Ruangan penthouse Denta diselimuti cahaya temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung megah di langit-langit tinggi. Malam itu sunyi, nyaris hening, kecuali denting pelan dari gelas wine yang disentuh ujung jarinya. Denta bersandar malas di kursi kulit hitamnya, kepala sedikit mendongak, sementara jemarinya memutar sebuah kartu nama kecil yang tampak hampir aus karena terlalu sering disentuh. “Kalia Kevina Saskara,” gumamnya pelan. Nada suaranya rendah, tapi dalamnya mengguncang. Seperti mantra yang diucap berulang agar tak hilang dari benaknya. Nama itu sudah dua tahun tertanam dalam kepalanya. Mengendap, membusuk, lalu tumbuh menjadi obsesi yang tak bisa ia singkirkan. Denta menatap nama itu dengan pandangan nyalang. Wajah Kalia menari-nari di matanya—tatapan tajam, bibir tipi

