Bab 9 : Obsesi Kah?

1293 Kata
Pintu kamar tertutup dengan keras, mengunci mereka dalam ruang yang kini dipenuhi ketegangan. Tatapan Dante begitu membunuh, mengunci setiap gerak-gerik Salina yang berdiri beberapa langkah di depannya. Ada bara yang menyala di matanya, bukan hanya amarah, tapi juga sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang bahkan Salina enggan untuk pahami. Di sisi lain, Salina menelan ludah. Kakinya mundur perlahan, mencoba menciptakan jarak antara mereka. Tapi ia tahu, itu percuma. Selama ini pun, dia tak pernah benar-benar bisa lari dari Dante. "Dante, jangan macam-macam," suaranya bergetar, meskipun ia berusaha terdengar kuat. Pria itu hanya mendengus sinis, lalu dengan santai—dan penuh kontrol—tangannya mulai bergerak. Kancing pertama kemejanya terbuka. Salina menegang. Kancing kedua menyusul, memperlihatkan sedikit kulitnya yang kekar. Salina semakin mundur. Jasnya meluncur dari bahunya, jatuh begitu saja ke lantai. Salina hampir tidak bisa bernapas. Ini bukan pertama kalinya dia melihat Dante seperti ini, tapi untuk pertama kalinya, ada sensasi aneh yang menyerang dirinya. Dante menggulung lengan kemejanya, memperlihatkan urat-urat di lengannya yang tegang. "Jadi..." Suaranya rendah, dalam, dan berbahaya. "Kamu mau cerai dari saya?" Salina terdiam, tapi hatinya bergejolak. Dante menyeringai tipis, lalu melangkah maju. "Kenapa, Salina?" tanyanya, suaranya terdengar seolah terobsesi. "Apa kamu pikir kamu bisa lepas dari saya semudah itu?" Salina menggigit bibirnya. "Apa kamu pikir, saya akan membiarkan kamu pergi?" lanjutnya, semakin mendekat. Salina mundur lagi—sampai punggungnya menyentuh dinding. Sial. Terjebak. Dante menyentuh dagunya, memaksanya menatap matanya. "Jawab, Salina." "Gue..." Napasnya tersengal. "Gue capek, Dante..." Dante mengerutkan kening. "Capek?" Salina mengangguk pelan. "Capek dengan semua ini. Capek jadi istri lo cuma di atas kertas. Capek berpura-pura di depan orang lain kalau kita baik-baik saja." Tatapan Dante menggelap. "Capek berharap," bisiknya lirih. Sesuatu dalam diri Dante bergemuruh mendengar kata-kata itu. s**t!. Harusnya dia marah. Harusnya dia membentak Salina karena berani berkata seperti itu. Tapi sebelum ia bisa mengatakan apapun, tubuh Salina tiba-tiba melemah. Dante terkejut saat wanita itu limbung—dan tanpa pikir panjang, ia langsung menangkapnya ke dalam pelukannya. "Salina!" Tubuhnya terasa panas. Dante mengerutkan kening, lalu menyentuh dahi Salina dengan punggung tangannya. Panas. Dia demam. Mungkin karena seharian kehujanan di makam tadi. Dante menarik napas kasar. Dalam sekejap, emosinya berganti. Rasa khawatir mendominasi amarahnya. Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat tubuh mungil istrinya dan membawanya ke ranjang. Mungkin mereka masih akan bertengkar. Mungkin Salina masih akan bersikeras untuk pergi. Tapi tidak sekarang. Tidak saat kondisinya seperti ini. Sekarang, Salina tetap miliknya. Dan ia akan memastikan wanita ini tetap berada di sisinya. Dante duduk di tepi ranjang, menatap wajah istrinya yang terbaring dengan napas yang sedikit tersengal. Salina selalu cantik. Dari dulu. Bahkan sekarang, dengan wajah pucat dan helaian rambut basah yang menempel di dahinya, dia masih terlihat begitu menawan. Kulitnya yang cerah tampak semakin kontras dengan bibirnya yang sedikit merah karena demam. Hidungnya yang kecil dan mancung terlihat lembut, sementara bulu matanya yang lentik bergetar sedikit setiap kali ia menggeliat dalam tidurnya. Dante mengusap wajahnya sendiri, merasa frustrasi. Dia sudah memiliki wanita ini selama dua tahun, tapi kenyataannya… dia tidak benar-benar memilikinya. Dan itu menyebalkan. Dante menghela napas panjang sebelum meraih ponselnya dan menekan kontak seseorang. "Ram, datang ke mansion sekarang," perintahnya dingin. "Salina demam tinggi." Dokter keluarga mereka, yang bekerja di Pratama Hospital—rumah sakit yang kini juga berada dalam kendali keluarganya—langsung menyanggupi permintaan itu. Setelah menutup telepon, Dante kembali menatap Salina. Wanita itu menggeliat pelan, membuat selimut yang menutupi tubuhnya sedikit bergeser. Dante menggeram pelan. Brengsek. Mata elangnya tanpa sengaja menangkap sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat. d**a Salina yang terbuka. Garis lembut kulitnya yang tampak sempurna di bawah cahaya lampu kamar. Dante menelan ludah, merasa ada sesuatu yang mulai mengusik pikirannya. Kenapa di saat seperti ini otaknya justru berpikir macam-macam? Kemana saja pikirannya selama dua tahun ini? Padahal Salina adalah wanita yang luar biasa. Kecantikannya bukan hanya di wajah, tapi juga di keseluruhan dirinya. Tubuhnya yang ramping tapi tetap berisi di tempat yang seharusnya, lekuk tubuhnya yang selalu tersembunyi di balik pakaian yang dia kenakan. Dan sekarang, dia begitu dekat. Begitu… nyata. Dante mengumpat dalam hati sebelum dengan cepat menarik selimut, menutupi tubuh istrinya lagi. "b******k," gumamnya pelan, merasa marah pada dirinya sendiri. Saat ini bukan waktunya. Salina sedang sakit. Dan dia… dia harus mengurus istrinya, bukan malah tergoda oleh hal-hal lain. Dante mengatur napasnya, lalu meraih kain kompres yang ada di atas meja kecil di samping ranjang. Tangannya bergerak dengan hati-hati, mengganti kain itu dengan yang baru. "Kenapa kamu begini, hm?" gumamnya lirih, meskipun tahu Salina tidak bisa mendengarnya. "Kenapa kamu selalu membuat saya pusing?" Wanita itu hanya bergumam pelan dalam tidurnya, seolah menanggapi. Dante hanya bisa mendengus. Jika ada satu hal yang dia benci, itu adalah perasaan tidak berdaya. Dan Salina—wanita keras kepala ini—selalu berhasil membuatnya merasa seperti itu. Suara ketukan pintu terdengar di tengah keheningan malam. Dante segera bangkit dari tempat duduknya dan berjalan dengan langkah lebar ke arah pintu. Saat dibuka, sosok pria dengan jas dokter memasuki ruangan dengan senyum mengembang. "Lo gila, bro?" suara dokter itu terdengar santai. "Panik banget kayak istri lo mau mati aja." Dante melayangkan tatapan tajam ke sahabatnya itu, Dr. Rama Wiranata, dokter keluarga mereka sejak lama. Pria itu hanya tertawa kecil melihat ekspresi Dante yang tampak lebih tegang dari biasanya. "Rama, lo bisa bercanda sama pasien lain, tapi bukan sama Salina," suara Dante rendah, penuh ketegangan. Rama menaikkan alisnya. "Santai, bro. Gue udah sering lihat orang sakit. Bukan sesuatu yang baru buat gue." Dante mendengus kesal. "Gue nggak pernah manggil lo ke mansion kalau bukan darurat." Rama mengangkat bahu, lalu melangkah menuju ranjang tempat Salina terbaring. Wanita itu masih tertidur, napasnya terdengar sedikit berat. Dengan gerakan profesional, Rama menyentuh dahinya sebentar untuk mengecek suhu tubuhnya. Gerakan itu sontak membuat Dante menyipitkan mata. Seketika tangannya mencengkeram lengan Rama sebelum pria itu bisa lebih jauh menyentuh Salina. "Jangan lama-lama nyentuh dia," suara Dante rendah, nyaris seperti geraman. Rama mendengus, lalu menepis tangan Dante. "Anjing, lo ini kenapa? Gue cuma meriksa istri lo, bukan ngajak saingan lo." Dante tak merespons, tetapi sorot matanya tetap tajam seakan memperingatkan. Rama mendecak, memilih mengabaikan sikap posesif sahabatnya dan melanjutkan pemeriksaannya. "Demamnya lumayan tinggi, kok bisa dia kayak gini? Lo apain dia?" Rama menatap curiga sahabatnya. "b******k lo, gue nggak apa apain dia. Dia kehujanan tadi" Sergah Dante membela dirinya sendiri. "Kok bisa?" Masih saja kepo. "Ck, udah jangan banyak omong" "Gue bakal kasih obat dan infus buat ngebantu tubuhnya pulih lebih cepat," ucap Rama sambil mengeluarkan alat medis dari tasnya. Dante mengangguk, tetapi ekspresinya tetap tegang. "Ada yang lain?" Rama meliriknya dengan tatapan menggoda. "Lo bisa pakek cara skin to skin?" Dante hanya diam. Rama tertawa kecil, lalu mulai memasang infus di lengan Salina. Saat jarum menusuk kulitnya, wanita itu menggeliat pelan dan mengerang kecil. Dante segera melangkah mendekat, refleks ingin memastikan Salina baik-baik saja. Rama yang melihat itu hanya menggeleng pelan. "Lo kenapa sih? Sejak kapan lo seprotektif ini?" Dante tidak menjawab, hanya mengawasi setiap gerakan sahabatnya dengan tatapan tajam. Setelah selesai, Rama berdiri dan menepuk bahu Dante. "Udah, dia bakal baik-baik aja. Lo nggak usah pasang wajah kayak mau bunuh orang gitu." Dante masih menatap Salina sebelum akhirnya melirik Rama. "Gue nggak suka lihat dia kayak gini." Rama tersenyum miring. "Atau lo baru sadar kalau lo nggak bisa kehilangan dia?" Dante terdiam, tidak menjawab. Rama mendengus. "Gila, ya? Selama dua tahun nikah, baru sekarang lo sadar?" Dante hanya menghela napas kasar. Rama menepuk bahunya sekali lagi sebelum membereskan peralatannya. "Gue pulang dulu. Kalau ada apa-apa, lo bisa telepon gue." Dante mengangguk. "Thanks, bro." Saat Rama keluar dari kamar, Dante kembali duduk di tepi ranjang, menatap wajah istrinya yang kini sedikit lebih tenang. Malam ini, dia akan tetap di sini. Menjaga Salina. Karena dia tahu satu hal dengan pasti. Dia tidak akan pernah membiarkan wanita ini pergi darinya. Tidak lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN