Awan di langit terlihat mulai mengumpal menahan ribuan
tetesan air yang nantinya akan menjadi hujan. Annisa terus menangis,
setelah tamparan Darel tadi.
Mungkin memang ada sebagian anak yang sejak lahir ditakdirkan
untuk selalu tersenyum, meniti kehidupannya dengan tawa bahagia,
dukungan orangtua dan rasa cinta semua orang. Tetapi itu bukan aku,
karena nyatanya aku meniti kehidupannya dengan duka dan tangisan
kesedihan. Apakah ini keinginanku? Tidak, bukan semua orang di dunia
menginginkan kehidupan bahagia. Kalau masa kecil tidak bahagia pasti
mereka berharap setelah menikah akan bahagia. Tapi saat dua-duanya
tak terkabul apa yang kau lakukan?
Menjerit? Menangis? Ingin mati? Atau menyalahkan takdir Allah?
Mungkin ada sebagian orang yang melakukannya, tapi saat kalian
memikirkan kembali dan merenungi perbuatan kalian itu, kalian akan
sadar kalau yang kalian lakukan adalah hal bodoh! Sangat bodoh!
Jeritan, tangisan, menyesali dan menyalahkan takdir Allah itu tak ada gunanya. Saat hal tak diinginkan terjadi dalam hidup dan takdir
kalian maka berdirilah, merukuklah, sujudlah dan mendekatlah padaNya. Dan jalani dengan keberanian penuh, ikhlas, dan bersabarlah.
Itulah deretan kata yang Annisa tulis dalam sebuah kertas putih
dengan pulpennya diiringi air matanya yang mengalir. Dia berharap
tulisannya ini mampu menguatkan hatinya yang tengah remuk ini.
Tulisan yang dia jadikan sebagai pelampiasan emosinya. Namun
nyatanya menulis tak semudah melakukan. Hatinya tetap saja sakit
dan terasa sesak.
Annisa kembali mengambil air wudhu’ dan membaca Al-Qur’an
berharap hal itu bisa meringankan hatinya.
{}
Di sisi lain, Darel tengah duduk dengan gelisah di kursi
kebesarannya. Lembut pipi Annisa yang dia tampar dengan keras
masih terasa di tangannya. Padahal memang ini yang dia inginkan,
menyakiti hati dan fisik Annisa tapi entahlah, kenapa rasanya tak
membahagiakan sama sekali.
‘Aku sudah terbawa suasana dengan gadis berwajah teduh itu,’
batin Darel tak suka.
“Tuan Darel, markas kita diserang, satu ton g***a disita oleh
pemerintah.”
Darel menatap tajam pria yang sudah menyampaikan berita
buruk untuknya.
Bagai iblis Darel berdiri dengan santai lalu mengambil benda
panjang, runcing dan tampak mengkilap karena tajam di laci meja
kerjanya.
Darel tersenyum iblis menatap belati yang runcing bagai duri itu.
Basstt !
Darel melempar pisau tajam itu dan tepat mengenai leher pria
yang tadi menyampaikan berita buruk untuknya. Dengan mata
melotot pria malang itu ambruk di tanah. Matanya melotot menahan
kesakitan dan terkejut kalau nyawanya akan hilang hari ini.
Darel melangkah mendekati pria yang kini sudah dipastikan
meninggal. Dengan tenang seolah tak terjadi apa-apa Darel mencabut
pisau penuh darah itu di leher pria malang itu yang menimbulkan
lantai itu bersimbah darah merah kental dan segar.
Kembali Darel menyayat bagian nadi di leher pria itu hingga
lehernya penuh dengan luka sayatan, setelah puas Darel melangkahi
pria malang itu dengan santai seolah dia melewati semut. Pisau tajam
penuh darah yang dia gunakan untuk membunuh tadi sudah dia
masukan ke saku jasnya.
Dengan santai Darel menyetir mobil mewahnya menuju markas
yang terletak di bawah tanah gedung tua.
Setelah sampai Darel tersenyum mengejek melihat para orangnya
kini tengah bergeletakan tapi sangat kelihatan kalau mereka tak
meninggal.
Dor!
Sebutir peluru ditembakkan ke angkasa, Darel hanya tersenyum
sinis mendengarnya.
‘Aparat bodoh! Kalau berani seharusnya langsung tembakan saja
ke kepalaku,’ batin Darel mengejek.
“Tuan Darel, angkat tangan dan menyerahlah,” perintah tegas pria
dengan pakaian kepolisian.
Darel hanya tersenyum samar, dia dikepung sekarang.
Dor!
Darel mengenggam tangannya lalu mengeluarkan sebuah bom yang terlihat seperti permen karet. Darel melempar permen itu ke
tanah lalu dia menghilang seketika dari sana.
Para polisi yang tadi mengepungnya menatap bingung. Darel
tersenyum samar lalu menembak dengan jarak jauh.
Dor! Dor!
Semua tembakan Darel tepat bersarang di bagian kepala
hingga otak kepala mereka buyar berceceran. Tentu saja peluru yang
digunakan Darel bukanlah peluru sembarangan. Peluru yang dia buat
sendiri yang diisi racun dan bom sekaligus. Hingga bisa memecahkan
kepala mereka. Semua aparat kepolisian itu meninggal dengan kepala
yang sudah hancur.
Darel tersenyum melihat darah yang berhamburan di ruangan itu.
Dia terus menembak hingga hanya tertinggal ketua yang memimpin
mereka. Tepat saat itu Darel keluar dengan sebilah belati yang berkilat
tajam.
“Sekarang, satu lawan satu. Ini akan sangat menarik,” Darel
bersuara sambil berjalan melewati kegelapan mendekati kepala polisi
yang kini tampak sedikit ketakutan di wajahnya.
“Aku sedikit bersyukur kalian mengusikku, aku memang ingin
menyalurkan emosi aneh yang ada di kepalaku ini,” ujar Darel tenang
sambil terus berjalan.
Tentu saja ini sebagai pelampiasan emosi bagi Darel. Emosi yang
hadir karena gadis berwajah teduh yang kini tengah menangis di
rumahnya.
Bast!
Satu libasan belati Darel arahkan ke bagian tangan. Sang polisi
mengarahkan pistol ke arah Darel dan bersiap menarik pelatuknya.
Bast!
Satu tangan sang polisi kini sudah teronggok ke tanah dengan
darah yang memancur.
“Kau ingin menembakku dengan tangan sialanmu itu, kan? Maka
lihatlah tanganmu yang sudah tak menempel di tubuhmu.” Darel
bersuara ibarat iblis di tengah kegelapan.
Bast!
Kali ini Darel mulai memancur dari bagian kening. Darel tersenyum
senang melihat wajah kepala polisi itu sudah dipenuhi dengan darah
segar. Dengan perlahan Darel menjalankan pisau kecil itu di sekitar
wajah sampai menekan hingga di bagian leher dia menekannya
dengan perlahan namun menimbulkan erangan kesakitan. Setelah
pria malang itu ambruk ke tanah dengan kondisi mengenaskan Darel
tersenyum bahagia. Inilah pelampiasan emosinya.
{}
Matahari sudah kembali ke peraduannya menjadikan suasana
menjadi gelap gulita. Annisa tengah membaca Al-Qur’annya dengan
khidmat.
Cklek!
Suara pintu dibuka membuat Annisa mendongakkan kepalanya
melihat siapa yang masuk. Namun dia membelalakkan matanya
melihat apa yang dia lihat sekarang.
“Kenapa bajumu penuh darah?” tanya Annisa kaget.
Darel yang baru menyadari keberadaan Annisa di samping
ranjang membeku seketika. Inilah akibat terlalu lama sendiri sampai
lupa kalau ada istri.
“Ehm! Tadi ...” Darel menghentikan perkataannya dan langsung
memasuki kamar mandi meninggalkan Annisa yang menatap aneh
ke arah Darel. Setelah beberapa menit, Darel keluar hanya dengan handuk di pinggang. Annisa seketika memalingkan wajahnya. Darel
yang baru tahu kalau Annisa di sana bertingkah gelagapan.
“Ehm ! Ken ... Kenapa kau masih di sini?!”
“Ah maaf, Saya permisi.” Annisa buru-buru keluar dari sana. Darel
menghela napas lega lalu segera memakai pakaian santainya. Dia
benar-benar ceroboh kenapa masih ada darah di bajunya.
Setelah rapi Darel turun ke meja makan. Cacing-cacing di
perutnya sudah menjerit-jerit minta makan.
Sesampainya di meja makan dia melihat Annisa tengah duduk
sambil meremas jari-jarinya.
Tanpa kata Darel mulai duduk di kursinya. Annisa pun langsung
menyiapkan makanan untuk Darel. Saat Annisa tengah sibuk
mengambilkan makanan untuknya, Darel melihat lebam di pipi
Annisa.
Lebam yang sangat besar hingga membiru, bahkan pipi Annisa
tampak membengkak. Setitik rasa bersalah menghinggapi hatinya,
namun egonya lebih dulu memimpin untuk percaya bahwa ini
memang harus dia lakukan.
Makan malam itu terasa begitu dingin dan hening. Kedua insan
itu menghabiskan makanan dengan pikiran berbeda. Annisa yang
memikirkan darah di pakaian Darel dan Darel yang selalu melirik ke
lebam Annisa.
{}
Malam sudah berlalu, kini adzan subuh mulai terdengar kembali.
Annisa membuka matanya perlahan, sholat lalu membaca Al-Qur’an.
Entah ke mana Darel sekarang, semenjak makan semalam Darel tak
menampakkan dirinya lagi di depan Annisa.
Setelah matahari perlahan muncul Annisa mengucapkan doa lalu membersihkan tempat tidurnya. Kegiatannya terhenti saat ponselnya
berdering.
“Assalamualaikum, Paman,” ucap Annisa saat melihat pamannya
lah yang meneleponnya.
“Wa’alaikumusalam, Nak. Semoga kau selalu tabah, sehat selalu,
panjang umur, tetap menjadi anak yang tetap berpegang teguh pada
Al-Qur’an dan sunah.”
Annisa seketika menatap kalender yang ada di nakas.
16 Februari, ya ini hari di mana dia lahir dan hari di mana dia
kehilangan kebahagiaannya dulu.
“Terima kasih, Paman,” ucap Annisa pelan.
“Iya, Nak, ya sudah Paman ada perjalanan bisnis sebentar lagi.”
“Iya, Paman. Terima kasih. Assalamualaikum.”
“Waalaikumusalam.”
Annisa terduduk di ranjang lalu menangis sesenggukan.
Otaknya kembali memutar ingatakan sebeberapa tahun lalu.
...
Anak perempuan kecil dengan kerudung kecilnya itu kini tengah
menatap bahagia para anak-anak seumurannya.
Kedua orang tuanya kini membagi-bagikan makanan, pakaian
dan mainan pada mereka.
“Annisa, kita harus baik pada anak yatim.”
Annisa menganggukkan kepalanya semangat dan mulai
membagikan semuanya. Setelah selesai mereka pulang menaiki mobil.
Annisa duduk di pangkuan ibunya. Dengan ayahnya yang kini
menyetir.
“Annisa makin lama makin besar ya, Nak, jadilah anak yang
mandiri, berpikir tenang dalam menghadapi masalah dan berjanjilah akan selalu suci .”
Annisa menoleh ke arah ayahnya yang kini bergumam.
Annisa tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Tak selamanya kami akan selalu bersamamu, tetap kuat meski
kami tak di sampingmu ya.”
Annisa terdiam dan air matanya mulai meneteskan.
“Papa jangan bilang gitu, pokoknya kalian harus berada terus di
samping Annisa.” Annisa mulai meneteskan air matanya dia sangat
takut kehilangan orangtuanya itu.
“Hmm iya, Nak, tapi takdir Allah tak ada yang tau kan.” Kedua
orangtua Annisa tersenyum dan menghapus air mata Annisa.
“Karna itu jangan pernah berniat meninggalkan Annisa. Annisa
akan berdoa sama Allah biar mama dan papa gak diambil sama Allah
ya.”
Endrawan mengelus rambut anaknya dan mama Annisa mencium
pipinya.
“Iya, Sayang,” ucap mama Annisa sambil memeluknya.
Di tengah perjalanan mereka berbincang bahagi hingga sebuah
mobil sport dengan tak terkendalinya berbelok ke kanan dan ke kiri.
CITTTTT ...
BUGHH...
Kecelakaan itu tak terkendali mobil yang dikendarai oleh papa
Annisa terbalik sedangkan mobil sport itu menabrak pohon.
Endrawan segera memecahkan kaca mobil yang bisa memuat
ukuran badan Annisa lalu mencoba mengeluarkan Annisa lewat
lubang kaca mobil itu.
“Larilah, Sayang. Sayang, Papa tau kamu sayang Papa. Ayo lari yang
jauh dari mobil kita. Papa sama mama akan mencoba untuk keluar, larilah yang jauh, Nak. Papa menyayangimu, papa menyayangi mama
jadilah anak yang kuat.” Endrawan makin berusaha memecahkan kaca
mobil yang terbalik dengan tangannya yang mulai berdarah.
“Tapi ... Mama!”
“Mama akan keluar, Sayang,” Zahra meyakinkan anaknya untuk
berlari.
Annisa menganggukkan kepalanya lalu berlari tergesa-gesa
sambil menangis. Baru sekitar 1 meter dan..
Duar....
Bunyi ledakan itu membuat langkah Annisa terhenti. Annisa
terdiam di tempat tanpa berani menolah, takut melihat kenyataan
bahwa mungkin mobil itu terbakar dan kedua orangtuanya ...
“Papa....!! Mama ....!!!” Annisa berteriak lalu berlari mendekati
mobil itu lagi tapi langkah ku terhenti saat sebuah tangan yang penuh
darah memeluk Annisa seolah memberi kekuatan dan mencegah
Annisa untuk berlari dan menyelamatkan kedua orangtuanya.
“Lepaskan, kumohon lepaskan aku ingin menyelamatkan papa.”
Annisa berontak dari pelukan seseorang yang kini semakin erat
membelit tubuhnya. Annisa terduduk lalu menangis sejadi-jadinya ...
“Papa ... Kenapa? Kenapa meninggalkan Annisa sendiri, kenapa
meninggalkan...” Annisa masih menangis tergugu
Tak lama kemudiam tim penyelamat segera memadamkan api
pembakaran itu dan segera dibawa ke rumah sakit. Annisa diam tak
bicara apa pun. Tak percaya rasanya bahwa kedua orangtuanya sudah
meninggal.
Orang yang baru saja bersamamu dia yang baru beberapa menit
lalu menemanimu beberapa menit lalu memberikan pelajaran hidup
berharga, kini sudah pergi meninggalkanmu. Air mata Annisa menetes tanpa sadar. Dia kembali sakit mengingat
kejadian beberapa tahun lalu.
Darel membuka pintu kamar mereka lalu mengernyitkan kening
saat melihat Annisa yang menangis sesegukan.
‘Apa apa dengannya?’
“Kau....” Annisa menatap Darel yang sudah keluar dari kamar
mandi bergegas ke kamar mandi pula dan menangis sepuasnya.