Bab 11 : Skin to Skin

1186 Kata
Dante mengembuskan napas, meneguk minuman di tangannya sebelum menatap Denta yang masih bersandar santai di sofa. "Kapan lo balik ke Swiss?" tanyanya, suaranya terdengar datar, tapi ada ketegangan yang samar di sana. Denta mendesah pelan. Dia tahu arah pembicaraan ini. "Belum tahu, Bang. Urusan gue di sana masih belum kelar." Dante menyandarkan punggungnya ke kursi, menekan pelipisnya. "Lo tahu sendiri gue bakal kewalahan kalau harus ngurus Bratama Corp dan Pranata Group sekaligus. Gue nggak bisa minta bantuan Papi, karena dia udah fokus ke Adipati Group." Denta menatap abangnya, memahami situasi yang sedang dihadapi Dante. Dia tahu, meskipun Dante terlihat kuat dan tak tersentuh, beban tanggung jawab yang dia pikul tidaklah ringan. Bima, yang sejak tadi mendengarkan, tiba-tiba berceletuk dengan nada bercanda, "Karena lo masih belum nemuin wanita yang dulu bersekandal sama lo di Swiss?" Suasana seketika berubah. Denta yang tadinya tenang langsung menghela napas panjang, sorot matanya sedikit meredup. Dante menatap adiknya tajam. "Masih tentang itu?" Denta hanya diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Gue nggak bisa ninggalin Swiss kalau masih ada kemungkinan sesuatu terjadi sama dia. Rasa bersalah gue masih ada, Bang." Dante mendengus. "Denta, kalau sampai sejauh ini lo nggak dapet titik terang, itu artinya lo cuma nyiksa diri lo sendiri. Bisa aja dia bukan jodoh lo." Denta mengusap wajahnya. Dia tahu abangnya ada benarnya, tapi tetap saja, rasa bersalah itu masih mengikatnya. Bima kembali bersuara, kali ini dengan nada lebih serius. "Kalau lo masih nggak bisa nemuin dia, kenapa nggak lo coba aja nerima perjodohan dari Tante Rere?" Denta menatap Bima tajam. "Lo gila?" Bima mengangkat bahunya. "Kenapa nggak? Lo bisa aja mulai lembaran baru. Lagian, bukannya tante Rere mau jodohin lo sama anaknya Om Altair?" Dante yang sejak tadi hanya memperhatikan akhirnya berbicara. "Kalia." Denta mengerutkan dahi. "Siapa?" Dante menyeringai kecil. "Kalia Kavina Saskara. Adiknya Kallen, sahabat gue." Denta terdiam sejenak. Nama itu memang tidak asing di telinganya, tapi dia tidak pernah benar-benar memperhatikan siapa Kalia. "Dan lo tau sendiri, Om Altair bukan orang sembarangan," lanjut Dante. "Kalau lo nikah sama anaknya, itu bisa jadi langkah yang bagus, bukan cuma buat hidup lo, tapi juga buat Bratama Corp." Denta terkekeh sinis. "Kenapa nggak lo aja yang nikahin dia, Bang? Lo kan lebih akrab sama keluarganya." Dante langsung melempar korek api lagi ke arahnya. "b******k! Gue udah punya istri!" Denta semakin tertawa, menggoda dengan nada santai, "Istri yang tadi malem minta cerai?" Dante langsung menggeram kesal. Rahangnya mengeras, dan dia berdiri dari kursinya. "Sialan lo, Den." Denta hanya menyeringai, tapi kemudian menambahkan dengan nada lebih serius, "Oh iya, Bang. Jangan lupa, lo bakal kena sidang dari Mami gara-gara pernyataan Salina tadi." Dante berhenti di ambang pintu, menghela napas kasar. "Gue nggak peduli sekarang. Gue pulang. Istri gue lagi sakit." Tanpa menunggu jawaban dari yang lain, Dante langsung melangkah keluar dari ruangan itu. Matanya tajam menatap jalanan gelap yang dia lalui saat kembali ke mobilnya. Pikirannya masih berkecamuk, baik soal Pranata Group, soal Denta, maupun soal Salina. Satu hal yang dia tahu pasti. Besok, dia harus menghadapi Mami Rere. Dan dia tahu, itu bakal jauh lebih sulit daripada menghadapi persaingan bisnis mana pun. *** Dante menyandarkan punggungnya pada jok mobil, membiarkan suara dentuman musik dari Basta Club perlahan menghilang di kejauhan. Tangannya mencengkeram kemudi dengan erat, tapi pikirannya masih tersangkut di satu hal—pernyataan cerai Salina. Denta benar. Salina benar-benar ingin berpisah dengannya. Dante menghela napas berat, merasa dadanya sedikit sesak. Dia tidak mengira Salina akan mengambil keputusan sebesar ini. Meski pernikahan mereka memang tidak seperti pasangan suami istri pada umumnya, Dante tidak pernah berpikir hubungan ini akan berakhir. Dan sekarang, semuanya benar-benar di ambang kehancuran. Sial. Dia mendesah panjang, lalu menatap cincin pernikahan yang masih melingkar di jarinya. Cincin yang tak oernah lepas dari jarinya, seolah sudah menjadi bagian dari dirinya. Dante mengusap permukaannya dengan ibu jari, membiarkan pikirannya melayang jauh ke belakang. Ya, jika dipikir-pikir, semua ini salahnya. Dialah yang sejak awal membangun tembok di antara mereka. Dia yang membatasi kedekatan, yang selalu menjaga jarak, yang tidak pernah sekalipun memperlakukan Salina sebagaimana seorang suami seharusnya memperlakukan istrinya. Tapi sekarang, saat Salina akhirnya menyerah… kenapa hatinya malah terasa kosong? Dante mengalihkan pandangan ke punggung tangannya. Bekas gigitan Salina masih tercetak jelas di sana—tanda kemarahan, perlawanan, sekaligus… keberadaan Salina dalam hidupnya. Tanpa sadar, Dante mengangkat tangan itu ke bibirnya, mengecupnya pelan. Seakan ingin merasakan kembali sensasi bibir Salina yang tadi menempel di sana. Sial, dia sudah benar-benar sinting. Dante meremas rambutnya frustasi. Seumur hidupnya, dia selalu bisa mengendalikan segalanya—bisnis, emosi, bahkan hubungan dengan orang lain. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya, dia merasa kehilangan kendali. Jika dia mencoba memperbaiki semuanya sekarang, apakah sudah terlambat? Dante mengepalkan tangannya, matanya menajam. Tidak. Dia tidak akan membiarkan Salina pergi begitu saja. Jika ini salahnya, maka dia yang akan membenahinya. Jika dia selama ini membangun tembok, maka dia yang akan merobohkannya. Tapi pertanyaannya… apakah Salina masih ingin bertahan? Dante menekan pedal gas, memacu mobilnya lebih cepat. Hanya ada satu tujuan dalam pikirannya—Salina. Setidaknya, dia akan merasa sedikit tenang jika berada di sisinya. Langit malam semakin gelap, jalanan sepi, hanya ditemani cahaya lampu jalan yang berpendar samar. Namun, pikirannya masih dipenuhi ucapan Denta dan keputusan Salina yang ingin berpisah darinya. Sial. Dante menggenggam kemudi lebih erat, mencoba mengabaikan ketidaknyamanan di dadanya. Dia tidak terbiasa dengan perasaan ini—kegelisahan, ketakutan, atau apapun yang menyerupai kecemasan akan kehilangan. Begitu memasuki halaman mansion, Dante segera memarkir mobilnya dan turun dengan langkah lebar. Tanpa membuang waktu, dia melangkah masuk dan langsung menuju ruang tengah, di mana seorang asisten rumah tangga sedang membereskan vas bunga. "Salina masih tidur?" tanyanya dengan suara rendah, namun tetap tajam. Sang ART mengangguk hormat. "Iya, Tuan. Nyonya belum terbangun sejak tadi." Dante menghela napas lega, sedikit bersyukur karena setidaknya Salina masih beristirahat dengan tenang. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia segera menaiki tangga menuju kamar mereka. Begitu membuka pintu, Dante disambut dengan pemandangan yang sama seperti saat dia pergi tadi. Salina masih terbaring di ranjang, wajahnya sedikit pucat dengan infus yang masih terpasang di lengannya—tinggal separuh botol lagi. Dante berdiri di ambang pintu, menatapnya dalam diam. Untuk pertama kalinya, dia menyadari betapa rapuhnya wanita itu dalam tidurnya. Mungkin selama ini dia terlalu sibuk menjaga jarak hingga tidak benar-benar melihatnya. Mata Dante menangkap selimut yang sedikit berantakan, dan tiba-tiba dia teringat ucapan Rama sebelumnya. "Kalau lo mau angetin dia, cara paling efektif itu skin-to-skin, bro." Dante mendengus pelan. Apa dia harus mencobanya? Tidak ada salahnya, kan? Toh, Salina adalah istrinya. Setelah membersihkan diri di kamar mandi, Dante berjalan mendekati ranjang, jari-jarinya dengan santai membuka kancing kemejanya satu per satu. Pakaian itu jatuh ke lantai, memperlihatkan tubuhnya yang terlatih dengan otot yang terbentuk sempurna. Cahaya lampu kamar menyorot tato di d**a kanannya—angka Romawi yang memiliki makna mendalam—dan tulisan di sisi pinggangnya yang meluncur turun dalam aksara bergaya gothic. Pria matang sejuta pesona. Dante menyibak selimut dan perlahan masuk ke dalamnya, tubuhnya mendekat ke arah Salina. Begitu kulit mereka bersentuhan, Dante dapat merasakan tubuh Salina yang sedikit lebih dingin dibandingkan miliknya. Perlahan, dia menariknya ke dalam pelukannya. Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, dia tidak ingin membangun jarak lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN