Sudah dua hari lamanya semenjak pengakuan Darel di hari
pertamanya menjadi istri Darel. Selama itu pulalah Annisa menjauh
dari Darel. tak sanggup rasanya saat dia menatap Darel terlalu
lama. Perkataan Darel akan selalu terngiang di telinganya hingga
membuatnya sakit kepala.
Bila sudah begitu, Annisa akan lagi-lagi akan menangis seperti saat
ini. Dia bahkan tak tau apa yang dia tangisi. Nasibnya? Kehidupannya?
Atau Darel.
Lama Annisa menangis, setelah dirasa cukup tenang Annisa
membersihkan dirinya dan berusaha terlihat biasa saja.
“Aku harus kuat, apa pun yang terjadi akan aku hadapi. Ya Allah
mudahkanlah.” Annisa bergumam sendiri saat memakai pakaiannya.
Itulah keputusan Annisa, setelah dia menangis beberapa jam lalu.
“Sudah cukup masa berkabungnya, aku akan mengikuti alur dan
takdir Allah yang digariskan kepadaku.” Tekad Annisa bulat.
Setelah dirasa dia pantas untuk dilihat orang, Annisa berjalan menuruni tangga menuju dapur.
Melihat Annisa keluar para pelayan menatap Annisa heran,
pasalnya jarang sekali Annisa keluar kamar. Dia hanya keluar saat Darel
memintanya turun untuk makan malam.
“Apa Nyonya memerlukan sesuatu?” tanya salah satu pelayan
memberanikan diri untuk bertanya.
“Emm ... Saya ...” Annisa mulai mencari-cari alasan, dia bingung
mau mengatakan apa. Niatnya turun ke bawah hanya untuk
membunuh kebosanannya dan berusaha meredakan sakit di hatinya.
“Apa Nyonya mau berkeliling di sekitar rumah ini?”
Annisa tersenyum dan mengangguk semangat. Pelayan paruh
baya itu ikut tersenyum menatap Annisa dan mulai mengarahkan
Annisa untuk mengikutinya.
Pelayan itu membawa Annisa ke taman belakang. Taman yang
dipenuhi bunga mawar yang sangat merah.
Wanita paruh baya tadi mengarahkan Annisa agar duduk di kursi
panjang yang terbuat dari kayu yang terlihat sangat nyaman itu.
“Indah bukan?” Annisa menoleh ke samping di mana wanita paruh
baya tadi tersenyum menatap bunga mawar merah yang menyala itu.
“Bunga mawar itu jadi tampak mengerikan kalau semerah itu,”
komentar Annisa pelan yang menghadirkan kekehan kecil di bibir
wanita itu.
“Namaku Roseta, aku sudah sangat lama bekerja jadi pelayan di
rumah ini,” ujar wanita itu mulai bercerita.
“Apa Darel berlaku kejam padamu?” Roseta menatap tepat di
mata Annisa yang membuat gadis itu gelagapan.
‘Kejam soal apa? Kalau kejam masalah fisik tentu saja tidak, tapi
kalau soal emosi dan hati tentu saja dia sangat kejam,’ batin Annisa mengerutu.
“Darel sebenarnya pria yang baik, namun dunia inilah yang
membuatnya terlihat tampak kejam. Kau akan menyadari kebaikan
dan kelembutan hatinya saat kau selalu bersamanya, Nak.”
Annisa menoleh ke arah Roseta.
“Nikmati senjamu, aku akan meminta pelayan untuk
membawakan teh dan biskuit untuk menemanimu, Nyon—”
“Jangan panggil aku Nyonya, panggil Annisa saja,” potong Annisa
cepat.
“Baiklah, Annisa,” ucap Roseta sambil tersenyum.
Saat Roseta pergi, Annisa mulai menatap hamparan bunga mawar
merah darah itu lagi. Perkataan Roseta terngiang di telinga.
‘Kau akan menyadari kebaikan dan kelembutan hatinya saat kau
selalu bersamanya’
‘Semoga saja itu benar, aku akan tetap bersamanya apa pun yang
terjadi. Aku akan pergi saat aku sudah tak sanggup menanggung
beban ini atau saat dia menjatuhkan talak padaku,’ tekad Annisa dalam
hati.
Di sisi lain, Darel menatap Annisa dengan tatapan datar. Entahlah
dulu dia sangat ingin memiliki Annisa demi misinya tapi saat dia
melihat wajah teduh gadis itu, keinginan kejam itu berangsur hilang
dari hatinya.
‘Ayolah, Darel, jangan lemah seperti itu. Lakukan apa yang harus
kau lakukan,’ Tekad Darel dalam hati.
“Hai, Sayang. Kau di sini rupanya aku menunggumu lama di
kamar.”
Annisa sedikit terperanjat mendengar suara wanita di
belakangnya. Refleks kepalanya menoleh ke belakang. 2
UFAlovera996
Dan saat itulah Annisa menyesali perbuatannya menoleh ke
belakang saat melihat wanita dengan pakaian super pendek tengah
bergelayut manja di lengan Darel.
Darel menatap Annisa sejenak lalu tangannya mulai menarik
gadis seksi itu ke pelukannya. Lalu menyambar bibir wanita itu.
Annisa seketika membelalakkan matanya melihat adegan tak
pantas itu di matanya. Namun anehnya tak ada niatan di hatinya untuk
tidak memalingkan wajahnya.
Otaknya mengatakan kalau seharusnya dia berlari pergi agar
tidak melihat kejadian menjijikan itu, tapi entah kenapa tubuhnya tak
ingin pergi dan ingin terus menyaksikan perbuatan tak senonoh Darel.
Setelah dirasa cukup, Darel melepas pelukannya dan ciumannya
dan menatap Annisa tajam. Pandangan mata mereka bertemu
beberapa saat, namun setitik kobaran kemarahan memenuhi mata
Darel saat dia tak melihat raut apa pun di wajah Annisa. Wajah itu
terlihat tampak biasa di wajahnya. Dengan emosi penuh Darel pergi
dari taman itu meninggalkan wanita seksi tadi.
Sedangkan Annisa mulai meneteskan air matanya deras saat
Darel sudah pergi. Udara terasa begitu sesak di sekitarnya. Entah
kenapa air matanya senang sekali jatuh akhir-akhir ini.
Belum cukup dengan rasa sakit yang diberikan Darel beberapa
hari lalu, kini Darel menambahnya lagi. Bagaimana perasaanmu saat
suaminya berselingkuh di depanmu dan kau tak bisa melakukan apa
pun?
Grep!
Annisa membeku seketika. Tangan kekar seseorang melingkup
tubuhnya, pelukan nyaman yang mampu menghentikan air matanya
seketika. Lama Annisa terdiam. Dari tangannya dia tahu ini lelaki, tapi dia tak tau siapa yang memeluknya.
Annisa membalikkan tubuhnya dan matanya membulat seketika,
tubuhnya terasa kaku melihat siapa yang memeluknya kini.
“Paman....” cicit Annisa sambil menundukkan kepalanya.
Aditama menatap Annisa dengan emosi berganti-ganti.
“Kenapa berbohong pada Pamanmu ini Nak? Kau bilang pria
yang kau nikahi itu sangat baik, tapi nyatanya apa?! Kau anggap apa
Pamanmu ini??!” Annisa menggelengkan kepala sambil bersimbah air
mata. Lalu memeluk pamannya itu lagi dengan erat.
“Ma ... Maafkan Annisa, Paman,” lirih Annisa sambil kembali
membenamkan kepalanya di pelukan Aditama.
“Jangan sembunyikan apa pun lagi, hmm.”
Annisa menganggukkan kepalanya di pelukan Aditama.
“Maafkan pamanmu ini, Annisa....” Aditama bersuara lirih.
“Tidak, Paman, ini bukan sal—”
BUGH !
“Paman!!”
Belum sempat Annisa menyelesaikan ucapannya Aditama sudah
tersungkur di tanah.
BUGH! BUGH!
Annisa membelalakkan matanya seketika saat melihat siapa yang
sudah memukuli pamannya. Darel.
Pria itu tampak kalap dan buta hingga tak melihat siapa yang
tengah dihajar sekarang.
“Darel, hentikan!” ucap Annisa mencoba menghentikan Darel.
Saat Darel menghentikan aksinya, Annisa berusaha membantu
Aditama untuk berdiri. Melihat itu, Darel mengenggam tangan Annisa
erat, menariknya menjauh dari Aditama. “Kau! Dasar Perempuan Jalang! Beraninya kau memeluk pria lain!!”
Annisa menatap Darel sedih, suaminya sendiri mengatakan dia jalang?
“Dia....”
“Apa?! Dia temanmu?! Dia selingkuhanmu?! Atau tuanmu, hah?
Berapa yang dia bayar untuk tubuh busukmu ini? Apa kalian sudah
sering melakuk—”
“Ada apa denganmu? Dia pamanku.” Annisa bersuara pelan. Darel
menghentikan ucapannya seketika dan menatap pria yang kini sudah
bersimbah dengan darah.
Benar, pria itu Aditama, paman Annisa sendri. Apa yang dia lihat
tadi? Kenapa matanya melihat tadi kalau pria yang tengah memeluk
Annisa tadi adalah seorang pria tampan??! Ada apa dengan dirinya.
Seakan baru sadar, Darel menatap Aditama lekat mencoba
meyakinkan kalau itu memang Aditama bukan pria tampan yang dia
lihat tadi. Ada apa dengan matanya?
Seperti orang linglung Darel pergi dari sana tanpa repot-repot
meminta maaf dan membantu Aditama.
‘Aku harus memeriksakan mataku ke dokter mata,’ batin Darel.
Annisa terus membersihkan luka di sekitar mulut Aditama
dengan hati-hati. Annisa ikut meringis saat mendengar rintihan sakit
dari pamannya.
“Maafin ...”
“Tidak apa-apa, Sayang. Pamanmu ini memang pantas mendapat
pelajaran darinya. Paman jauh lebih menyakitimu daripada luka ini.”
“Jangan bicara seperti itu.” Annisa mulai menangis dan memeluk
pamannya lagi.
Aditama balas memeluk keponakannya itu tak kalah erat, saat
itulah Darel melewati mereka dengan gadis seksi di sampingnya. Darel menajamkan matanya.
‘Ah, itu Aditama,’ batin Darel.
“Sayang,” Darel terperanjat saat tangan perempuan seksi tadi
menyentuh dadanya. Dan saat bersamaan pula Annisa dan Aditama
menoleh ke arah Darel dan perempuan yang entah siapa namanya itu.
Melihat Annisa yang mengarahkan pandangannya Darel
menggerakkan tangannya untuk memeluk pinggang perempuan di
sampingnya. Tapi seperti biasa, Annisa menekan rasa sakitnya sendiri
dan berusaha menunjukkan ekspresi biasa. Darel melangkah ke arah
Annisa dan duduk di depan mereka.
Darel melemparkan segepok dolar di atas meja tepat di hadapan
Aditama. Annisa membelalakkan matanya melihat tingkah kurang ajar
Darel.
“Kurasa ini setimpal dengan beberapa lebam itu, lagipula kau ke
sini hanya untuk ini, kan,” ucap Darel dingin dan mulai menjalankan
tangannya ke sekitar tubuh gadis di sampingnya.
Annisa menatap tak percaya atas kekurangajaran suaminya itu.
“Tidak perlu, Tuan Darel. Saya permisi.” Aditama berdiri yang
diikuti Annisa. Annisa mengantar pamannya sampai di depan pintu.
“Maaf, Paman harus menyaksikan hal tak menyenangan ini dan
harus mendapat perlakuan seperti ini.” Annisa bersuara pelan sambil
menundukkan kepalanya.
Aditama mengangkat dagu Annisa dan menangkup pipi putih
itu.
“Tak apa, Sayang. Jangan tutupi apa pun dari Pamanmu ini. Saat
kau lelah, berbaliklah ke belakang Paman akan selalu ada untukmu.”
Annisa menganggukkan kepalanya.
Annisa menahan air matanya saat Aditama mulai berlalu pergi, rasa sakit menusuk ke hatinya melihat perlakuan tak sopan Darel pada
pamannya. Di hidupnya yang ia punya hanyalah Aditama. Dia yang
paling menyayanginya dan baik padanya.
Menekan rasa sakitnya Annisa berjalan namun langkahnya
terhenti saat melihat tingkah tak senonoh Darel pada perempuan
yang kini sudah duduk di pangkuannya.
‘Astaghfirullahhaladzim. Lelaki macam apa yang aku nikahi?’
Mata Annisa memanas melihat kejadian itu.
Menguatkan hatinya Annisa berjalan ke arah mereka dan
mengambil alat P3K yang dia tinggalkan di sana.
Saat melihat Annisa mendekat Darel makin menggila menyentuh
perempuan yang tak halal baginya itu. Dia pikir, Annisa akan
memarahinya atau memarahi perempuan di pangkuannya ini dengan
kejam.
Namun, sangat di luar dugaan, Annisa menutup matanya dengan
sebelah tangan dan mengambil kotak P3K itu dengan cepat dan pergi
dari sana buru-buru.
“Hah! Kurang ajar!” Darel mendorong perempuan seksi hingga
terjembab di lantai ke lantai.
“Awwh!!”
Darel menatap perempuan itu sekilas lalu melangkah dengan
cepat ke arah kamarnya.
“Kau...! Kenapa diam saja, Hah!!??”
Annisa yang kini tengah menaikki kursi untuk mengambil gorden
terdiam seketika, mata cokelat teduhnya menatap Darel dengan heran
dan bertanya.
Darel memperhatikan tingkah Annisa yang kini tengah menaiki
kursi. “Kenapa kau naik-naik begitu?” tanya Darel datar.
“Aku ... Sedang menganti gorden,” jawab Annisa santai.
Raut marah tercetak di wajah Darel kini, entah ada apa dengan
pria ini.
“Kenapa kau tidak berteriak?!” bentak Darel keras hingga seperti
berteriak.
Annisa yang mendengar itu makin mengerutkan keningnya
heran. Kenapa dia harus berteriak?
“Dan kenapa kau tidak menjambak? Kenapa kau tidak menghajar?
Kenapa kau diam!!!”
Annisa sukses menganga mendengar pertanyaan tak teratur
Darel kepadanya.
“Apa maksudmu?” tanya Annisa bingung.
“Jangan pura-pura bodoh, Annisa!”
“Aku benar-benar tak mengerti, Darel.” Annisa bersuara pelan.
Kini Annisa sudah turun dari kursi dan berdiri di depan pria itu.
“Kau ... Kenapa tidak memarahi jalang tadi?” Annisa mengangguk
seketika saat mengerti ke mana arah pembicaraan Darel.
“Siapa aku ini?”
Darel mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Annisa.
“Aku hanya budakmu bukan, apa yang bisa dilakukan b***k
selain menuruti tuannya. Bukankah kau sendiri yang bilang kalau
aku ini bukan siapa-siapa. Bukankah kau ingin hidupmu tetap bebas.
Bukankah kau menikahiku agar aku tak banyak menuntut?” Annisa
menatap tepat ke mata Darel. Entah dari mana keberanian itu muncul.
“Kalau aku ingin marah, satu-satunya yang membuatku marah itu
hanyalah karena kau tak sopan pada pamanku. Tapi setelah aku pikir
lagi, aku tak pantas marah kepadamu, karena aku hanyalah seorang BU-DAK-MU,” ujar Annisa dengan penekanan di kalimat terakhirnya.
Darel terdiam seketika, benar, dia sudah melenceng jauh. Entah
ada apa dengan hidupnya kini. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Darel
keluar dari sana. Annisa meremas dadanya yang terasa sesak sejak
tadi. Bohong kalau dia tak merasakan sakit saat melihat suaminya
bercumbu mesra dengan gadis lain.
Rasanya luar biasa sakit dan menyesakan. Dengan langkah pasti
Annisa turun ke bawah matanya mencari ke seluruh penjuru rumah.
Saat itulah dia menemukan gadis yang memakai pakaian kurang
bahan tadi. Tanpa aba-aba Annisa menyeret perempuan yang kini
tengah meminum jus jeruk.
“Hei ... Ada apa ini??!” bentak gadis itu tak terima. Annisa tetap
diam dan membawa perempuan itu ke dalam kamar tamu.
“Apa kau benar-benar tidak tau malu? Apa kau ini wanita? Apa
yang kau pikirkan saat mengoda pria yang sudah beristri?!” Annisa
menatap perempuan di depannya ini tajam.
“Apa maksudmu? Dia kekasihku, kami sudah menjalani
hubungan selama dua bulan,” jawab perempuan itu santai dan mulai
menggerakan jarinya untuk merapikan rambutnya yang acak-acakan.
“Sehina itukah perempuan, kenapa kau merendahkan dirimu
sendiri hanya untuk uang. Kau membuat perempuan dipandang jelek
sebagai pemuas nafsu kau —”
“Jangan berkata kasar padaku, kami memang sepasang kekasih,
dan kalau suamimu itu meninggalkanmu untukku maka jangan
salahkan aku tapi salahkan dirimu sendiri,” tekan wanita itu sambil
menunjuk wajah Annisa.
“Jangan menghidupi keluargamu dengan uang haram, lebih baik
kau segera bertaubat daripada anakmu memakan uang haram. Kau akan sangat terlihat tak terhormat sa—”
Plak!!
Annisa terdiam seketika saat tamparan panas mengenai pipi
mulusnya. Matanya menatap orang yang sudah menamparnya dan
matanya harus terbelalak saat mengetahui siapa orangnya, Darel.
Pria itu kini tengah menatap begis ke arahnya.
“Jangan sekali-kali mengatainya begitu, dia jauh lebih baik
darimu.” Darel pergi meninggalkan Annisa yang mematung di tempat
dengan air mata yang mengalir deras.
Dia disamakan dengan wanita penghibur? Oleh suaminya
sendiri? Annisa tak percaya nasibnya seburuk ini.
Salahkah kalau ia cemburu pada suaminya sendiri? Bukankah
istri harus mencemburui suaminya? Lagi-lagi seperti ini, dia harus
menangis sendiri. Mungkin air matanya memang terlalu banyak
hingga ingin selalu keluar.