Bab 10 : Salinaku

1046 Kata
Dante baru saja hendak bergerak mendekat ketika getaran dari ponselnya menghentikan langkahnya. Dengan gerakan cepat, dia merogoh saku dan melihat layar. Denta Dahi Dante berkerut. Dia menghela napas sebelum akhirnya membuka pesan yang baru saja masuk. — Datang ke club. Ada yang mau gue omongin. Dante mendengus pelan, enggan untuk keluar di saat seperti ini. Jemarinya langsung mengetik balasan. — Penting? Hanya butuh beberapa detik sebelum balasan dari Denta masuk lagi. — Ada hubungannya sama perusahaan Salina. Alek dan Bima juga di sini. Seketika ekspresi Dante berubah serius. Jika sudah menyangkut perusahaan Salina, dia tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Mau tidak mau, dia harus pergi. Dante mengalihkan pandangan ke arah Salina yang masih terbaring dengan wajah pucat. Dalam diam, dia menimbang-nimbang. Dia tidak ingin meninggalkannya. Tidak dalam keadaan seperti ini. Namun, tanggung jawab memaksanya untuk bertindak. Dengan napas berat, Dante menunduk, membiarkan tatapannya mengamati wajah istrinya dalam diam. Mata itu tertutup, napasnya sedikit lebih stabil. Wajah cantik yang dulu selalu dingin kini terlihat lebih tenang dalam tidurnya. Perlahan, Dante mencondongkan tubuhnya, dan sebelum sempat berpikir lebih jauh, bibirnya mendarat lembut di kening wanita itu. Sentuhan itu hanya sesaat, tapi terasa begitu nyata di benaknya. Saat hendak beranjak, tatapannya tak sengaja jatuh pada wajah Salina. Ekspresi wanita itu yang semula tegang kini tampak lebih lembut. Mungkinkah dia merasakan ciumannya? Dante tersenyum tipis, lalu dengan gerakan hati-hati, telapak tangannya terangkat, mengusap pipi Salina yang merona. Jemarinya menyapu lembut, seolah menghafal setiap lekuk wajahnya. "Lihat kamu besok pagi," gumamnya pelan, nyaris seperti janji yang hanya didengar oleh dirinya sendiri. Dia beranjak dari sisi ranjang, mengambil jasnya, lalu berjalan keluar kamar. Sebelum pergi, dia memberi pesan singkat pada asisten rumah tangganya. "Jaga Salinaku. Kalau ada yang aneh, langsung hubungi saya." Tanpa menunggu jawaban, Dante melangkah keluar, masuk ke dalam mobilnya, dan melajukan kendaraan ke tujuan yang dimaksud Denta. Malam begitu pekat, dan jalanan Surabaya Timur mulai dipenuhi dengan kehidupan malam yang menggeliat. Lampu-lampu neon dari berbagai tempat hiburan berpendar, memantulkan warna-warna mencolok ke aspal yang basah setelah hujan sore tadi. Dante mengemudikan mobilnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya sibuk meraih rokok dari dalam dashboard. Dengan gerakan terlatih, dia menyalakan api dan mengisapnya dalam-dalam. Matanya tetap lurus ke depan, meski pikirannya terus berkelana. Tentang Salina. Tentang gugatan itu. Tentang bagaimana dia berubah. Tentang perusahaan wanita itu yang kini juga ada dalam tanggung jawabnya. Denta bukan orang yang mudah meminta sesuatu tanpa alasan kuat. Jika dia sampai menghubungi dan menyuruhnya datang ke club, berarti ada sesuatu yang benar-benar penting. Mobil sport hitam milik Dante akhirnya berbelok, memasuki area club yang cukup eksklusif. Bangunan bertingkat dengan dinding kaca terlihat mencolok di antara bangunan lain di sekitarnya. Musik menghentak samar dari dalam, dan cahaya ungu kebiruan menyinari area luar. Dante membuang sisa rokoknya sebelum keluar dari mobil. Dia mengembuskan napas, bersiap menghadapi apapun yang Denta katakan malam ini. Karena firasatnya berkata, ini bukan sekadar perbincangan biasa. *** Dante melangkah masuk ke dalam club dengan aura d******i yang tak perlu dipertanyakan. Semua orang yang berada di area itu tahu siapa dia—Dante Attala Bramasta, pria yang namanya cukup untuk membuat siapa pun menahan napas. Siapapun akan segan dengan golongan dari Bramasta. Tatapan para penjaga segera berubah penuh hormat saat melihat sosoknya datang. Mereka membungkukkan kepala sedikit sebagai tanda penghormatan, memberi jalan untuk pria itu melintas. Di dalam ruangan penuh lampu neon yang temaram, mata-mata yang ada di sana langsung tertarik pada kehadiran Dante. Para wanita dengan pakaian minim langsung melirik dengan penuh minat, beberapa bahkan mencoba menarik perhatiannya dengan menggoyangkan pinggul mereka lebih menggoda. Namun, Dante tetap melangkah lurus tanpa sedikit pun mengubah ekspresinya. Tatapannya dingin, penuh otoritas, membuat siapa pun yang awalnya berniat mendekat justru beringsut mundur. Tak ada satu wanita pun yang berani menyinggung batasannya. Mereka tahu betul, mendekati Dante sama saja mencari masalah. Langkah panjangnya membawanya ke ruangan eksklusif di bagian dalam club, tempat yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu. Begitu pintu terbuka, di dalam sudah ada Denta, Alek, dan Bima yang menunggu. Denta menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan santai, menyeringai kecil saat melihat abangnya. "Akhirnya lo dateng juga." Dante duduk di salah satu kursi dengan gerakan tenang, melirik adiknya sekilas sebelum menatap Alek dan Bima. "Langsung aja. Gue nggak punya banyak waktu buat basa-basi." Denta mendesah, lalu mengambil satu botol minuman, menuangkannya ke dalam gelas, dan menyodorkannya ke Dante. "Santai, Bang. Lo tegang banget. Gue cuma tanya dulu, gimana keadaan istri lo?" Dante tidak langsung menjawab. Dia hanya mengambil gelas itu tanpa minum, menatap adiknya dengan ekspresi datar. "Jangan bikin gue nyesel udah ninggalin dia buat dateng ke sini." Denta tertawa kecil, lalu mengangkat tangan menyerah. "Oke, oke. Kita langsung ke intinya." Alek, yang sejak tadi diam, mulai membuka suara. "Dante, ada masalah dengan saham di Pranata Group." Dante menajamkan tatapannya. "Detailnya?" Bima, asisten Denta, mengeluarkan tablet dan mulai menunjukkan grafik yang cukup mengkhawatirkan. "Penurunan saham mulai terjadi sejak beberapa minggu lalu, tapi dalam beberapa hari terakhir, nilainya turun lebih tajam." Dante menyandarkan punggungnya ke kursi, bola matanya bergerak menelusuri data yang ditampilkan di layar. "Dugaan awal?" tanyanya. Alek dan Bima saling pandang sebelum akhirnya Alek menjawab, "Ada kemungkinan ada pihak luar yang mulai mengincar perusahaan ini. Mungkin pesaing, atau bahkan orang dalam." Denta mengusap dagunya. "Gue curiga ini bukan cuma masalah biasa. Bisa jadi ada sabotase." Dante menghela napas panjang. Firasatnya mengatakan hal yang sama. Pranata Group memang sempat goyah, tapi setelah berada di bawah kendalinya, perusahaan itu mulai stabil kembali. Jika sekarang saham kembali anjlok, pasti ada sesuatu yang terjadi di belakang layar. "Lo yakin ini bukan kesalahan internal?" Dante masih mempertimbangkan segala kemungkinan. Alek menggeleng. "Kami masih menyelidiki, tapi ada kemungkinan seseorang sengaja menjatuhkan nilai perusahaan dari dalam." Dante mengepalkan rahangnya. Jika ini benar, berarti ada penghianatan di dalam perusahaan yang sekarang berada di tangannya. Bima melanjutkan, "Kita perlu langkah cepat sebelum nilai saham semakin anjlok. Kalau terlalu lama, bakal susah buat mengembalikannya." Denta menyelipkan rokok di antara bibirnya, menyalakannya dengan santai sebelum berkata, "Gue juga dapet info kalau beberapa perusahaan besar mulai melirik saham yang jatuh ini. Mereka mungkin siap buat ambil alih kalau kita nggak gerak cepat." Dante menggenggam gelasnya lebih erat, otaknya langsung bekerja untuk mencari solusi. "Lakukan penyelidikan lebih dalam. Gue mau nama-nama orang yang mencurigakan," perintahnya pada Alek dan Bima. "Kita harus tahu siapa yang main di belakang semua ini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN