku benar-benar tak mengerti, Darel.” Annisa bersuara pelan. Kini Annisa sudah turun dari kursi dan berdiri di depan pria itu. “Kau ... Kenapa tidak memarahi jalang tadi?” Annisa mengangguk seketika saat mengerti ke mana arah pembicaraan Darel. “Siapa aku ini?” Darel mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Annisa. “Aku hanya budakmu bukan, apa yang bisa dilakukan b***k selain menuruti tuannya. Bukankah kau sendiri yang bilang kalau aku ini bukan siapa-siapa. Bukankah kau ingin hidupmu tetap bebas. Bukankah kau menikahiku agar aku tak banyak menuntut?” Annisa menatap tepat ke mata Darel. Entah dari mana keberanian itu muncul. “Kalau aku ingin marah, satu-satunya yang membuatku marah itu hanyalah karena kau tak sopan pada pamanku. Tapi setelah aku pikir lagi, aku tak pantas marah kepadamu, karena aku hanyalah seorang BU-DAK-MU,” ujar Annisa dengan penekanan di kalimat terakhirnya. Darel terdiam seketika, benar, dia sudah melenceng jauh. Entah ada apa dengan hidupnya kini. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Darel keluar dari sana. Annisa meremas dadanya yang terasa sesak sejak tadi. Bohong kalau dia tak merasakan sakit saat melihat suaminya bercumbu mesra dengan gadis lain. Rasanya luar biasa sakit dan menyesakan. Dengan langkah pasti Annisa turun ke bawah matanya mencari ke seluruh penjuru rumah. Saat itulah dia menemukan gadis yang memakai pakaian kurang bahan tadi. Tanpa aba-aba Annisa menyeret perempuan yang kini tengah meminum jus jeruk. “Hei ... Ada apa ini??!” bentak gadis itu tak terima. Annisa tetap diam dan membawa perempuan itu ke dalam kamar tamu. “Apa kau benar-benar tidak tau malu? Apa kau ini wanita? Apa yang kau pikirkan saat mengoda pria yang sudah beristri?!” Annisa menatap perempuan di depannya ini tajam. “Apa maksudmu? Dia kekasihku, kami sudah menjalani hubungan selama dua bulan,” jawab perempuan itu santai dan mulai menggerakan jarinya untuk merapikan rambutnya yang acak-acakan. “Sehina itukah perempuan, kenapa kau merendahkan dirimu sendiri hanya untuk uang. Kau membuat perempuan dipandang jelek sebagai pemuas nafsu kau —” “Jangan berkata kasar padaku, kami memang sepasang kekasih, dan kalau suamimu itu meninggalkanmu untukku maka jangan salahkan aku tapi salahkan dirimu sendiri,” tekan wanita itu sambil menunjuk wajah Annisa. “Jangan menghidupi keluargamu dengan uang haram, lebih baik kau segera bertaubat daripada anakmu memakan uang haram. Kau akan sangat terlihat tak terhormat sa—” Plak!! Annisa terdiam seketika saat tamparan panas mengenai pipi mulusnya. Matanya menatap orang yang sudah menamparnya dan matanya harus terbelalak saat mengetahui siapa orangnya, Darel. Pria itu kini tengah menatap begis ke arahnya. “Jangan sekali-kali mengatainya begitu, dia jauh lebih baik darimu.” Darel pergi meninggalkan Annisa yang mematung di tempat dengan air mata yang mengalir deras. Dia disamakan dengan wanita penghibur? Oleh suaminya sendiri? Annisa tak percaya nasibnya seburuk ini. Salahkah kalau ia cemburu pada suaminya sendiri? Bukankah istri harus mencemburui suaminya? Lagi-lagi seperti ini, dia harus menangis sendiri. Mungkin air matanya memang terlalu banyak hingga ingin selalu keluar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN